Apa Abai dan Lalai hingga Pucuk Terkulai?
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Kalender sampai  halaman terakhir. Kurang beberapa hari tahun berganti. Bisa dibilang kesan dan kenangan akhir dan awal tahun!
Kulihat penunjuk waktu di  laptopku, tepat pukul 01.55. Tak lama kemudian, terdengar kentongan dipukul dua kali. Namun, tetiba bulu kudukku berdiri tanpa permisi. Tak kuketahui penyebabnya.  Mendadak aroma melati lewat ....
Otomatis  teringat puzzle memori beberapa tahun silam. Di bulan sama. Saat  tengah malam yang sama. Situasi  mirip, tetapi tempat dan kondisi berbeda. Saat itu kusedang menunggui putri angkat yang terkulai lunglai di pembaringan.
***
Aneka selang bertebaran. Ada dua macam infus. Satu di pergelangan tangan kiri, satu lagi di kaki. Tabung oksigen seukuran manusia berdiri kokoh di atas kepala lengkap dengan peralatan pernafasan.
Ranjang berpagar sempurna. Bahkan kedua kaki pasien dan tangan kiri pun diikat dengan besi pagar ranjang. Praktis  tinggal tangan kanan saja yang terkadang digerak-gerakkan seolah mengusir nyamuk.
Ini kali pertama bagiku menjaga pasien di rumah sakit. Mana bau obat menyengat. Asli, sejujurnya membuat mual.
Beruntung sekali ruang kamar dengan tiga bed tersebut kosong setelah dua hari lalu salah seorang pasien memaksa pulang. Dengan demikian, praktis kondisi sangat hening, cocok untuk berdoa dan bersenandung lirih, mengumandangkan puji-pujian.  Pada  saat kulakukan penyembahan dan puji-pujian, sering kudengar secara audibel suara tanpa sosok, "Tutup tahun, tutup usia!" Hal sepertiÂ
itu kami percayai sebagai suara ilahi. Namun, aku abai. Aku lalai bahwa itu petanda simbolis.
Sudah seminggu aku terlibat jaga malam seperti ini. Kalau pagi,  pulang dan bergantian dengan Bude, ibu si pasien yang bertugas jaga di siang hari. Urusan dokter yang selalu visite siang hari, aku tak berwenang menjawab pertanyaan atau apa pun berhubungan dengan  pasien.
"Ma ... ngantuk!" pamitnya pukul delapan lebih sedikit sore kemarin.