Benar bahwa beberapa sungai airnya telah menjadi jernih dan sedap dipandang, tetapi tidak diceritakan bahwa komunitas warga yang tinggal di sekitar sungai bisa diajak partisipasi untuk menjaga sungainya tetap bersih. Benar bahwa ada warga yang tidak mempunyai surat-surat tanah, tetapi media tidak mau mengungkap bahwa ada 80% warga mempunyai bukti kepemilikan, membayar pajak, dan justru malah pemda yang tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan tanahnya
Benar bahwa yang tinggal disekitar bantaran sungai adalah warga miskin, tetapi bukan berarti warga itu tidak beradab. Mereka justru punya sifat gotong royong yang tinggi, membangun komunitas dan peradaban lebih baik daripada warga kelas atas yang tinggal di perumahan2 mewah. Warga mau ditata dan mau berpatisipasi dalam penataan kampungnya
Benar bahwa pemkot menyediakan rusun untuk korban gusuran, tetapi media tidak menuliskan bahwa rusunnya hanya menampung 1/3 warga. Selain harus membayar sewa, rusun itu jauh dari tempat usaha atau tempat kerja warga. Anak sekolah kalau naik bus sekolah dari rusun itu dijamin sampai sekolahnya akan telat karena super duper jauhnya. Media tidak mau repot mengulas bahwa korban gusuran tidak hanya kehilangan rumah tetapi yang paling pahit adalah kehilangan mata pencaharian. Mereka terancam menjadi pengangguran baru yang nantinya justru bisa menambah keresahan sosial
Media main stream memilih menjadi corong pejabat…menyuarakan apa saja yang diomongkan gubernurnya dan mengamininya sebagai satu-satunya kebenaran. Saat gubernurnya bilang bahwa warga adalah penjahat, penyerobot tanah negara, provokator … maka semua media serempak koor menuliskan tuduhan itu tanpa menuliskan data perimbangannya. Lalu buzzer2 akan membuatnya sebagai viral…dan setiap orang atau LSM yang berusaha mengkritisi dengan menyajikan data sebaliknya akan dibully dan dihajar habis-habisan. Media main stream memimpin penghakiman masal kepada warga yang tergusur itu
BRANDING GUBERNUR
Sejak KPK yang dipimpin Abraham Somad menangkapi koruptor2 yang memakai baju partai politik dan bersemayam di DPR, warga semakin merasa jenuh dengan politisi. Pada saat itu Ahok muncul sebagai pejabat dengan “branding” yang tepat. Karakternya yang berani dan pengalamannya di dunia politik sebagai anggota DPR dan mantan bupati Belitung, adalah modal yang kuat untuk menghadang para politisi busuk.
Dengan berani Ahok melawan DPRD. Para politikus dan parpol yang membela diri langsung digebuki melalui berbagai media. Persepsi publik telah terbangun bahwa Ahok adalah pemimpin yang antikorupsi yang berani menghajar politikus busuk. Rakyat yang sudah eneg dengan koruptor bersorak dan mendukung Ahok dengan kuat. Branding sebagai politikus bersih itu sangat kuat sehingga ketika Ahok tersandung kasus hukum seperti Sumber Waras atau pembelian lahan sendiri, publik tetap tak percaya kalau Ahok salah. Bahkan ketua BPK yang memeriksanya di bully habis di media. KPK (yang memang sudah melempem di era pemerintahan Jokowi ini) sepertinya juga tidak berani menentang arus massa yang sudah terlanjur cinta sama pemimpinnya itu
Dengan cerdik Ahok juga melakukan branding dengan memanfaatkan kondisi minoritasnya. Dia tahu bahwa Jakarta dihuni oleh pendatang yang terdidik dan sudah plural. Warga Jakarta tidak suka dengan hal-hal yang berbau SARA. Tetapi alih-alih menjauh dari isu sara, Ahok justru memunculkan sara dengan gaya seolah-olah menjadi KORBAN SARA. Dia dengan lantang mengatakan “Meskipun muka babi, tapi saya nggak korupsi” Para pendukungnya juga dengan cepat menyebar meme: Lebih baik mempunyai pemimpin kafir daripada korup dsb.
Kalau kalangan menengah mau sedikit kritis, kecuali FPI sepertinya sebelum ini nggak ada tokoh yang menuding Ahok sebagai kafir atau mengatainnya muka babi. Kalau FPI nggak perlu dihitunglah…lha wong ulama saja dituding kafir sama FPI. Jadi sebenarnya yang menciptakan issue sara itu siapa? Ya Ahok sendiri.
Dengan memunculkan issue sara, Ahok menerima simpati nggak hanya dari kaum kristen, katolik, atau tionghoa, tetapi juga dari warga muslim moderat yang tidak suka bila agama dibawa-bawa dalam politik