Mohon tunggu...
Ninin Rahayu Sari
Ninin Rahayu Sari Mohon Tunggu... Jurnalis - https://nininmenulis.com

Former Journalist at Home Living Magazine n Tabloid Bintang Home - Architecture Graduate - Yoga Enthusiast - Blogger at www.nininmenulis.com - Coffee Addict - Morning Person

Selanjutnya

Tutup

Home

Menggali Sosok Arsitek Perempuan dalam Menghadirkan Sustainable Building

20 Juni 2024   14:17 Diperbarui: 20 Juni 2024   14:40 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhirnya bukan hanya menjadi kelompok rentan dari krisis iklim, perempuan pun menjadi sosok yang paling terdampak dari lingkungan terkecilnya, yaitu bengunan tempatnya ia tinggal. Itulah mengapa arsitek-arsitek perempuan sangat dibutuhkan untuk mencapai Net Zero Emission 2060. Perempuan tidak boleh menunggu untuk dimengerti. Arsitek perempuan harus muncul di permukaan, berkarya melalui desain yang sustainable dan bermanfaat untuk semua strata ekonomi.

Jauh sebelum muncul arsitek perempuan seperti Daliana, kita memiliki sejarah dimana membangun rumah selalu melibatkan perempuan. Misalnya pada masyarakat Umametan Lawalu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur yang menerapkan simbol kesetaraan pada rumah adat melalui dua buah tiang yang disebut tiang agung.  

Salah satu tiang yang disebut kakuluk/ri manaran bei mane melambangkan leluhur laki-laki, sedangkan tiang agung satunyayang dinamaikakuluk/ri manaran bei feto diperuntukan untuk leluhur perempuan. Kedua tiang ini oleh masyarakat Belu dinilai sebagai simbol bagi kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahwa sebuah keluarga terbentuk dari laki-laki dan perempuan.

Selain masyarakat Belu, ada juga masyarakat Banjar yang menaruh perempuan dalam tempat yang penting dalam penataan rumah. Ini dibuktikan lewat posisi ruangan untuk perempuan dalam rumah Baanjungan, rumah adat suku Banjar, Kalimantan Selatan yang terlindung dan berada tepat di belakang ruangan paling depan yang disebut palataran dan panampik besar.

Berkiblat pada budaya dan kebutuhan untuk transisi energi sudah sepatutnya kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih adil dan merata, terlepas dari ketidaksetaraan ekonomi dan gender. Seperti yang dilakukan Oxfam dalam memperjuangkan kesetaraan. Oxfam merupakan konfederasi internasional yang terdiri dari 20 organisasi yang bekerjasama di lebih dari 90 negara.

Di Indonesia Oxfam berfokus pada pemberdayaan perempuan guna mewujudkan hak-haknya untuk mengurangi ketidaksetaraan dan kemiskinan. Oxfam juga membantu membangun ketahanan terhadap bencana. 

Memberdayakan perempuan agar tetap dapat berpartisipasi dalam semua aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam kehidupan mereka. Dan memastikan bahwa perempuan memiliki akses ke sumber daya dan layanan yang diperlukan untuk mengambil peran kepemimpinan, dan berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan.

Dengan adanya kesetaraan gender dan ekonomi di dunia arsitektur sudah tentu kita dapat secepatnya mewujudkan transisi energi adil melalui desain bangunan yang ramah lingkungan. Mengingat arsitektur cerminan dari masyarakat. Semakin banyak rumah atau bangunan berkelanjutan terbangun, semakin besar kerusakan lingkungan yang dapat kita kurangi. Sehingga lingkungan yang lestari tak lagi menjadi impian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun