Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Berubah dalam Sekejap

30 November 2024   02:14 Diperbarui: 30 November 2024   02:14 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Berubah dalam Sekejap

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Sebagai gadis remaja usia tujuh belas tahun, Widuri sangat disukai oleh teman-teman sebaya. Selain pandai bergaul, supel, humble, friendly, dan cukup humoris, ia terkenal sebagai seorang penari jempolan. Dapat dipastikan, ia selalu menjadi pilihan pertama dan utama jika sanggar sedang melakukan perhelatan tari.

Ia sudah malang melintang di dunia tari. Beberapa kali memperoleh job untuk mengisi acara pada wedding ceremony yang diselenggarakan oleh Wedding Organizer terkenal di kotanya. Bahkan, oleh pelatih tarinya, seringkali ia diminta menjadi asisten guru tari. Sikap dan sifatnya yang rendah hati pun sangat membantunya menjadi sosok adem, ramah, dan santun terhadap adik-adik usia sekolah dasar yang menjadi peserta latihan tari di sanggar milik gurunya itu.

Senyum  manis dara ayu dengan pipi berlesung sebelah kiri, dihias gigi gingsul itu sungguh sangat menawan bagi para penggemarnya. Gerakan halus gemulai seirama dengan gamelan pun sangat memikat para penikmat tari tradisional yang dilakoninya. Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika memasuki bulan-bulan 'musim kawin' attau 'musim pengantin' pundi-pundi Widuri kian menggeliat gendut saja.

Jadi, karena berbagai kelebihan yang dimilikinya itulah, Widuri menjadi seseorang yang cukup spesial di mata komunitasnya. Cerdas, tangkas, dan trengginas di mata pelatih tarinya. Sementara, di mata para yunior, ia adalah kakak tingkat yang sangat melindungi, paling telaten dan teliti dalam melatih setiap gerakan tari.

Tidak jarang bintang panggung itu dicari-cari baik oleh owner Wedding Organizer, atau siapa pun yang pernah melihat, menikmati, atau mengenal peragaan tari yang disajikannya. Kepribadian cukup mantap, penampilan sederhana dan busana bersahaja yang ditunjukkannya pun menambah nilai plus tersendiri. Penguasaan jenis tariannya pun cukup banyak. Untuk acara mantu atau ngunduh mantu, menjadi cucuk lampah bagi pengantin sebelum memasuki area hajatan, sekaligus penari yang diidolakan masayarakat. Demikian  juga pada  acara-acara resmi lain di jalur pemerintahan maupun swasta, penguasaan tarinya sangat mumpuni. Namanya pun cukup moncer.

Namun, sejak sekitaran semingguan belakangan ini perilaku Widuri menjadi aneh dan cukup membuat gelisah sang sepupu. Wangi! Ya, Wangi merasa menjadi sosok  paling terdampak oleh ulah Widuri. Betapa tidak. Widuri yang biasanya bersikap dan bertingkah sangat manis mennjadi uring-uringan dan sewot tanpa sebab jelas.
Puncaknya, ketika suatu saat kedua gadis itu hendak melakukan latihan tari seperti biasa. Saat itu kebetulan berada di pendopo agung sebuah kabupaten yang terletak di dalam kota, bukan seperti latihan biasa di tempat kecil. Wangi mengemukakan secara baik-baik kepada sepupunya. Kebetulan si sepupu memang sedang berdiskusi dengan beberapa orang terkenal. Mungkin moment atau timing-nya sangat tidak tepat pula.
 
"Mbak Wik ... sampur kuning boleh kupinjam?" Wangi meminta izin meminjam sampur karena ia lupa tidak membawa perlengkapan tari tersebut. Sementara, ia tahu persis Widuri selalu membawa cadangan.

"Nggak boleh! Enak saja!" tangkis Widuri menggertaknya dengan mata terbeliak.

Tentu saja Wangi sangat kaget. Tumben sekali sang sepupu membentak seperti itu. Di mana kelembutan yang selama ini dipertontonkan kepada siapa pun termasuk kepada dirinya? Bukan hanya tersentak, melainkan sangat terhenyak. Sungguh merupakan sesuatu yang sangat menohok.

"Ada apa gerangan?" tanya Wangi di dalam lubuk hatinya.

Wangi berpikir keras. Apakah ada yang salah dengan diri Widuri, atau bahkan dirinya sendiri? Bisa-bisanya gadis yang terkenal berperangai halus itu membelalak dan berteriak keras seperti itu. Tumben! Tidak biasanya!

Wangi tak habis pikir, tetapi tidak berani menanyakannya secara langsung. Selain malu dilihat orang lain bila didengar teriak tantrumnya, Wangi juga tahu diri. Dibentak seperti itu sungguh sangat menampar nurani dan jantung hatinya. Ia  sangat tahu kondisi dirinya. Sekalipun kedua gadis itu sebaya, hanya terpaut setengah tahun lebih tua, Wangi harus tahu membawa diri. Harus disadari dengan baik-baik, siapakah dirinya di hadapan sang sepupu, khususnya!

Wangi tahu, ia hanyalah seorang penumpang di dalam keluarga sepupunya itu. Walaupun bukan penumpang gelap, tetap saja jika diperlakukan sedikit kasar terasa sangat menyakitkan. Tidak biasanya juga Widuri sekasar itu kepadanya. Padahal, jika dipikir-pikir hanya masalah sangat sepele. Hanya masalah meminjam sampur, selendang yang harus dikenakannya saat berlatih menari tarian tradisional Jawa. Hal yang sebenarnya tidak sangat urgent! Tanpa menggunakan pun, asal melapor kepada pelatih atau pemilik sanggar, tidak masalah. Namun, mengapa sedahsyat itu respons si sepupu?

Kalau memang tidak diizinkan meminjam, bukankah Widuri bisa berbisik perlahan dan lembut, misalnya, "Maaf ... sudah kedahuluan dipinjam yang lain!"

Akan tetapi, tidak demikian yang terjadi. Widuri yang biasa disapa Wik atau Wiwik itu tampak sangat berang ketika Wangi mengajukan permohonan untuk meminjam sampurnya. Karena putri budenya, Wangi pun harus memanggilnya dengan sebutan Mbak. Panggilan secara kekerabatan.

Wangi terpaksa berinisiatif meminjam barang penting dalam latihan menari yang terlupa dibawanya. Ya, padahal Wangi memang benar-benar sedang kelupaan membawa perlengkapan tari tersebut. Namun, yang diterimanya adalah kata-kata kasar. Apalagi disampaikan dengan membelalak di depan sekian orang, termasuk para yunior yang sedang ikut berlatih di sanggar.  

"Apa salahku, ya ... Allah!" keluh Wangi dalam hati sambil mengembuskan napas perlahan.

"Tega benar dia membentakku di hadapan banyak orang." Wangi  menunduk merenungkan diri sambil menahan malu, tetapi tetap penasaran.

Seperti biasa, Wangi tahu diri. Sangat tahu diri. Sebagai seseorang yang numpang hidup, nebeng di keluarga almarhumah ibunya, ia selalu berhati-hati. Namanya saja ngenger. Tahu diri itu wajib!

Ada apa dengan Widuri? Tatapan tajam, sikap sinis, dan ulah cuek serta sewot ditunjukkannya dalam dua tiga hari belakangan. Mengapa sedemikian sensitif?
"Apakah karena sedang PSM, ehh ... PMS? Itu ... Premenstrual Syndrome maksudnya.  Atau ada hal lain? Hmm, entahlah!" Wangi membatin, tetapi tentu saja tidak dengan sekilas senyum seperti yang biasa dilakukannya.

Kali ini ia sangat serius memikirkan kondisi sepupu yang berubah drastis. Terus terang memang sangat tidak membuat dirinya nyaman dan tenang. Hal-hal kecil semacam inilah yang membuat Wangi terkadang berpikir untuk keluar dari rumah keluarganya tersebut. Bagaimana mungkin ia bisa bersinggungan dengan seseorang yang membuatnya kurang nyaman dalam serumah, 'kan?
Rumah mungil berkamar tiga itu dihuni oleh empat personal. Sebuah kamar ditinggali Wicaksono, sang sepupu sulung dengan kondisi sebagai wiraswasta membantu budenya berburu dagangan yang hendak dijual di salah sebuah pasar lumayan terkenal. Pasar Oro-oro Dowo yang berada di tengah kota. Letak strategis pasar itu sangat membawa berkah keuntungan bagi para pedagang. Tak terkecuali bagi budenya.
Sebuah kamar, bisa disebut sebagai bekas gudang tepatnya, yang ditempati oleh Wangi. Hanya muat sebuah single bed, meja gantung tempel yang bisa dibuka tutup, menempel pada sebelah dinding, dan sebuah lemari kayu. Praktis tidak ada ruang cukup untuk bergerak bebas. Sepertinya hanya berukuran dua setengah meter kali dua meter saja. Meskipun demikian, Wangi sangat bersyukur mengingat kondisi dirinya tanpa kedua orang tua sejak usia sekolah dasar.
Awalnya, Wangi tinggal di sebuah panti asuhan, tetapi pada tahun kedua budenya meminta untuk tinggal bersama mereka. Hitung-hitung sebagai teman bagi putri bungsunya yang relatif seumuran. Awalnya tidak pernah ada masalah. Kedua gadis itu berteman dengan baik-baik saja. Tidak ada kendala yang cukup berarti bagi keduanya sehingga aman-aman dan nyaman-nyaman saja. Namun, siapa tahu terjadi konflik yang rumit dan tak terselesaikan seperti kali ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun