Mohon tunggu...
Nining Iskandar
Nining Iskandar Mohon Tunggu... Penulis - wirausaha

penulis dan konten kreator

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Willow Street 38

14 Oktober 2024   01:00 Diperbarui: 14 Oktober 2024   04:17 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

BAB 1 : TAHUN 2002

Hujan ringan mengguyur kota kecil itu. Jalan Willow masih terlihat sama seperti jaman dulu, dengan deretan pohon-pohon yang menjulang tinggi, membungkus lingkungan dalam kesunyian. Di ujung jalan berdiri sebuah rumah bernomor 38. 

Rumah itu terlihat kumuh dan sepi, seolah tak ada yang pernah peduli padanya. Namun di balik jendelanya yang berdebu dan dindingnya yang terkelupas, tersembunyi sebuah kisah yang tak terlupakan.

Alina Park berhenti di depan pagar rumah tersebut. Ia menari mantel panjangnya lebih rapat, mencoba melindungi diri dari dingin. Alina adalah seorang penulis, dan tujuannya datang ke rumah itu bukan sekedar kebetulan. 

Beberapa minggu yang lalu, dia menemukan sebuah arsip di perpustakaan tua yang terletak di kotanya yaitu Kota Casablanca, tempat dimana Alina tinggal. Ia menemukan nama seorang pria bernama Henry Evans-seorang pelukis muda yang meninggal secara misterius pada tahun 1956 di usia 30 tahun. 

Kasus kematian Henry tidak pernah jelas dan hilang dalam arus waktu. Tapi ada sesuatu tentang Henry yang menarik perhatian Alina. Arsip-arsip itu tidak sekedar bercerita tentang kematian, tetapi juga tentang kehidupan seorang seniman yang penuh bakat, cinta dan luka.

Henry merupakan pelukis ternama pada saat itu, nama dan karyanya menjadi buah bibir di kota kecil, Townshill, laki-laki muda berwajah tampan dengan garis-garis kharismatik pun menjadikan Henry seorang idola.

Pintu kayu rumah berderit saat Alina mendorongnya, terkejut mendapati rumah itu tak terkunci. Di dalamnya, aroma kayu lembab dan debu memenuhi udara. 

Ruangan itu dipenuhi benda-benda antik : kanvas kosong, kuas berkarat dan buku-buku tua yang berseakan di lantai. Di sudut ruangan, sebuah easel tua berdiri dengan kanvas yang sudah memudar oleh waktu, seolah menunggu sentuhan terakhir yang tak pernah datang.

Alina menyentuh kanvas itu, jari-jarinya merasakan tekstur cat yang terkelupas. 

"Henry," gumamnya seakan memanggil jiwa lelaki yang tak pernah dikenalnya.

Ia tahu perjalanan menulis buku tentang Henry akan sulit. Arsip yang ditemukannya hanya merupakan sepenggal cerita mengenai seorang pelukis berbakat yang pendiamdengan kematian yang tak terjelaskan. 

Alina ingin tahu lebih banyak-bukan hanya tentang bagaimana Henry meninggal, tetapi bagaimana ia hidup, mencintai dan bermimpi.

Ia berjalan lebih jauh ke dalam rumah, menelusuri rak-rak buku yang dipenuhi jurnal-jurnal tua. Salah satunya menarik perhatian adalah sebuah buku harian dengan halaman yang sudah menguning. 

Di bagian dalam  sampulnya tertulis dengan rapi : Henry Evans, 1955.

"Ini dia," bisik Alina aadengan perasaan campur aduk antara penasaran dan kegembiraan. Ia membuka halaman pertama dan mulai membaca. kata-kata di dalamnya terasa hidup, seolah0olah Henry menulisnya untuk seseorang yang suatu hari akan datang dan membaca kisahnya.

bersambung BAB 2 yaaaa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun