Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Menunggu di Ambang Batas Waktu

13 Oktober 2024   16:12 Diperbarui: 28 Oktober 2024   15:11 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bel tanda kegiatan pembelajaran berakhir sudah berbunyi. Seusai berdoa, memberi salam, Bu Yuliana meninggalkan kelas. Kuambil buku-buku yang menumpuk di depan meja lalu kubagikan pada teman-teman.

Bu Yuliana, guru Bahasa Indonesia, telah selesai memeriksa pekerjaan kami. Sebagai ketua kelas, tugasku membantu guru-guru dalam hal apa pun. Kulihat Cantika berlari menemui kekasihnya di dekat ruang OSIS. Ada rasa cemburu, tetapi kupupus semua rasa itu, mengingat Cantika sahabat karibku.

"Kau mau balik bareng aku gak?" ajakku pada Cantika.

Seperti biasa setiap hari aku mengantar dan menjemputnya. Kebetulan rumah kami satu arah dan pertemanan kami begitu dekat.

"Oke, tunggu ya ... aku pamit ke Dion dulu," sahutnya sambil berlari menuju XII MIPA 2, kelas Dion kekasih Cantika.

Aku dan Cantika bersahabat dengan empat orang lainnya, Widi, Yos, Kamil, dan Dion. Persahabatan kami berawal saat kami masuk di kelas X-5. Kami sangat solid satu sama lain dan berkomitmen, pertemanan pure persahabatan. Tidak boleh ada yang jatuh cinta. Karena kami menganggap cinta ada putusnya sementara persahabatan akan kekal selamanya. Akan tetapi, siapa yang mampu menahan rasa? Sejak pandangan pertama, aku sudah jatuh cinta pada Cantika.

Cantika sosok perempuan idaman. Cantik. Perawakannya tinggi semampai. Kulitnya putih bening. Rambutnya sebahu menambah kesempurnaan wajah tirus miliknya. Siapa pun yang melihat akan suka. Hal teristimewa dari Cantika adalah kepribadiannya. Dia sangat supel, ramah, ceria, tidak jaim, terkadang konyol dan senang mem-bully dalam artian positif. Artinya bully-an yang membuat kami semua terbahak karena memang benar adanya. Usil, tetapi hanya dilakukan di antara kami berenam. Semua aturan tidak berlaku dengan orang di luar kami. Tentu saja karena candaan kami takut melukai hati. Khusus bagi kami, hal itu biasa saja karena sudah saling memahami karakter masing-masing.

Tetiba, memoriku melambung jauh ke dua tahun silam. Saat itu kami baru selesai masa orientasi sekolah. Dengan supelnya Cantika mampu meraih hati banyak orang. Dia selalu dikerubungi teman. Kesukaannya bercanda membuat kami seperti sedang nonton live streaming stand-up comedy. Teman-teman tidak berhenti tertawa mendengar celotehnya.

Sementara di balik semua itu ... aku, ya aku ... sosok lelaki pemalu. Rasanya penampilanku standar saja. Meski banyak orang bilang wajahku manis, aku tetap tidak percaya diri. Melihat Cantika begitu disukai banyak orang, putus nyaliku untuk menambatkan hati kepadanya.

Seusai upacara, Cantika berlari menghampiri. Dia langsung memegang pergelangan tanganku, "Gandaru, aku mau bicara sesuatu ... tapi nanti, ya!"

Cantika meninggalkanku menuju kelas. Aku terdiam. Dadaku bergemuruh, rasaku berkecamuk. Ada apa dengan Cantika? Apa yang mau dibicarakan? Dan ... oh, dia ... memegang tanganku.

Waktu istirahat datang, semua sibuk berebut menuju kantin sekolah. Tetiba di depan banyak orang Cantika berteriak lantang, "Gandaruuuu ... aku mau menyatakan yaaaaaa ...!"

Seketika mukaku pucat. Bagaimana mungkin seorang Cantika akan menyatakan kepadaku. Langsung selera jajanku hilang. Aku memilih balik ke kursi dan menenangkan diri.

Bel masuk usai istirahat berbunyi, kami semua kembali belajar. Pak Wijanarko, guru matematika favoritku, tiba-tiba terasa membosankan. Tidak ada satu materi pun yang masuk ke dalam otak. Semua berfokus pada hati yang sulit terkendali antara rasa melayang, bahagia, cemas, ... entahlah begitu nano-nano rasanya. Lamunanku dibuyarkan oleh bel tanda pulang. Aku harus memimpin teman-teman berdoa dan memberi salam.

Sebelum bubar jalan, Cantika kembali berteriak lantang di antara riuh rendah teman-teman yang bahagia karena pembelajaran usai dan bisa segera pulang.

"Gandaruuu tungguuuuuu... aku mau menyatakan!"

Serempak kompak semua teman di kelas mendadak diam. Senyap. Hening. Hanya detak jantungku yang berbunyi terlampau keras. Semua mata seolah langsung tertuju padaku. Mukaku terasa panas menahan malu. Detak jantung terdengar begitu keras dan memompa darah begitu kencang. Riuh bergemuruh. Aku yakin semua mendengar detak itu. Kulangkahkan kaki keluar kelas perlahan menghindari tatapan teman-teman yang terus menghunjam kepadaku. Cantika mengejarku.

Kulihat teman-teman berjejer di balik kaca jendela kelas seolah-olah sedang menonton konser. Berebut posisi paling depan, bahkan bertumpuk saking tak mau ketinggalan tontonan. Belum sempat kutinggalkan mereka, Cantika sudah ada di hadapan menghalangi langkahku. Digenggamnya tanganku. Pandangannya tajam menembus jantung. Tetiba badanku terasa panas dingin. Dadaku terasa sesak. Bola mata jenaka itu ... ahh ....

Dengan wajah berharap Cantika ungkapkan, "Gandaru, aku mau menyatakan ... menyatakan bahwa ...," jedanya.

Kerja jantungku makin tak keruan. Seolah berlompatan tak beraturan. Wajah polos, kecantikan alami, kulit pipi glowing bening, dan bola mata jenaka itu ... bagian yang paling kusuka. Kutatap wajah Cantika, tetapi mata jenakanya seolah berubah seperti konyol.

Cantika melanjutkan ucapannya. "Aku mau menyatakan ... bahwa kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Bluuaaarrrr!

Aku tersentak dan tersadar! Ternyata, aku sedang dikerjai Cantika. Ingin rasanya marah, tetapi genggaman Cantika makin dipererat. Bola mata itu ... duuh ... tak kuasa aku menyakitinya.

Cantika kemudian menatapku sambil mengangguk-angguk, "Ya ... iya, kan Gandaru ...?" ucapnya dengan tatapan jenaka.

Entah apa yang ada di dalam otakku. Seperti magnet melihat Cantika mengangguk, aku pun turut mengangguk mengiyakan. Tiba-tiba seisi kelas bersorak-sorai sambil berlompat-lompat seolah turut bahagia untuk kami berdua. Padahal, mereka tidak tahu kalau 

Cantika bukan menyatakan cinta, melainkan menyatakan isi proklamasi, sebagai akal-akalan mengerjai mereka dan aku tentunya, hiks.... Cantika berbisik manja untuk langsung minta diantar pulang.

Sejak saat itulah Kamil, Yos, dan Dion mulai mendekatinya. Aku tidak tahu kalau sebenarnya mereka semua berkonspirasi dan berkolaborasi. Bertaruh di antara mereka kalau Cantika berani menyatakan padaku, Tobleron menjadi milik Cantika beserta upeti lain-lain.

Jahatnya mereka mempermainkan aku! Namun, justru kejadian itulah yang mengawali kedekatan kami. Mungkin sebagai penebus dari rasa bersalah mereka. Sejak itu pula Cantika selalu memintaku menjemput dan mengantarnya pulang. Bahkan, saat Cantika jadian dengan Dion, akulah yang mengantar dan juga menjemput seusai mereka nge-date di mana pun. Bayangkan saja, kacau bukan?

Entahlah, sulit bagiku meninggalkan Cantika. Makin hari kami makin dekat. Rasa cintaku makin sulit kuhapuskan. Manjanya Cantika padaku makin menambah rasa berharap bisa menjadi kekasihnya.

Meski cintaku kian menggunung, aku tak sanggup mengganggu hubungan Cantika dengan Dion. Aku hanya bisa berharap Cantika segera putus dan mengalihkan cintanya kepadaku. Aku akan setia menunggu Cantika putus. Bahkan aku berjanji akan melakukan apa pun agar Cantika mencintaiku.

Dua tahun berlalu, Cantika masih bersama Dion. Harapanku hampir sirna ditelan rasa lelah menunggu. Mungkin aku dan Cantika cukup menjadi sahabat saja.

Pelajaran Geografi tiba. Sesuai agenda, hari ini jadwal kunjungan ke Museum Geologi. Semua bersemangat mempersiapkan diri. Pak Dodi, guru Geografi kami, menyampaikan rencana keberangkatan hingga aturan selama di museum. Lalu kepada kami dibagikan kertas kerja yang harus kami isi selama di museum nanti.

Seperti biasa, aku dan teman-teman memisahkan diri dari gerombolan. Kubuka Honda Jazzku, Cantika dengan wajah lesu duduk di sampingku seperti biasa. Widi, Yos, Kamil, dan Dion duduk bertumpuk di belakang. Kulajukan mobil perlahan-lahan meninggalkan teman-teman sekelas yang masih meributkan pergi pakai apa atau dibonceng siapa.

Perjalanan menuju museum terasa berbeda. Cantika yang biasa ceria, sekarang lebih banyak diam. Di kursi belakang, Yos meluapkan sumpah serapah. Kamil yang bertubuh gembil tak tahu diri meminta dipangku di antara Yos dan Dion, terang saja keributan terjadi. Namun, Cantika bergeming. Ia tetap diam membisu. Tatapannya kosong ke luar jendela. Ada buliran berjatuhan dari pelupuk matanya.

Kunjungan ke museum yang biasanya menyenangkan karena pembelajaran terasa berbeda dan tidak membosankan, berubah menjadi tidak keruan. Cantika diam seribu bahasa, nyaris tanpa suara. Tidak ada canda atau celoteh yang membuat kami tertawa. Buku tugas selesai dikerjakan. Cantika langsung minta diantar pulang. Padahal, biasanya dia yang pertama berinisiatif menggelar acara bersama. Entah jalan-jalan bersama, nonton film, atau sekadar kulineran biasa. Acara refreshing bersama sepulang sekolah di akhir pekan.

Perjalanan pulang pun hampa. Anak-anak di kursi belakang terlelap. Padahal perjalanan singkat. Kuantar mereka ke sekolah karena semua motornya disimpan di sekolah. Terakhir kuantar Cantika pulang.

"Gandaru, mampir, yuk. Di rumah gak ada siapa-siapa. Aku mau curhat."

Kuparkir mobil ke dalam. Aku masuk, langsung duduk di sofa ruang tengah. Aku sudah dekat dengan keluarga Cantika. Jadi, terbiasa tidak duduk di ruang tamunya.

 Duduk di sampingku, tanpa ragu Cantika menyandarkan kepala di bahuku.

"Aku putus sama Dion ...," lirihnya lalu hanyut dalam tangis.

Mendengar pengakuan Cantika, tebersit rasa senang. Namun, masih bimbang benarkah mereka sudah putus. Aku tahu Cantika akan datang padaku saat Dion sudah tidak bersamanya. Dia akan sadar betapa aku mencintainya. Tetiba terlintas di kepala, haruskah kukatakan cinta sekarang? Namun, aku tak sanggup. Rasanya terburu-buru kalau kunyatakan sekarang.

Saat Cantika dalam duka, seolah aku mengambil kesempatan. Aku selalu cemburu. Aku juga selalu rindu dan kini mereka sudah putus. Cantika terlelap dalam pelukan. Biarlah aku menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan cintaku. Dalam keheningan kubisikkan bahwa aku akan tetap menunggu sampai akhir hayatku. Kunyalakan musik di handphone-ku, kupilih lagu Rossa untuk menemani Cantika dalam tidur. Berharap isi lirik lagu itu meresap dalam bawah sadarnya. Ya, aku menunggu seperti ungkap Rossa dalam lagunya!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun