Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Belajar dari Sudut Pandang Sahabat

16 November 2024   14:11 Diperbarui: 16 November 2024   14:37 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari  Sudut Pandang Sahabat, si Calon Kritikus Sastra Indonesia 

 Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Memiliki komunitas menulis merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Sejak mengikuti grup Pulpen, Pecinta Cerpen Kompasiana, yang digawangi oleh Bang Horas, secara pribadi saya memperoleh tambahan wawasan tentang berbagai hal, khususnya tentang cerpen, tetek bengek dan cara penulisannya. Termasuk apresiasi dari sahabat sejawat, sahabat literasi hebat di dalamnya. 

Berikut adalah review salah seorang sahabat yang saya doakan ke depan menjadi kritikus sastra andal (amin), saya unggah seizin yang bersangkutan. Bukan untuk memegahkan diri, melainkan justru sebagai introspeksi diri.

"Oh, ke depan ... jika saya menulis lagi, setidaknya selevel dengan cerpen ini!" begitu senandika saya. 

Dua tanggapan Mas Dika tentang dua cerpen saya, saya satukan di sini. Semoga bermanfaat, khususnya bagi teman-teman penyuka cerpen. Amin. Tulisan asli Mas Dika ini sengaja tidak saya sunting, biarlah alami sebagaimana adanya. Dengan sangat berterima kasih tentunya, saya sampaikan dengan sepenuh hati teriring doa tulus kepada yang bersangkutan.    

1. Review Cerpen 

Judul Cerpen: "Setetes Embun di Pupus Daun"

Karya: Ninik Sirtufi Rahayu

Pereview Mas Dika

Jalan Memasuki Cerpen

Lagi, lagi dan lagi, Uti. Selalu mengawali kebermulaan dengan sesuatu yang "duarrrrrrr" merujuk pada calon pembaca sudah dibuat larut sejak paragraf pertama. Bagaimana tidak, dengan sangat pintar Uti, angkat ide pokok tentang kebebasan. Saya suka, saya beri .

Kebebasan adalah sesuatu yang diperjuangkan

Nugi, anak semata wayangnya yang ia nanti dengan penuh perjuangan dan derasnya air mata (huhuhu). Uti, mengurai sudut pandang umumnya orang tua, bahwa anak sekolah haruslah menyesuaikan perilaku layaknya usia sekolah. Tapi, saya pikir ini adalah relatif. Kepada perangai dan siapa orang tua atau keluarga melaksanakan parenting.  

Menariknya adalah sejak awal paragraf, Melaju ke paragraf lain, Cerpen Uti, kaya akan pelajaran hidup. "Sesuatu yang kita perjuangkan kadang bukan membawa bahagia, malah menyusahkan alih-alih petaka" hehehe. , saya jadi belajar juga, secukupnya. secukupnya. secukupnya. semua akan melukai kita pada waktunya. Jika dengan secukupnya saja, maka mungkin luka kan bisa ditakar dan diberi penawar. Syukur-syukur bukan ular berbisa.


Penyebab Anak Nakal

Cerpen ini mengurai bahwa salah satunya adalah broken home, ekonomi terbawah. Membuat lingkungan dalam hal ruang dan waktu menjadi keras dan tidak adil pada anak yang harusnya belumlah pantas memasuki, membuka gembok gerbang kehidupan sesungguhnya.

Teman sekelas dan guru pengampu a.k.a Wali Murid

Merekalah yang sebanyaknya berdampak terhadap pribadi anak orang tua. saat lingkungannya tidak mendukung, malah intimidasi maka hancurlah sudah, jika mendukung akan membawa pada semangat tinggi belajar siswa. Uti, secara tak kasat mata ingin bilang, pilih-pilih itu wajib, jangan ngasal!

Anak lebih mendengarkan orang lain ketimbang orang tua

Ini pelajaran yang utama, saya yakin di masa lalu anggota disini pun merasakannya. Kalau dibilangin sama babeh, enyak, dah lah, masuk tenggorokan keluar di betis (eh). Uti, disini ingin sampaikan, biarin amat anak bandel,  biar lingkungan luar yang beri dia paham.

Terakhir, kesimpulan

Saya suka cerpen ini. Butuh jam terbang, butuh pengalaman, butuh kekonsistenan, butuh, butuh, butuh yang lain.. sebagai apresiasi saya beri seratus sebanyak tiga emoticon

Satu lagi terlewat Uti, keunggulan cerpen Uti adalah skala jangkauannya. All Ages can read this short story, benar2 sudah diramu. Hehehe

***

2. Review Cerpen 

Judul Cerpen: "Gelegar Halilintar Menampar Rembulan"

Karya: Ninik Sirtufi Rahayu

Pereview Mas Dika

Selayang pandang memasuki lorong Cerpen

Sesuatu yang telah menjadi biasa. Biasanya akan terasa biasa, tak menimbulkan simpul-simpul getar, cukup 60-100 DPM kiranya jantung memompa darah. Lain terasa, dengan cerpen ini saat kumencernanya masuk telah mata, terbaca di hati. Sejak membaca cerpen Uti, Minggu lalu saya telah jatuh hati.

Dan khusus cerpen kali ini, Pertemuan/pembukaan suatu karya adalah cermin bagi calon pembaca apakah akan memutuskan untuk membaca dan jika sudah menjadi pembaca apakah ia akan bertahan lama sekali nongkrong di tepi dermaga suatu karya. Uti kali ini, melakukan perkembangan baru, dengan memberi kesan, pemantik, dan rasa penasaran.

Bolehlah lah saya katakan, teknik yang digunakan berupa "kejutan, rasa penasaran,  kemerindingan" saya tidak tahu apa istilah teknik itu dalam perwajahan dunia sastra Indonesia biarlah menjadi urusan Para Ahli. Saya menempati posisi sebagai pembaca, membuang jauh sebagai penulis dalam mengurai cerpen ini, bagi saya pembukaan adalah kunci. pertemuan mengundang selamanya  kejatuhan hati untuk berpusat, enggan keluar dari pekatnya kecintaan terhadap suatu karya.

Ide pokok yang saya ambil beberapa penggal Bunyi sirine//ambulans//peralatan medis//memaknai hadirnya ambuland Menimbulkan tands tanya, cerpen ini mengurai pengalaman nyata Cerpenis. Kita semua tahu, cerita yang berdasar kisah nyata akan lebih mudah masuk, terhayati, memikat. Selamat, Uti telah berhasil

Menikmati hidangan Air Mata

Keluarga pulpen, bila kita pelankan gegas membaca kita, pada paragraf 6 dan 7. Ada suatu kebaharuan bagi seseorang yang akan memasuki dunia cerpen atau tidak terbiasa saksikan paparan cerpen. Di paragraf 6, Uti memvariasikan sekaligus membantah bahwa apa yang selama ini tersajikan paragraf adalah susunan dari kalimat yang pada ragam jenis karya tulis haruslah memuat 'jumlah' kalimat secukupnya. Ini cuma satu baris, juga isinya pertanyaan.

Lalu, paragraf 7. Bagi saya, dulu yang awalnya mengenal Cerpen dengan alur yang sistematis tidak berloncatan atau tiba pada suatu waktu, peristiwa tanpa rangkaian suatu sebab-akibat adalah mengasyikkan!. Paragraf ini, menunjukkan peralihan paragraf adalah belum tentu sesuatu yang berkaitan erat atau penguraian lebih rinci dari sebelumnya. Di sini, Uti 'berusaha' mengatur pintu-pintu itu sedemikian rupa sehingga kita lupa bahwa kita telah dibawa kepada permasalahan berlapis, menyesakkan dada, kadang bikin mengerutkan dahi, duh.....

Multiarea, Multitafsir

Dari seluruh paragraf, banyak glosarium yang dipakai sengaja untuk menimbulkan pengartian sebebasnya. tentu ini adalah menyenangkan bagi membaca sekaligus strategi ulung. Masalah, gaya penceritaan cerpen ini secara denotatif ingin memilih kepada siapa pembacanya ingin terkhususkan, ingin membuat pembaca yang terpilih itu merasa ah ... akhirnya ada cerpen seperti ini.

Banyak terobosan yang dilakukan di sana sini, cerpen yang membidik sasarannya tapi masih bisa dikatakan multiarea, multitafsir. Good job , Uti.

Permasalahan sosial: remaja yang hamil di luar nikah, gampang punya anak ketimbang pasutri yang sah, mendambakan anak belasan tahun

Dua kata: Miris dan Menyebalkan. Eh ditambah karakter titik jadi dua kata, satu spesial karakter yes?. (Haha).

Di paragraf 22, saya kutip penggalannya "Apa perlu program bayi tabung, Mas"?

Lagi, lagi dan lagi Cerpenis lihai sekali membuat perasaan pembaca seperti naik rollercoaster, siklus perasaan terasa diobrak-abrik kadang tinggi, rendah, tengah-tengah, variasi dari itu semuanya adalah membaca cerpen itu sambil menitikkan air mata sendirian di dapur dulu tempat ibu senang sekali memasak Nasi Goreng rasa Istimewa pedasnya bukan kepalang. (Ini karangan saja ya! Hehe).

Solusi yang coba disampaikan tokoh, terasa seperti solusi terakhir? Di mana telah banyak solusi lain yang tak membuahkan hasil apa-apa. (Ibu, apa sudah coba Metode Sistem Kalender?, hahahhahah). Pusing baca cerpen ini, sudah belum punya anak, sakit pula, duh! Makin menjadi-jadi .

Mengakhiri cerita yang tak manis

Saya tidak tahu, apakah pembaca lain akan sama. Di akhir cerita, saya marah, muak, tak sampai hati ada suami tega seperti itu. Nikah siri! Tanpa izin, tanpa berterus-terang. Sudah jatuh dari pohon, ketiban tangga, terus digigit ular, eh mati

Yang sabar ya ibu, begitulah hidup. Cerpen ini terasa seperti mempertanyakan di manakah keadilan itu? Siapa yang punya timbangan keadilan selain Sang Pencipta Agung? Beritahu!

Saya suka. Penutup cerpen ini tak biasa. Lebih dari mengejutkan.

Memang tiap kalimat yang mengantar pada kenyataan pahit itu terasa seperti memberi daya bayang tapi tetap saja ada daya bayang lain yang tak kita tahu jika tak berani maju, untuk tahu apa akhir dari cerita ini.

Ibu, cerpen ini menunjukkan jam terbang, penguasaan Bahasa Indonesia yang telah mantap, pengalaman segudang, dan lain, lain, lainnya. Senangnya, bisa baca cerpen gratis rasa premium! Saya kasih emoticon seratus 4 buah , Uti.

*masih banyak yang perlu diulas, tapi karena si pengulas mau sarapan, jadilah segini dulu, perut sudah berdetak, lidah tak karuan hehe.

************End************

Semoga bermanfaat, khususnya bagi diri ini untuk lebih berbenah dalam penulisan cerpen selanjutnya. Amin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun