Ini kisah tentang empat atau lima tahun lalu di saat saya bertekad menurunkan berat badan. Mungkin bukan tekad tepatnya, tapi paksaan dari orang sekitar. Paksaan yang menimbulkan rasa malu karena Mama mencubit-cubit punggung saya yang empuk, malu karena lutut selalu sakit saat naik tangga, malu karena sulit menemukan ukuran dan model pakaian yang sesuai, malu dibilang gendut, dan banyak lagi rasa malu yang saya alami.
Untuk diketahui berat badan saya saat itu mendekati 90 kilogram dengan tinggi 165 centimeter. Tidak ada pilihan lain selain menuruti ajakan teman yang saat itu tengah mendaftar di salah satu tempat kebugaran. Karena berawal dari keterpaksaan, untuk proses dan syarat pendaftaran pun saya lakukan via whatsapp. Dan untuk melangkahkan kaki pertama kali ke tempat gym saja rasanya berat.
Hari itu hari Senin, hari di mana saya mulai nge-gym. Saya memilih mengikuti kelas Body Combat, karena konon menurut kata orang olahraga ini banyak menguras tenaga dan membuat cepat kurus.Â
Di saya? Karena belum mengerti keselamatan berolahraga dan keinginan yang menggebu-gebu untuk kurus, hasilnya lutut saya sakit. Berminggu-minggu lutut saya nyeri hingga akhirnya saya bertanya ke salah satu instruktur Mix Impact atau Aerobik yang melihat berat tubuh saya dan menyarankan untuk mengurangi jenis olahraga bersifat high impact, seperti treatmill, step, dan lain-lain termasuk Body Combat dan Mix Impact sendiri. Keinginan untuk kuruslah yang membuat saya justru mengambil olahraga 'terlarang' itu. Kalau bukan olahraga high impact, lalu bagaimana saya bisa cepat kurus? Itu pertanyaan yang ada di benak saya saat itu.
Kelas Yoga. Ya saya mengikuti kelas ini dengan harapan untuk mengistirahatkan lutut hingga sembuh baru kemudian kembali ke latihan high impact lagi. Harapan yoga yang hanya duduk dan stretching, ternyata hanya mimpi bahkan bertahan di lima belas menit awal saja saya tidak mampu. Saat itu saya berpikir "tubuh saya yang besarlah penyebabnya."
Hingga datang hari di mana pikiran tersebut dibalik.
Dalam ruangan hadir seorang peserta yang menurut saya sizenya 11-12 dari saya. "Asik ada temennya nih," begitu saya membatin.
Kenyataannya? Jauh panggang dari api.
Peserta tersebut bukan saja mampu melakukan semua gerakan bahkan ia bisa melakukan Urdva Dhanurasa atau khayang dengan kaki diangkat. Dan saya pun, lemas.
Dari hari itu harapan menjadi kurus pun pudar, karena yoga tidak hanya untuk mereka yang bertubuh kurus. Tekad kurus pun saya kubur dalam-dalam. Lambat laun saya mulai dapat menerima kehadiran tubuh saya, tidak malu lagi, ikhlas kalau kata agama.Â
Tekad kurus pun berganti dengan keinginan yang lebih sederhana "saya ingin bisa". Sehingga setiap ditanya orang "memangnya bisa kurus kalau ikut yoga?" saya selalu berkata "saya tidak ingin kurus, saya ingin menjadi kung fu Panda. Meskipun gemuk dapat melakukan semua gerakan."
Untuk menjadi 'kung fu Panda' saya rutin mengikuti yoga dan olah raga soft impact lain tentu saja. Perasaan sudah dapat menerima kondisi tubuh membuat saya tidak lagi memforsirnya berlebihan. Di treatmill pun saya tidak pernah berlari. Saya hanya latihan rutin dan mengikuti kemampuan tubuh. Jika sudah lelah ya istirahat.
Perasaan menerima kondisi dan ikhlas terhadap tubuh sendiri ternyata menjadi EnergiBaik untuk saya. Betapa kagetnya saya saat menimbang, sedikit demi sedikit berat badan saya susut hingga 65 kilogram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H