Wangi berpikir keras. Apakah ada yang salah dengan diri Widuri, atau bahkan dirinya sendiri? Bisa-bisanya gadis yang terkenal berperangai halus itu membelalak dan berteriak keras seperti itu. Tumben! Tidak biasanya!
Wangi tak habis pikir, tetapi tidak berani menanyakannya secara langsung. Selain malu dilihat orang lain bila didengar teriak tantrumnya, Wangi juga tahu diri. Dibentak seperti itu sungguh sangat menampar nurani dan jantung hatinya. Ia  sangat tahu kondisi dirinya. Sekalipun kedua gadis itu sebaya, hanya terpaut setengah tahun lebih tua, Wangi harus tahu membawa diri. Harus disadari dengan baik-baik, siapakah dirinya di hadapan sang sepupu, khususnya!
Wangi tahu, ia hanyalah seorang penumpang di dalam keluarga sepupunya itu. Walaupun bukan penumpang gelap, tetap saja jika diperlakukan sedikit kasar terasa sangat menyakitkan. Tidak biasanya juga Widuri sekasar itu kepadanya. Padahal, jika dipikir-pikir hanya masalah sangat sepele. Hanya masalah meminjam sampur, selendang yang harus dikenakannya saat berlatih menari tarian tradisional Jawa. Hal yang sebenarnya tidak sangat urgent! Tanpa menggunakan pun, asal melapor kepada pelatih atau pemilik sanggar, tidak masalah. Namun, mengapa sedahsyat itu respons si sepupu?
Kalau memang tidak diizinkan meminjam, bukankah Widuri bisa berbisik perlahan dan lembut, misalnya, "Maaf ... sudah kedahuluan dipinjam yang lain!"
Akan tetapi, tidak demikian yang terjadi. Widuri yang biasa disapa Wik atau Wiwik itu tampak sangat berang ketika Wangi mengajukan permohonan untuk meminjam sampurnya. Karena putri budenya, Wangi pun harus memanggilnya dengan sebutan Mbak. Panggilan secara kekerabatan.
Wangi terpaksa berinisiatif meminjam barang penting dalam latihan menari yang terlupa dibawanya. Ya, padahal Wangi memang benar-benar sedang kelupaan membawa perlengkapan tari tersebut. Namun, yang diterimanya adalah kata-kata kasar. Apalagi disampaikan dengan membelalak di depan sekian orang, termasuk para yunior yang sedang ikut berlatih di sanggar. Â
"Apa salahku, ya ... Allah!" keluh Wangi dalam hati sambil mengembuskan napas perlahan.
"Tega benar dia membentakku di hadapan banyak orang." Wangi  menunduk merenungkan diri sambil menahan malu, tetapi tetap penasaran.
Seperti biasa, Wangi tahu diri. Sangat tahu diri. Sebagai seseorang yang numpang hidup, nebeng di keluarga almarhumah ibunya, ia selalu berhati-hati. Namanya saja ngenger. Tahu diri itu wajib!
Ada apa dengan Widuri? Tatapan tajam, sikap sinis, dan ulah cuek serta sewot ditunjukkannya dalam dua tiga hari belakangan. Mengapa sedemikian sensitif?
"Apakah karena sedang PSM, ehh ... PMS? Itu ... Premenstrual Syndrome maksudnya. Â Atau ada hal lain? Hmm, entahlah!" Wangi membatin, tetapi tentu saja tidak dengan sekilas senyum seperti yang biasa dilakukannya.