arsitek perempuan yang konsen membangun rumah atau bangunan berkelanjutan ternyata tidaklah mudah. Coba saja lacak di pencarian, nama arsitek perempuan Indonesia yang mendesain sustainable building. Namanya nyaris tertimbun nama besar arsitek pria seperti Yu Sing, Budi Pradono, Ridwan Kamil, YB Mangunwijaya, Achmad Noe'man, dan masih banyak lagi lainnya.
Sebelum menulis artikel ini, saya sempat mencari sosokPencarian tidak berhenti di situ. Saya mencoba bertanya ke rekan yang berkecimpung di dunia arsitektur lainnya, dan jawabnya sama. Bahkan mereka sempat berkelakar, "perempuan tidak  tertarik dengan isu sustainable." Apa benar begitu?
Perempuan yang Mengangkat Kesetaraan Gender di Dunia Arsitektur
Tenang saja, candaan itu tidak benar. Meskipun masih terhitung dengan jari ternyata ada loh arsitek perempuan asal Indonesia yang menerapkan arsitektur berkelanjutan dalam desainnya. Bahkan salah satu karyanya pernah menyabet penghargaan pada Architizer A+ Awards 2020 dalam kategori bangunan perpustakaan terpopuler.
Ia adalah Daliana Suryawinata, pendiri biro arsitektur Suryawinata-Heinzelmann Architecture & Urbanism (SHAU). Selain di SHAU, Daliana juga menjadi anggota dari Indonesian Diaspora Liveable Cities Platform, yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan di Indonesia. Ia berkontribusi melalui karyanya, memajukan dunia arsitektur, serta menciptakan lingkungan yang lebih baik di Indonesia.
Agar lebih dekat dengan Daliana khususnya karyanya yang menerapkan arsitektur berkelanjutan, yuk kita tengok salah satu karyanya, Microlibrary Warak Kayu yang berada di dekat Taman Kasmaran di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Perpustakaan yang berada di kota yang memiliki simbol Warak Ngendok ini, seluruh bangunannya terbuat dari material kayu yang telah bersertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) yang dipasok oleh PT Kayu Lapis Indonesia. Ini menunjukan kayu tersebut berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab dengan teknologi ramah lingkungan agar memberikan manfaat lingkungan, sosial, juga secara ekonomi.
Memiliki desain tropis, Microlibrary Warak Kayu mereferensi konsep 'rumah panggung' dimana area perpustakaan diangkat sehingga terdapat area bawah yang difungsikan untuk berbagai kegiatan multifungsi. Untuk fasad-nya perpustakaan ini berbentuk wajik menyerupai sisik kulit Warak Ngendog yang disusun menggunakan sistem konstruksi Zollinger Bauweise dari Jerman. Sistem konstruksi yang dilakukan dengan menggabungkan tiga papan kayu dengan menggunakan satu atau dua sekrup.
Meskipun Microlibrary Warak Kayu terletak di wilayah beriklim tropis, dimana terdapat perbedaan musim hujan dan musim kemarau yang ekstrim, setiap ruangan di sini tidak menggunakan pendingin udara atau AC. Desain iklim pasifnya mendinginkan bangunan didapat melalui ventilasi silang dan penggunaan elemen peneduh. Hasilnya, tidak ada energi yang terbuang.
Atap perpustakaan yang menjorok ke luar atau brise soleil memberikan efek teduh di tengah hari. Mengingat posisi bangunan, brise soleil dirancang untuk menghalangi sudut ketinggian matahari yang lebih rendah di pagi dan sore hari.Â
Hasilnya, sinar matahari tidak langsung masuk ke dalam ruangan, dan cahaya yang masuk menyebar cukup untuk membaca buku tanpa pencahayaan buatan. Aspek ventilasi silang juga membantu mengeluarkan kelembaban dari bangunan dan mencegah buku berjamur atau rusak.
Melalui Microlibrary Warak Kayu, Daliana sukses menunjukan kalau kenyamanan bisa didapat melalui pemilihan material ramah lingkungan dan efisiensi energi melalui upaya menyeimbangkan cahaya alami dengan ventilasi dan pengaliran panas yang tepat. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya dengan tata kelola yang baik melalui aksi nyata lewat pemakaian air dan manajemen sampah yang benar. Agar kehadirannya semakin bermanfaat untuk sekitar.
Berkat dedikasinya dalam menerapkan sistem berkelanjutan ke dalam desainnya, Daliana menjadi satu-satunya arsitek perempuan Indonesia yang masuk dalam nominasi Diversity in Architecture Award atau DIVIA Award 2023, karena dianggap dapat mengangkat kesetaraan gender di dunia arsitektur. Nominasi ini sangat menarik dan mengundang keingintahuan saya, apakah ada ketidaksetaraan dalam dunia arsitektur?
Ketidaksetaraan di Dunia Arsitektur
Arsitektur merupakan cerminan dari masyarakatnya. Semakin maju suatu kota atau daerah biasanya memiliki arsitektur yang baik. Arsitektur yang baik bukanlah sekadar megah dan mewah. Arsitektur yang baik haruslah memenuhi kebutuhan penghuninya termasuk kenyamanan, privasi, aksesibilitas, keamanan, estetika, teknologi, dan lingkungan.Â
Seorang arsitek harus mempertimbangkan dampak bangunan terhadap lingkungan sekitar seperti penggunaan energi, bahan, dan air untuk mencapai transisi energi. Namun jika arsitektur merupakan cerminan dari masyarakat, mengapa bangunan di perkotaan memiliki desain yang lebih baik daripada daerah?
Ketidaksetaraan dalam dunia arsitektur terjadi berasal dari para arsitek itu sendiri yang kerap menetapkan standar tinggi dan tidak menerapkan transisi energi adil dalam berkarya. Pada akhirnya terbentuk stigma kalau profesi arsitek hanya untuk orang menengah ke atas.
Bukan hanya pada ketidaksetaraan ekonomi, ketidaksetaraan gender juga menghantui dunia arsitektur. Arsitek perempuan sering tidak diberi kesempatan bertanggung jawab atas proyek-proyek penting termasuk proyek bangunan berkelanjutan. Mungkin itulah alasan mengapa sulit mencari karya para arsitek perempuan Indonesia yang terkenal di mata dunia.
Ketidaksetaraan gender tidak hanya berhenti di situ. Dalam desain arsitektur, tubuh laki-laki lebih sering digunakan sebagai standar bentuk dan ukuran, misalnya dalam pengaturan sistem sirkulasi udara. Sistem fisiologis perempuan memiliki kapasitas 30% lebih rendah dari pada laki-laki.Â
Laki-laki memiliki jantung 80% lebih besar dibanding perempuan, laki-laki memiliki jumlah sel darah merah 40% lebih banyak dibanding perempuan. Perbedaan-perbedaan itulah yang menjadikan perempuan cenderung mudah lelah jika ruangan tidak mempertimbangkan transisi energi adil.
Pada akhirnya bukan hanya menjadi kelompok rentan dari krisis iklim, perempuan pun menjadi sosok yang paling terdampak dari lingkungan terkecilnya, yaitu bengunan tempatnya ia tinggal. Itulah mengapa arsitek-arsitek perempuan sangat dibutuhkan untuk mencapai Net Zero Emission 2060. Perempuan tidak boleh menunggu untuk dimengerti. Arsitek perempuan harus muncul di permukaan, berkarya melalui desain yang sustainable dan bermanfaat untuk semua strata ekonomi.
Jauh sebelum muncul arsitek perempuan seperti Daliana, kita memiliki sejarah dimana membangun rumah selalu melibatkan perempuan. Misalnya pada masyarakat Umametan Lawalu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur yang menerapkan simbol kesetaraan pada rumah adat melalui dua buah tiang yang disebut tiang agung. Â
Salah satu tiang yang disebut kakuluk/ri manaran bei mane melambangkan leluhur laki-laki, sedangkan tiang agung satunyayang dinamaikakuluk/ri manaran bei feto diperuntukan untuk leluhur perempuan. Kedua tiang ini oleh masyarakat Belu dinilai sebagai simbol bagi kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahwa sebuah keluarga terbentuk dari laki-laki dan perempuan.
Selain masyarakat Belu, ada juga masyarakat Banjar yang menaruh perempuan dalam tempat yang penting dalam penataan rumah. Ini dibuktikan lewat posisi ruangan untuk perempuan dalam rumah Baanjungan, rumah adat suku Banjar, Kalimantan Selatan yang terlindung dan berada tepat di belakang ruangan paling depan yang disebut palataran dan panampik besar.
Berkiblat pada budaya dan kebutuhan untuk transisi energi sudah sepatutnya kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih adil dan merata, terlepas dari ketidaksetaraan ekonomi dan gender. Seperti yang dilakukan Oxfam dalam memperjuangkan kesetaraan. Oxfam merupakan konfederasi internasional yang terdiri dari 20 organisasi yang bekerjasama di lebih dari 90 negara.
Di Indonesia Oxfam berfokus pada pemberdayaan perempuan guna mewujudkan hak-haknya untuk mengurangi ketidaksetaraan dan kemiskinan. Oxfam juga membantu membangun ketahanan terhadap bencana.Â
Memberdayakan perempuan agar tetap dapat berpartisipasi dalam semua aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam kehidupan mereka. Dan memastikan bahwa perempuan memiliki akses ke sumber daya dan layanan yang diperlukan untuk mengambil peran kepemimpinan, dan berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan.
Dengan adanya kesetaraan gender dan ekonomi di dunia arsitektur sudah tentu kita dapat secepatnya mewujudkan transisi energi adil melalui desain bangunan yang ramah lingkungan. Mengingat arsitektur cerminan dari masyarakat. Semakin banyak rumah atau bangunan berkelanjutan terbangun, semakin besar kerusakan lingkungan yang dapat kita kurangi. Sehingga lingkungan yang lestari tak lagi menjadi impian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H