Mohon tunggu...
Nining Iskandar
Nining Iskandar Mohon Tunggu... Penulis - wirausaha

penulis dan konten kreator

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembali Ke Masa Kuda Belum Bersepatu

4 Oktober 2024   12:46 Diperbarui: 4 Oktober 2024   12:47 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kali ini saya ingin mengajak pembaca untuk berjalan-jalan kembali ke masa dimana kuda belum berani meminta kepada pemilik untuk memberinya sepatu, meskipun di etalase toko terpampang sepatu-sepatu kuda yang beragam. Masa-masa lugu.

Era teknologi banyak membuat kita terbawa pada hal-hal yang berbau kemajuan, modernisasi, pendobrakan budaya ortodok atau kuno menjadi modern.  Tanpa berlama-lama yuk, kita tengok lagi pada jaman itu.

Tadi pagi menjelang siang, saya ngobrol sama teman, saya ajak dia mundur ke jaman itu. Dia cerita pakai bahasa Jawa.

"Mbiyen yen ono sing seneng carane nganggo isin-isin, dititip ning konco, ono sing ditulis diselehke ning ngisor disgrep (tempat pensil). Tapi saiki ora, durung ngomong seneng, beritane wis tekan ngendhi-ngendhi koyo ono satelite".

terjemahan : dulu kalau ada yang suka cara mengungkapkannya bermacam-macam, ada yang titip teman, ada yang diletakkan di bawah lapisan tempat pensil. Tapi sekarang belum ngomong apa-apa berita nya sudah sampai kemana-mana seperti ada setelitnya.

Kemudian saya jawab "lha iyo, wong mbiyen jaremu koyo jamane jaran durung wani njaluk ditukoke sepatu, padahal ning etalase toko uakeh maceme".

(lha iya, dulu seperti yang kamu bilang seperti jamannya kuda belum berani minta sepatu sementara di etalase banyak model-model sepatu dipajang).

Tiba-tiba dia tanya, " piye yen saiki wake dewe nganggo kahuripan jaman mbiyen?"

(bagaimana kalau kita sekarang menggunakan kehidupan jaman dulu?).

"piye maksude?"

(bagaimana maksudnya?)

"ngene, kabeh kegiatan nganggo coro kuno, kirim surat ditulis tangan, terus di poske".

(begini, semua kegiatan menggunakan cara lama, menulis surat dengan tulisan tangan kemudian di poskan).

"weh, yen arep kirim proposal gawean terus piye?"

(weh, kalau mau membuat proposal terus bagaimana?")

" yo ditulis tangan, terus di poske, mesakke saiki ora ono tukang pos sing mondar-mandir ngarep omah, mbiyen aku sak keluarga dikenal lho karo pak pos sing bertugas", ucapnya sambil tertawa.

Jika kita menyimak, obrolan diatas, saya jadi membayangkan betapa tenang, dan kekeluargaan sekali hidup pada masa itu. Tidak ada ketakutan whatsapp kita di sadap atau akun media sosial kita di hack. Tidak melihat atau mendengar tentang perundungan dimana-mana juga tindak kriminal lainnya.

Tingkat kesopanan yang dijunjung tinggi, bahkan untuk sekedar menatap mata kedua orang tua kita saja, kita tidak berani. Kata ah, ih ataupun eh yang ditujukan untuk orangtua kita juga minim sekali terdengar.  Andai kehidupan seperti itu bisa berjalan berdampingan dengan kehidupan saat ini, mungkin yang namanya kekerasan bisa terminimalisir. 

Mungkin juga karena sekarang kuda udah berani minta sepatu kuda sebagai alas kaki, supaya terdengar sexy dan tidak sakit saat berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun