Kisah Kelabu Kamar Mandi Itu
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Sudah, supaya tidak menerorku, kalian di sini saja! Kalau kalian error, benar-benar teror horor, tahu!" ujar Nindi sambil memberi sepiring makanan pada keempat ekor anak kucing yang dua minggu ini  dinilai sangat mengganggu.Â
Mereka dimasukkan ke dalam kamar mandi agar tidak pup sembarangan. Nanti tinggal menyemprot saja, langsung hilang. Gampang. Tidak usah mencari-cari, tetapi langsung ketahuan karena terkonsentrasi juga. Sebagai upaya meminimalisasi polusi udara, sekaligus meredam emosi sang suami yang sering meledak tak terkendali.Â
Ya, anak kucing berusia hampir tiga bulanan itu dua minggu belakangan ini sedang error. Bahkan sukses memberi teror. Tidak lagi memajankan kelucuan menggemaskan sehingga sang suami yang sebelumnya sudah mulai lilih, menjadi geram kembali atas kehadirannya.
"Ya, Allah ... mohon kesabaran ekstra untuk menangani mereka. Termasuk rezeki agar kami dapat membeli makanan kucing yang tidak murah juga. Hanya Engkaulah pemilik semesta yang berbelas kasihan, limpahkanlah kasih-Mu kepada kami. Berikanlah kesehatan agar mereka pulih kembali," pinta Nindi setiap saat kepada-Nya.
Mulanya, lima tahun silam, Nindi memang mengadopsi seekor kucing jalanan putih berkelamin jantan karena banyak ular di sekitar rumah. Ternyata setahun kemudian, kucing yang diberi nama Miska itu membawa seekor anak berkelamin jantan. Kucing kecil berbulu putih itu memiliki warna mata biru. Nindi senang sekali karena memang menginginkan mata biru seperti itu. Diberilah nama Kumoru, kucing moto biru.
Seiring perjalanan waktu, Miska menjadi pejantan tangguh yang sangat pemberani dan gemar berkelahi. Bahkan, jika pulang sebentar, Kumoru pasti dihajarnya. Kasihan dengan Kumoru kecil, dibuanglah si Miska yang berubah menjadi kucing garong itu.
Tahun berikutnya, Kumoru pun membawa seekor anak berbulu kuning. Sayang, kucing kuning ini berkelamin betina. Diberilah nama Cantik karena memang berwajah cantik, lucu, imut, dan meggemaskan. Belum setengah tahun, si Cantik pun melahirkan.
Pertama kali melahirkan, 3 Agustus 2024, Cantik memberikan seekor anabul hitam. Sayang, bayinya hanya bertahan tiga hari. Akan tetapi, 5 November 2024 si Cantik kembali melahirkan. Kali ini lahir empat anak dengan berbagai variasi warna bulu. Sulung dominan bulu hitam, diberi nama Iyeng; anak kedua tiga warna diberi nama Telon; anak ketiga dominan warna abu-abu diberi nama Abu; bungsu berwarna kuning emas persis induknya dan diberi nama Oyen.
Sebelum disapih keempat anak kucing lucu tersebut tidur di dalam kamar bersama suami. Namun, karena bau pup di litter box, suami mengusir agar keluar dari kamar. Sejak pengusiran itulah keempat anak kucing yang berada tidak di tempat hangat menjadi sakit. Apalagi karena cuaca buruk, mendung hingga hujan yang disertai dingin. Diare melanda hebat baik keempat ekor anak, maupun induknya.
Sejak pengusiran tersebut, teror terjadi. Pup yang awalnya terkonsentrasi pada tiga litter box, menjadi berantakan. Barangkali karena tidak bisa menahan diri, anak-anak kucing itu pup dan pip di tempat sembarangan saja. Otomatis, bau menyengat pun merebak ke mana-mana.
"Beruntung aku pernah berada di rumah sakit sebagai calon perawat saat sebelum masuk kuliah. Walaupun hanya tiga bulan, aku bisa mengatasi bau pup. Jadi, tidak masalah," ujar Nindi bersemangat.
Dengan adanya teror tersebut, aktivitas Nindi bangun tidur pagi hari bertambah satu lagi. Berburu pup anak kucing, menutup dengan pasir kali; Â menggosok, mengosek, dan menyapu menggunakan sapu lidi, serta menampung ke dalam cikrak. Lanjut membuang kotoran yang telah berbaur dengan pasir dan tidak berbau lagi itu ke tempat khusus pembuangan pup kucing. Setelah itu, barulah Nindi mengepel bekas tempat pup dengan tambahan obat pel beraroma cemara. Beres, deh. Ketika suami terbangun, tidak ada lagi bau kotoran kucing!
Namun, teror bukan hanya perkara pup kucing. Jika Nindi keluar dari kamar ruang depan, keempat ekor anak kucing itu mengikuti ke mana pun Nindi pergi. Satu hal yang dikhawatirkan adalah jika terinjak. Belum lagi suara mengeong ribut bukan main.
"Aduuhh, ya, Tuhan. Sekali lagi mohon kesabaran," keluh Nindi mengelus dada.
"Kamu kalau ada Papa jangan ribut, ya! Bisa-bisa kamu diminta dibuang, loh!" seru Nindi meneriaki para anabul.
Tak urung Nindi tertawa juga. Ia tahu dan sadar bahwa anak kucing tidak paham bahasa yang ia gunakan. Jadi, kembali ia memohon kekuatan saja kepada-Nya. Kalau membuang anabul yang masih imut itu, ada juga perasaan takut dosa. Sungguh sangat dilematis. Itulah mengapa, kemarin malam ia berinisiatif mengunci mereka di kamar mandi. Paling tidak agar pup tidak ke mana-mana. Beruntung masih ada satu kamar mandi lagi sehingga tidak mengganggu aktivitas hayati pasangan suami istri tersebut.Â
"Eh, ke mana para setan anabul itu, Ma? Kok sepi?" tegur suami.Â
"Ahaha ... aku setrap, kumasukkan kamar mandi biar pup tidak ke mana-mana!"
"Hmm, good job! Ngomong-omong kok jadi ingat cerita di kamar mandi, ya, Ma! Tetangga kita di Klampok timur itu ayah, ibu, dan seorang lagi meninggal, semua karena jatuh di kamar mandi. Jadi, jangan lupa tetap upayakan bersih!"Â
"Tenang saja. Urusan kosek-mengosek tanggung jawab saya!" jawab Nindi tegas hingga suami memberikan acungan jempol.
"Oke, yang penting aman!" sambut suami.Â
Tiba-tiba mendengar tangis para kucing yang mengeong di kamar mandi, tepat di samping kamar tidur, ia tergugu. Ketika hendak tidur malam itu, Nindi teringat akan beberapa musibah mengenaskan, memalukan, memilukan, sekaligus sangat memprihatinkan. Ya, sehubungan dengan kamar mandi, ia pernah mengalami  peristiwa tragis yang sedikit membuat trauma.
Tahun 1977
Untuk bisa kuliah di Malang, Nindi yang berlatar belakang dari keluarga pas-pasan itu harus rela dititipkan keluarga. Tentu saja karena berstatus nebeng, ia harus tahu diri. Nindi membantu pekerjaan apa saja yang bisa dilakukannya. Itu harus!
Sejak awal masuk kuliah, Nindi ikut saudara ayah kandung yang tinggal sangat dekat dengan kampus. Hanya 300 meter dari tempat Nindi mendulang ilmu. Dengan berjalan kaki lima menit saja, Nindi sampai di ruang kuliah. Namun sayang, keluarga paman dan bibi, pasangan perawat di bagian sakit jiwa, ini menerima pasien juga di rumah.
Satu dari tiga pasien lelaki yang dirawat berada tepat di sebelah kamar tidur Nindi. Setiap malam, Nindi tidak bisa tidur dengan pulas karena si pasien menggedor-gedor jendela kamar. Merasa terganggu, Nindi pindah ke rumah saudara yang lain. Sayang, jarak antara rumah dan kampus sangat jauh. Tujuh hingga delapan kilometer!
Demi meraih cita-cita, berjalan jauh pun rela Nindi lakukan. Setiap hari ia berjalan kaki, berangkat pukul lima pagi dan pulang sesuai jadwal. Akibatnya, flek-flek hitam memar bertebaran di berbagai tempat, baik di betis maupun paha. Terlalu lelah!
Pasangan lansia dengan seorang putri berusia tiga tahun di bawah Nindi itu hidup pas-pasan juga. Ketika Nindi membawa sepeda onthel dari kampung, sedianya hendak digunakan untuk pergi pulang kuliah, dipinjam oleh mereka.
"Nin, sepedamu kami pinjam, ya. Kamu cukup jalan kaki saja, lebih sehat dan aman!" dalih si istri.
Dalam hati Nindi sangat kecewa. Apalagi ternyata sepeda itu digadaikan. Nindi  mulai resah. Maksud hati untuk menggunakan sepeda agar tidak berjalan kaki, hancur sudah.
Suatu pagi sang istri tidak sedang di rumah. Nindi menggoreng tempe di dapur dengan santai. Namun, tiba-tiba suami pasangan sepuh tersebut memeluknya dari belakang. Nindi sangat kaget. Ia meronta-ronta sambil berteriak. Akhirnya, ia pamit minta ke kamar mandi karena hendak berkemih.
Begitu pelukan renggang, Nindi bergegas ke kamar mandi. Ia bukan hendak berkemih, melainkan menangis sejadi-jadinya. Ia mengunci diri sampai didengarnya ada suara istri pasangan sepuh tersebut.
Minggu berikutnya, Nindi meninggalkan rumah itu dan nebeng di rumah salah seorang teman sedesa sebelum memperoleh tempat indekos. Ia tidak mengemukakan hal negatif tersebut, tetapi beralasan mencari tempat dekat kampus.
Tahun 1980
Nindi telah bersuami dan memiliki dua balita. Sang suami menjemput dari tempat kerja dan mengajak singgah ke kantor  sebentar untuk menyelesaikan tugas. Nindi pamit berkemih. Toilet kantor itu berada jauh di belakang. Sebelah kamar mandi tersebut adalah bengkel mobil yang lumayan luas. Otomatis suara bising pun membuat polusi yang tak terelakkan.
"Loh! Kok tidak bisa dibuka?" ujar Nindi sambil menggoyang-goyang engsel pintu kamar mandi.
Dipanggillah sang suami dengan berteriak-teriak. Namun, sekencang apa pun, suara Nindi hilang ditelan angin. Kalah oleh suara bising bengkel. Sang suami yang sedang asyik bekerja jauh di ruang depan, jelas tidak akan mendengarnya.
Hatinya makin kacau. Tangisnya pun meledak. Akhirnya ia pasrah sambil berdoa semoga suami segera datang menolong. Ia tahu tidak ada siapa pun di kantor itu karena memang sudah jam pulang kantor.
Ketika melihat tas istri berada di seberang kursi tempat duduknya, barulah sang suami menyadari bahwa ia sedang membawa istri ke kantor. Dicarilah sang istri di kamar mandi. Nindi sedang meringkuk, jongkok di salah sebuah sudut kamar mandi, frustrasi sambil menangis sesenggukan. Tangis Nindi belum berakhir. Ia tak bisa berbuat lain. Sudah dua jam ia terkurung di kamar mandi itu!
Tahun 1997
Seiring perjalanan waktu, Tuhan memberkati keluarga Nindi sedemikian rupa. Kerja keras dan pola hidup hemat yang diterapkan telah membuahkan hasil. Rumah mungil warisan mertua yang sebelumnya mereka tempati, berhasil ditukar guling dengan rumah paling besar di gang kampung tersebut. Sebuah keinginan yang didoakan selama empat tahun telah diwujudnyatakan dan dikabulkan oleh-Nya. Luar biasa.
Suami Nindi sedikit melakukan renovasi. Kamar mandi kuno yang sangat luas disulap, digabung dengan kamar tidur sebelahnya. Dengan demikian, kamar tidur belakang lumayan luas. Lalu dibangunlah dua kamar mandi baru. Jika dua orang hendak menggunakan kamar mandi, tidak harus bertengkar dan berebutan.
Saat itu Nindi yang kuliah pascasarjana pulang pagi. Rumah kosong karena ketiga putranya ada yang masih bersekolah dan ada pula yang sudah berkuliah. Sementara, seperti biasa suami selalu pulang sore karena lanjut memberi les privat.
Ketika menggunakan kamar mandi baru, ternyata Nindi terkunci. Entah bagaimana, kunci tersebut macet. Sekali lagi, Nindi harus terkunci lebih dari dua jam di kamar mandi! Ia bisa meminta tolong setelah didengar salah seorang putra pulang dari sekolah. Setelah itu, dimintalah pertolongan dari tetangga sebelah.Â
Masa kecil Nindi ketika masih ikut kakek neneknya di kampung, tidak ada masalah dengan kamar mandi. Kamar mandi yang bak atau kulahnya ukuran panjang dua meter dan lebar satu seperempat meter itu malah bisa digunakan berkubang saat jadwal menguras. Justru hal yang sangat Nindi sukai. Bahkan, kamar mandi superluas itu bisa digunakan untuk mandi bersama bagi Mbak-mbak anak indekos.Â
Jadi, tidak ada acara menghukum anak dengan mengunci di kamar mandi. Â Demikian juga saat Nindi dewasa dan memiliki tiga putra tampan dan cerdas. Nindi dan suami tidak pernah menghukum anak dengan cara mengunci di kamar mandi. Tabu bagi Nindi dan suami. Mereka berdua berjanji tidak akan memberlakukan sanksi itu kepada si buah hati. Bukan karena trauma, melainkan karena kamar mandi yang mereka miliki tidak sesuai sebagai tempat menghukum. Apalagi, hukuman fisik pasti akan meninggalkan jejak secara psikis. Nindi paham akan hal itu.Â
Beberapa kejadian yang pernah dialami masa remaja hingga dewasa berkenaan dengan kamar mandi itu berhasil membuat Nindi begitu trauma. Ia tidak berani mengunci pintu tatkala berada di kamar mandi. Selalu berusaha mencari tahu kondisi kunci kamar mandi sebelum mengunci dari dalam. Bahkan, ada kalanya ia mengajak teman hanya untuk menjaga agar tidak terkunci kembali.
Demikianlah tentang trauma tragedi toilet yang pernah dialami Nindi. Kisah sebuah kamar mandi yang berhasil mengharu biru hatinya. Bahkan, hingga sekarang kalau  memungkinkan, ia tidak akan pernah mengunci pintu toilet alias kamar mandi yang sedang dimasukinya. Selalu waspada sebelum menggunakan kamar mandi di luar rumah, apalagi sebagai fasilitas umum.
***Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI