Mohon tunggu...
Nining Inovasia
Nining Inovasia Mohon Tunggu... -

Entrepreneur; Konsultan; Trainer Ibu dari dua anak; mempunyai unsur kepribadian - Api/Angin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kaum Menengah Telah Menciptakan Tirani

3 Oktober 2016   23:20 Diperbarui: 5 Oktober 2016   05:49 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Mahfud MD (mantan ketua MK): Peristiwa Bukit Duri adalah tragedi kemanusiaan dan tragedi hukum. Pengadilan sudah jelas memerintahkan status quo Bukit Duri selama perkara masih berlangsung, tetapi penggusuran tetap dilakukan. Konstitusi kita menganut paham negara kesejahteraan (welfare state) dengan penekanan bahwa rakyat harus dilindungi dan diberdayakan agar bisa sejahtera di tanah air sendiri. Setiap keputusan pengadilan harus diikuti oleh rakyat maupun pemerintah.

Tragedi kemanusiaan, saat warga Indonesia yang telah lama tinggal di suatu daerah, yang mempunyai surat-surat sah, telah membayar pajak bisa diusir dari tempat tinggalnya tanpa ganti rugi kepemilikan – hanya dipindahkan di rusun yang statusnya adalah sewa selama 2 tahun dan hanya bisa diperpanjang 3 kali dengan beberapa catatan. Artinya warga yang tadinya punya kedaulatan atas rumahnya sendiri, kemudian harus menggantungkan nasibnya pada pejabat. Pejabat mempunyai kekuasaan untuk memindahkan mereka dan bahkan memungkinkan untuk mengubah kebijakannya.

Penindasan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemkot DKI itu terjadi terang-terangan tanpa tedeng aling-aling bahkan dipertontonkan di berbagai media, dan didukung oleh banyak masyarakat khususnya kelas menengah. Kelas ini bersorak gembira dan tidak segan mencibir dan menuding ibu-ibu, anak-anak, rakyat kecil yang dengan isak tangis memunguti puing-puing sisa hartanya, sebagai penjahat pelanggar hukum yang menduduki tanah Negara.

Kelas Menengah melakukan standar ganda dalam menilai pelanggaran hukum. Kalau dilakukan oleh warga (dengan persepsi yang dibangun bahwa warga bantaran sungai itu melanggar hukum karena menyerobot tanah Negara), mereka akan ngamuk2 marah…tetapi mereka tutup mata ketika jelas2 gubernurnya melanggar hukum dengan tidak mematuhi perintah pengadilan untuk tidak menggusur selama proses class action.

Ada kejanggalan melihat pola pikir kelas menengah ini. Mengapa mereka yang dengan cepat bisa membuat hastag #Pray for Paris, #Save Palestina atau #save pengungsi…, bisa dengan dinginnya mencaci dan menuding warganya sendiri, yang sedang dizolimi oleh pejabatnya, tanpa mencoba memahami duduk permasalahannya? Kok bisa ya mereka melegitimasi kesewenangan pejabat dengan mengatakan bahwa “pembangunan itu butuh pengorbanan” karena terpesona dengan sungai bersih, taman indah, dan impian kota yang nantinya akan seperti Singapore atau Hongkong?
 Bagaimana kalau yang dikorbankan adalah dirinya dan keluarganya? Kira-kira apa yang akan dilakukan kelas menengah itu yang kalau dirampas tempat tinggalnya dan dijauhkan dari tempat kerjanya?

PERAN MEDIA

Entah mengapa, saat ini jarang media yang mau melakukan cover both story. Mereka dengan mudahnya menyebarkan berita dari satu sisi sudut pandang, mengabaikan keseimbangan dengan menampilkan sisi lawannya. Media seperti menggunakan konsep “Tell the truth but not all the truth”

Benar bahwa pemukiman warga telah menutup sebagian badan sungai sehingga perlu ditata, tetapi media tidak memberitakan bahwa ada cara menata yang lebih baik daripada menggusur.  Membuat kampung deret di tempat itu sudah diusulkan oleh warga dengan bantuan ahli bahkan konsepnya sudah dipresentasikan dan disetujui oleh Jokowi

https://www.youtube.com/watch?v=d22cY08zNFU

Bahkan saat tanggal 18 November 2015, konsep itu dipresentasikan di depan Ahok diterima dengan baik, katanya akan ground breaking januari 2016. Tetapi boro-boro ground breaking, 2 minggu kemudian Ahok justru mengirimkan 4000 tentara dan bulldozer membungi hanguskan kampong pulo. Sejak saat itu Ahok nggak pernah dialog lagi dengan warga. Ingkar janji yang dilakukan Jokowi maupun Ahok nggak pernah dimunculkan oleh media

https://www.youtube.com/watch?v=vPce5_zNXAY

Benar bahwa beberapa sungai airnya telah menjadi jernih dan sedap dipandang, tetapi tidak diceritakan bahwa komunitas warga yang tinggal di sekitar sungai bisa diajak partisipasi untuk menjaga sungainya tetap bersih. Benar bahwa ada warga yang tidak mempunyai surat-surat tanah, tetapi media tidak mau mengungkap bahwa ada 80% warga mempunyai bukti kepemilikan, membayar pajak, dan  justru malah pemda yang tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan tanahnya

Benar bahwa yang tinggal disekitar bantaran sungai adalah warga miskin, tetapi bukan berarti warga itu tidak beradab. Mereka justru punya sifat gotong royong yang tinggi, membangun komunitas dan peradaban lebih baik daripada warga kelas atas yang tinggal di perumahan2 mewah. Warga mau ditata dan mau berpatisipasi dalam penataan kampungnya

https://ciliwungmerdeka.org/pernyataan-dan-kesepakatan-bersama-warga-bukit-duri-untuk-membangun-kampung-susun-manusiawi-bukit-duri/

Benar bahwa pemkot menyediakan rusun untuk korban gusuran, tetapi media tidak menuliskan bahwa rusunnya hanya menampung 1/3 warga. Selain harus membayar sewa, rusun itu jauh dari tempat usaha atau tempat kerja warga.  Anak sekolah kalau naik bus sekolah dari rusun itu dijamin sampai sekolahnya akan telat karena super duper jauhnya. Media tidak mau repot mengulas bahwa korban gusuran tidak hanya kehilangan rumah tetapi yang paling pahit adalah kehilangan mata pencaharian. Mereka terancam menjadi pengangguran baru yang nantinya justru bisa menambah keresahan sosial

Media main stream memilih menjadi corong pejabat…menyuarakan apa saja yang diomongkan gubernurnya dan mengamininya sebagai satu-satunya kebenaran. Saat gubernurnya bilang bahwa warga adalah penjahat, penyerobot tanah negara, provokator … maka semua media serempak koor menuliskan tuduhan itu tanpa menuliskan data perimbangannya. Lalu buzzer2 akan membuatnya sebagai viral…dan setiap orang atau LSM yang berusaha mengkritisi dengan menyajikan data sebaliknya akan dibully dan dihajar habis-habisan. Media main stream memimpin penghakiman masal kepada warga yang tergusur itu

BRANDING GUBERNUR

Sejak KPK yang dipimpin Abraham Somad menangkapi koruptor2 yang memakai baju partai politik dan bersemayam di DPR, warga semakin merasa jenuh dengan politisi. Pada saat itu Ahok muncul sebagai pejabat dengan “branding” yang tepat. Karakternya yang berani dan pengalamannya di dunia politik sebagai anggota DPR dan mantan bupati Belitung, adalah modal yang kuat untuk menghadang para politisi busuk.

Dengan berani Ahok melawan DPRD. Para politikus dan parpol yang membela diri langsung digebuki melalui berbagai media. Persepsi publik telah terbangun bahwa Ahok adalah pemimpin yang antikorupsi yang berani menghajar politikus busuk. Rakyat yang sudah eneg dengan koruptor bersorak dan mendukung Ahok dengan kuat. Branding sebagai politikus bersih itu sangat kuat sehingga ketika Ahok tersandung kasus hukum seperti Sumber Waras atau pembelian lahan sendiri, publik tetap tak percaya kalau Ahok salah. Bahkan ketua BPK yang memeriksanya di bully habis di media. KPK (yang memang sudah melempem di era pemerintahan Jokowi ini) sepertinya juga tidak berani menentang arus massa yang sudah terlanjur cinta sama pemimpinnya itu

Dengan cerdik Ahok juga melakukan branding dengan memanfaatkan kondisi minoritasnya. Dia tahu bahwa Jakarta dihuni oleh pendatang yang terdidik dan sudah plural. Warga Jakarta tidak suka dengan hal-hal yang berbau SARA. Tetapi alih-alih menjauh dari isu sara, Ahok justru memunculkan sara dengan gaya seolah-olah menjadi KORBAN SARA. Dia dengan lantang mengatakan “Meskipun muka babi, tapi saya nggak korupsi” Para pendukungnya juga dengan cepat menyebar meme: Lebih baik mempunyai pemimpin kafir daripada korup dsb.

Kalau kalangan menengah mau sedikit kritis, kecuali FPI sepertinya sebelum ini nggak ada tokoh yang menuding Ahok sebagai kafir atau mengatainnya muka babi. Kalau FPI nggak perlu dihitunglah…lha wong ulama saja dituding kafir sama FPI. Jadi sebenarnya yang menciptakan issue sara itu siapa? Ya Ahok sendiri.

Dengan memunculkan issue sara, Ahok menerima simpati nggak hanya dari kaum kristen, katolik, atau tionghoa, tetapi juga dari warga muslim moderat yang tidak suka bila agama dibawa-bawa dalam politik

Ahok juga melakukan branding “independent”. Dia melawan kemapanan politik yang selama ini didominasi partai. Ahok mendahului melangkah sebelum partai berbuat apa-apa mempersiapkan pilkada, dengan membentuk “Teman Ahok”. Tentu saja kemasannya musti meyakinkan. Teman Ahok terdiri dari anak-anak muda, juru bicaranya juga yang berjilbab, seolah-olah mewakili orang muda sebagai “agent of change” bagi perpolitikan bangsa. Gertakannya berhasil…partai-partai besar bahkan PDIP pun terpaksa harus mendukungnya karena popularitasnya tak terbendung.

Kegilaan ini semakin mendapatkan legitimasi ketika warga miskin teriak-teriak ke Presiden Jokowi yang dulu pernah berjanji untuk tidak menggusur, ternyata pak presiden seolah-olah tidak mendengar. Meskipun kontrak politik ataupun video2 janjinya disebar kemana-mana, pak Jokowi sepertinya tidak memikirkan lagi citranya sebagai premimpin rakyat kecil. Jokowi sepertinya memang menaruh Ahok sebagai bad guy untuk mengerjakan “dirty work”nya. Bukan rahasia umum lagi kalau Jokowi menginginkan Ahok duduk lagi di DKI 1…sehingga dia membujuk Ridwan Kamil supaya tidak maju ke DKI, dan mungkin juga membujuk Mega untuk tidak memajukan Risma (rumornya dengan imbalan Budi Gunawan diberi kedudukan sebagai Kepala BIN?)

http://m.rmol.co/read/2016/04/10/242701/Ini-Isi-Kontrak-Politik-Jokowi-Yang-Dilanggar-Ahok-

https://www.facebook.com/bilven.sandalista/videos/1294029883971648/

Terasa menyakitkan, ketika menyadari bahwa rakyat rupanya hanya digunakan untuk mendulang suara.

Dulu...Jokowi dan Ahok itu bukan siapa2, mereka baru diperhitungkan oleh partai setelah Jokowi blusukan ke kaum marginal yang dengan polos mengumpulkan koin dan menghimpun suara untuk mendukungnya karena terpesona dengan "branding"nya sebagai pemimpin kaum papa.

Setelah Jokowi berhasil jadi presiden...kaum miskin itu ditinggalkan.
 Ahok memulai "branding" baru sebagai penentang koruptor dan partai, dengan menggandeng anak-anak muda teman Ahok
 Begitu partai mulai melirik, anak2 muda ditinggalkan dan melenggang bersama partai.

Saat ini "jualan"nya untuk kelas menengah....yang terpesona dengan semua pembangunan fisik ala singapora dan hongkong...sungai bersih, taman indah, gedung megah. Kaum menengah yang memuja dan mengelu-elukan inilah yang diharapkan menghimpun suara untuk kekuasaan selanjutnya

Sadarkah kaum menengah ini bahwa bisa jadi nantinya mereka akan jadi korban selanjutnya? Setelah penggusuran, ahok bilang bahwa tanah sekitar kampung pulo naik. Kira-kira perampasan tanah dari orang miskin ini mau digunakan untuk apa? untuk dijadikan teras riverside nya apartemen yang sudah dimiliki pengembang? Siapa yang nanti mampu membeli properti2 tsb? semoga kaum menengah pendukung gubernur itu nanti kuat untuk membelinya dan bukannya dibeli oleh orang asing yang saat ini oleh Jokowi sudah diijinkan mempunyai properti di Indonesia.

https://m.tempo.co/read/news/2016/01/26/083739375/ahok-klaim-pasca-penggusuran-harga-tanah-kampung-pulo-naik

Penggusuran sudah ada sejak jaman Suharto. Jaman Sutiyoso, Foke juga ada penggusuran. Tetapi jaman dulu kaum menengah kalaupun nggak berani protes, mereka diam saja….kalau sekarang kaum menengah justru menjadi cheerleader nya Sang Penguasa sehingga kebejatan menjadi tarian sukacita massal

Wahai kawan, yakinkah kau dengan apa yang kau teriakkan?

Mari merenung sejenak…tanyalah pada nuranimu.

Aku, Nining Inovasia, adalah penulis yang sama yang tulisanku tentang Jokowi di wall facebookku berjudul JOKOWI DI MATA RIVAL POLITIKNYA telah dishare lebih dari 3.850. Jadi jangan menuduhku hatersnya Jokowi dan Ahok
https://www.facebook.com/nining.inovasia/posts/10202436874619211

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun