Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Menunggu di Ambang Batas Waktu

13 Oktober 2024   16:12 Diperbarui: 28 Oktober 2024   15:11 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- waktu (Freepik/rawpixel.com)

Cantika meninggalkanku menuju kelas. Aku terdiam. Dadaku bergemuruh, rasaku berkecamuk. Ada apa dengan Cantika? Apa yang mau dibicarakan? Dan ... oh, dia ... memegang tanganku.

Waktu istirahat datang, semua sibuk berebut menuju kantin sekolah. Tetiba di depan banyak orang Cantika berteriak lantang, "Gandaruuuu ... aku mau menyatakan yaaaaaa ...!"

Seketika mukaku pucat. Bagaimana mungkin seorang Cantika akan menyatakan kepadaku. Langsung selera jajanku hilang. Aku memilih balik ke kursi dan menenangkan diri.

Bel masuk usai istirahat berbunyi, kami semua kembali belajar. Pak Wijanarko, guru matematika favoritku, tiba-tiba terasa membosankan. Tidak ada satu materi pun yang masuk ke dalam otak. Semua berfokus pada hati yang sulit terkendali antara rasa melayang, bahagia, cemas, ... entahlah begitu nano-nano rasanya. Lamunanku dibuyarkan oleh bel tanda pulang. Aku harus memimpin teman-teman berdoa dan memberi salam.

Sebelum bubar jalan, Cantika kembali berteriak lantang di antara riuh rendah teman-teman yang bahagia karena pembelajaran usai dan bisa segera pulang.

"Gandaruuu tungguuuuuu... aku mau menyatakan!"

Serempak kompak semua teman di kelas mendadak diam. Senyap. Hening. Hanya detak jantungku yang berbunyi terlampau keras. Semua mata seolah langsung tertuju padaku. Mukaku terasa panas menahan malu. Detak jantung terdengar begitu keras dan memompa darah begitu kencang. Riuh bergemuruh. Aku yakin semua mendengar detak itu. Kulangkahkan kaki keluar kelas perlahan menghindari tatapan teman-teman yang terus menghunjam kepadaku. Cantika mengejarku.

Kulihat teman-teman berjejer di balik kaca jendela kelas seolah-olah sedang menonton konser. Berebut posisi paling depan, bahkan bertumpuk saking tak mau ketinggalan tontonan. Belum sempat kutinggalkan mereka, Cantika sudah ada di hadapan menghalangi langkahku. Digenggamnya tanganku. Pandangannya tajam menembus jantung. Tetiba badanku terasa panas dingin. Dadaku terasa sesak. Bola mata jenaka itu ... ahh ....

Dengan wajah berharap Cantika ungkapkan, "Gandaru, aku mau menyatakan ... menyatakan bahwa ...," jedanya.

Kerja jantungku makin tak keruan. Seolah berlompatan tak beraturan. Wajah polos, kecantikan alami, kulit pipi glowing bening, dan bola mata jenaka itu ... bagian yang paling kusuka. Kutatap wajah Cantika, tetapi mata jenakanya seolah berubah seperti konyol.

Cantika melanjutkan ucapannya. "Aku mau menyatakan ... bahwa kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun