Tahukah kalau makanan yang kita konsumsi sehari-hari menyumbang tinggi karbon? Saat mendengar fakta ini jujur aku terkejut. Aku tidak menyangka kalau dari sepiring makanan, jejak karbon yang dihasilkan mulai proses produksi, pengemasan, hingga menjadi makanan yang kita nikmati itu jumlahnya tidak main-main. Tingginya karbon yang dihasilkan inilah yang pada akhirnya berdampak ke berbagai masalah lingkungan, seperti perubahan cuaca ekstrem, perubahan iklim, kerusakan ekosistem laut, hingga penyebaran penyakit.
Selama ini aku terlalu jauh berpikir, bagaimana caranya untuk turut menjaga lingkungan sustainable. Tidak pernah menyadari kalau dari satu aksi kecil melalui sepiring makanan kita sudah dapat melakukan itu semua. Dengan kita bersikap bijak dalam memilih jenis makanan yang ingin dikonsumsi, hingga tahu bagaimana mengolah makanan sisa, semua akan memberikan dampak untuk lingkungan sustainable.
Saat dijalani, ternyata tantangan terberat saat tetap bijak dalam mengkonsumsi makanan terletak pada opini orang sekitar. Tradisi meninggalkan makanan dan minuman sebagai tanda sudah kenyang masih kental melekat, sehingga tidak sedikit ucapan, "lapar bu?" kerap terlontar ke aku saat menghabiskan makanan di piring. Tidak sedikit juga yang memandang 'kasihan' berujung bergunjing saat aku membungkus makanan di piring yang tidak dihabiskan.
Jika saja kita semua tahu dan menyadari bahwa sampah yang dihasilkan dari sisa makanan yang tidak kita konsumsi sangat tinggi jumlahnya. Berdasarkan data tahun 2022 Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara penghasil sampah sampah makanan terbanyak di antara negara-negara G20.Â
Laporan Bappenas pun mengungkapkan, timbunan Food Loss & Waste (FLW) di 2000 hingga 2019 mencapai angka 115-185 kg per kapita setiap tahunnya. Kerugian yang ditimbulkan dari permasalahan sampah makanan ini diperkirakan mencapai 213-551 triliun rupiah setiap tahun, atau setara 4-5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dengan pengelolaan Food Loss & Waste kita berpotensi memberi makan 61 hingga 125 juta orang atau setara dengan 29-47 persen dari populasi Nasional. Ini menyadarkan kita bahwa permasalahan yang timbul dari konsumsi makanan berlebihan bukan hanya pada sampah yang dihasilkan saja, tetapi juga masalah kesehatan. Mengingat saat ini Indonesia masih menghadapi beban ganda malnutrisi.Â
Pada satu sisi sebanyak 30,8 persen anak di bawah usia 5 tahun masih terkena stunting dan 10,2 persen anak di bawah usia 5 tahun mengalami wasting atau gizi buruk. Sedangkan di sisi yang lain 10,9 persen wanita dewasa di atas usia 18 tahun dan 6,3 persen pria dewasa hidup dengan obesitas.
Karena tidak ingin menjadi orang yang turut menyumbang sampah makanan, aku mulai mencoba bijak dalam mengkonsumsi makanan. Melalui satu aksi kecil yang dilakukan, aku berharap semakin banyak orang sekitar turut terpanggil untuk menjaga lingkungan sustainable melalui bijak dengan apa yang mereka makan. Beberapa cara bijak untuk menjadikan lingkungan sustainable yang aku lakukan yaitu:
Bijak dalam memilih makanan. Sebab makanan yang kita pilih akan berpengaruh ke seberapa banyak emisi karbon yang timbul. Bijak memilih makanan di sini termasuk menyadari fungsi makanan sebagai pemenuhan kebutuhan gizi bukan sekadar memuaskan diri.Â
Dengan begitu kita akan tahu takaran tepat untuk setiap porsi makan sendiri yang harus dihabiskan tanpa disisakan. Agar tidak ada makanan terbuang lakukan juga perencanaan makanan apakah itu harian, mingguan, atau bulanan.Â
Berkomunikasi dengan orang rumah mengenai makanan yang disukai dan akan dihabiskan sangat diperlukan, sehingga kita dapat berbelanja sesuai dengan menu yang akan dimasak.Â
Untuk bahan makanan yang dibeli berlebih sebaiknya disimpan dalam lemari es agar tidak mudah rusak atau dengan menyimpannya dalam wadah kedap udara agar masa simpannya lebih lama.
Beralih ke pola makan ramah lingkungan seperti plant based diet yang lebih sehat dan tanpa efek samping. Sebuah studi di Oxford mengungkapkan kalau plant based diet atau konsumsi makanan nabati bisa mengurangi carbon footprint hingga 73 persen akibat munculnya gas metana dari kotoran ternak.Â
Jika menganggap sayuran sebagai sumber makanan nabati terlalu mahal, cobalah menanamnya sendiri. Pilih sayuran yang tidak membutuhkan banyak perawatan, seperti tomat, selada, kangkung, atau bayam.Â
Seperti yang aku lakukan saat ini aku menanam cabe di rumah dan itu sangat membantu di tengah mahalnya harga cabe. Kedepannya aku ingin mencoba menanam jenis sayuran lain di halaman rumahku yang tidak terlalu luas itu. Semoga dapat menjadi sumber makanan nabati tambahan.Â
Saat ini banyak orang yang bangga ketika mengkonsumsi makanan dari luar negeri atau daerah lain karena sedang viral atau dianggap prestisius. Namun tahukah kamu kalau proses pengemasan, pengiriman, hingga pengawetannya banyak menghabiskan dana dan sumber daya lingkungan? Untuk itu mengapa tidak mencoba menikmati makanan lokal segar yang di dapat dari sekitar tempat kita tinggal?Â
Mengkonsumsi makanan musiman juga menjadi langkah jitu untuk memaksimalkan sumber daya alam yang ada. Selain mendapati kematangan yang sempurna, nutrisi yang kita dapat juga lebih berlimbah, terpenting lagi harga lebih terjangkau.
Mulai mengurangi makanan olahan yang menggunakan bahan-bahan tinggi gula, lemak, garam, dan lainnya. Selain kandungan gizi baiknya sangat sedikit dan dapat memicu berbagai jenis penyakit, pemrosesan makanan olahan menggunakan banyak energi dan berpotensi mencemari lingkungan. Untuk itu sangat disarankan untuk teliti dalam memperhatikan food label berdasarkan bahan atau komposisi, fakta gizi, serta klaim dan sertifikasi.
Bahan makanan yang tidak habis digunakan umumnya menjadi sampah dan mencemari lingkungan sekitar (food loss). Kebiasaan yang memicu orang untuk terus menerus membeli bahan makanan yang sebenarnya tidak terlalu perlu berawal dari tidak dihabiskannya makanan. Karenanya, usahakan agar semua bahan makanan terpakai semua dengan mengolahnya jadi menu-menu baru atau memanfaatkannya untuk dijadikan kompos tanaman. Selain itu, jangan membeli bahan atau masak berlebihan yang nantinya akan menambah sampah.
Untuk melakukan itu semua mungkin terasa tidak mudah di awal. Untuk itu aku memberikan sedikit tips yang mungkin dapat dilakukan dan menjadi kebiasaan yang baik bagi lingkungan sustainable. Aku memulainya dengan menghabiskan sepiring makanan dan berusaha mengurangi sampah yang timbul saat proses pengolahan.Â
Setelah hal tersebut menjadi kebiasaan baik, barulah melangkah ke langkah berikutnya, seperti memperbanyak makanan nabati dan mengurangi konsumsi makanan instan.
Jika langkah kecil melalui sepiring makanan ini dapat kita lakukan terus menerus hingga menjadi kebiasaan baik dan dilakukan oleh semua orang, aku percaya lingkungan sustainable bukan sekadar harapan tetapi sebuah kepastian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI