"Oooo ...," jawabnya menunduk.
"Makanya dengar baik-baik! Kuping apa centhelan itu, Man!" sergah Sumarli sambil menahan tawa.
"Nah, sudah yaa ... Parman paham nggak di mana letak kesalahpahamanmu?"
"Iya, Bu. Maaf!"
"Pareman iku opo toh?" tolehnya pada teman-teman lelaki yang lain.
"Owalah ... dasar! Pareman iku bobokan, diluluri atau dilumuri koyo beras kencur ngono loh! Dasar wong ndeso!"
Salah seorang teman lain menjawab ketidaktahuan Suparman tentang parem atau param. Karena diucapkan terlalu cepat pareman yang berarti menggunakan parem, dibaca eh ... diucapkan seperti nama dia: Parman.
Meledaklah tawa teman lain yang mendengar insiden seputar kesan karnaval tahun 1973, lebih dari setengah abad silam.
"Kamu juga Nin ... mestinya jangan bilang tidur dengan pareman, tetapi tidur menggunakan parem! Hahaha ...."
Saat ini beberapa dari teman sekelas telah berpulang, satu di antaranya teman yang bernama Suparman di atas. Ia menderita kanker tulang. Gegara badminton, entah keseleo atau bagaimana, akhirnya lengan kanannya bengkak. Sempat diamputasi, tetapi nyawanya tidak tertolong setelah sekian lama dalam penderitaan.
Seandainya masih ada, ia pasti akan tertawa mendengar atau membaca cerita ini. Semoga kamu tenang di sana, Sahabat!