Tidur dengan Pareman
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Ketika melihat tayangan karnaval, tetiba ingatanku melayang pada setengah abad silam. Saat itu aku duduk di bangku kelas satu SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Bersama teman-teman lain, saat tujuh belasan, aku mengikuti karnaval dengan mengenakan baju adat sebagai putri Bali.
Berjalan sepanjang entah berapa kilometer sejak siang, sore, hingga petang sekitar tiga jam tentu saja membuat badan lelah sekali. Apalagi menggunakan selop high heel yang lumayan berat.
Karena capek, ketika sudah selesai penilaian dan hari mulai gelap, guru pendamping menyarankan agar para gadis yang menggunakan alas spesial diminta nyeker saja. Tanpa alas kaki. Apalagi, jalanan sudah tidak sepanas siang tadi. Sementara, sekian pasang selop dengan tumit tinggi itu dibawa seseorang dengan bersepeda motor.
Setelah berhasil mengikuti gerak jalan dan karnaval tingkat kabupaten di kota kabupaten, esok harinya guru bertanya-tanya tentang kesan para peserta.
"Bagaimana kamu, Nin? Capek, nggak?"
"Sangat, Bu! Tapi saya bisa mengatasinya," jawabku meyakinkan.
Sementara, teman-teman lain mulai berdatangan merubung kami berdua.
"Bagaimana caramu mengatasinya?" tanya Bu Ismiati lebih jauh.
"Saya tidur dengan pareman, Bu!"
Tetiba salah seorang teman lelaki kami meradang dengan menjawab tegas.