Jangan Biarkan Tak Berpenghuni
Ninik Sirtufi Rahayu
Ia tinggal di Kota Bunde di Landkreis Leer, Niedersachen, Jerman. Kota ini terletak di perbatasan Jerman-Belanda. Ada sekitar tujuh ribu lima ratusan jiwa yang tinggal di kota tersebut.
Rumah-rumah yang berada di sekitar tempat tinggalnya pada umumnya tanpa pagar. Kalaupun ada pagar, berupa pagar tanaman hidup. Â Selain itu, jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain cukup jauh. Tidak berimpit-impitan, tetapi tertata sedemikian rupa. Benar-benar tata kota yang direncanakan luar biasa. Tentu saja tidak seperti di negara kita.
Bangunan rumah pun besar-besar dan artistik. Dinding dengan menggunakan bata merah tanpa dilapisi tembok. Sebagaimana rumah di Bali. Â Di mana-mana tampak hijau semata. Ada tanaman rambat yang menghias dinding rumah sedemikian terpelihara. Pagar hijau atau kalau di Jawa disebut pager alas yang dipangkas secara berkala. Area ruang terbuka hijau pun ada terhampar di mana-mana.
Masing-masing rumah memiliki pohon buah-buahan seperti apel, plum, pir, dan anggur. Bahkan, pohon tanaman buah itu berserak di tepian jalan umum. Jika berbuah, siapa pun bisa memetik, memanen dengan bebas dan leluasa.
Sementara tanah begitu lapang sehingga bernapas rasanya sangat leluasa. Beda banget dengan di Indonesia. Rumah di kampung tengah kota begitu padat hingga terasa sulit untuk bernapas  mencari asupan oksigen.
Memang kendala utama yang Dinda alami pertama-tama adalah bahasa. Tiga bulan, bahkan tahun pertama ia masih tergagap-gagap. Apalagi ketika duduk di bangku SMA Dinda mengambil jurusan IPA sehingga tidak pernah mempelajari bahasa Jerman sama sekali.
Beruntung si suami sudah hampir sepuluh tahun tinggal dan bekerja di sana. Dengan demikian, Dinda tinggal mengikuti suami saja. Untuk sementara, Dinda belum bekerja. Rencananya nanti, ia pun akan bekerja.
Rumah yang mereka tinggali, dulu adalah rumah orang tua angkat Hertadi, suaminya. Akan tetapi, keluarga tersebut pindah ke kota lain dengan alasan mendekati tempat kerja. Sementara, Hertadi menjadi karyawan kantor bank yang berada di kota kecil tersebut. Dengan demikian, untuk urusan tempat tinggal, sementara aman. Tidak perlu mengontrak, apalagi membeli. Jadi, cukup menempati saja.
Suami Dinda ini adalah suami kedua. Suami pertama wafat belum genap setahun setelah menikah. Ternyata, Winardi, suami pertama Dinda menderita gagal ginjal akut. Setelah menjanda beberapa saat, Dinda dinikahi kerabat dekat mantan suaminya.
Ya, Hertadi adalah sepupu Winardi. Uniknya, Dinda justru bertemu Hertadi setelah suaminya itu meninggal dunia. Demikianlah takdir. Lahir, jodoh, dan kematian tidak seorang pun tahu.
Hertadi yang bekerja di Jerman pulang ke Indonesia justru saat mendengar sepupunya meninggal. Melihat Dinda, ia langsung jatuh hati dan mengemukakan kepada keluarga besar keinginannya hendak menikahi Dinda. Tentu saja ia harus sabar menunggu sampai masa menjanda cukup juga. Ya, tetapi karena sesuatu yang mendesak, keluarga besar menyerahkan kepada keduanya.
Gayung bersambut. Dinda pun siap meninggalkan masa janda dan tanah air. Justru dengan pergi jauh, ia percaya bisa segera melupakan kesedihan dan dukacita. Jadilah, kepulangan Hartadi dalam rangka cuti dan pulang ke tanah air, membawa berkah. Sekaligus ia memperoleh jodoh. Seolah-olah pulang untuk menjemput Dinda!
Tahun kedua pernikahan mereka, Tuhan memberikan anugerah berupa hadirnya momongan. Seorang bayi perempuan yang sangat manis lahir dari rahim Dinda. Sungguh sangat manis. Dengan kulit gelap agak kecokelatan, mirip sang ayah. Kartika Permata Sari, dipanggil Tata.