Lika Liku Luka
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Lidah memang tidak bertulang, tetapi ia bisa menjadi senjata ampuh paling memalukan, memilukan, dan mematikan. Karena itu, harus kita kekang dan kendalikan sedemikian rupa agar tidak menjadi binal, nakal, dan liar hingga bisanya bisa menyakiti dan sangat menyakitkan."
 -- Ninik Sirtufi Rahayu
"Pokoknya hari ini juga harus ditemukan! Silakan semua mencari, entah di mana! Rapat dibubarkan!" sanggah Kepala Sekolah itu dengan sewot dan ketus.
Tentu saja sambil menggebrak meja sehingga membuat peserta rapat bergeming. Kecuali salah seorang guru yang sedang hamil. Guru ini langsung angkat kaki meninggalkan ruang rapat tanpa pamit.
Aku sedang berada di ruang rapat sebuah SMA swasta. Sekolah yang bersedia menampungku setelah sekolah lama tidak beroperasi lagi karena ditutup.Â
Sebagai guru baru, yang kebetulan baru saja masuk dan langsung rapat mendadak, aku ikut syok. Ibu kepala sekolah begitu meledak-ledak. Aku yang tidak tahu apa-apa, nyaliku menjadi ciut.
"Kuatkah aku mengabdi di tempat ini? Dengan sosok kepala sekolah yang aduhai ini?" batinku meronta.
Aku salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sejenak kemudian, semua beranjak dan sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal, belum satu pun kukenal.
Ternyata, pelan-pelan kuketahui bahwa yang hilang adalah ijazah siswa.
"Waduh, ini sistem administrasinya bagaimana? Kok bisa barang berharga dan penting begitu hilang?" pikirku berkelana. Â
"Emergensi!" lirih Wakasek sambil menutup mulut dengan telunjuk sesaat setelah kepala sekolah beranjak pergi.
"Hari ini semua diminta pulang dengan catatan (1) mencari barang yang hilang, (2) menyebar brosur mencari siswa, dan (3) mengurus kepindahan!" lanjutnya. Â
Tentu saja aku pun merasa sangat lega ikut dipulangkan walau tidak memiliki tugas apa pun karena sama sekali tidak terlibat dalam ketiga hal urgen di atas.
Alasan berikutnya adalah persiapan boyongan karena minggu depan sekolah pindah ke gedung baru, jauh dari tempat tersebut. Oleh karena itulah, pihak sekolah mengalami kendala dalam rangka menjaring murid baru. Sementara, murid kelas dua dan tiga pun beberapa mengundurkan diri untuk pindah ke sekolah  lebih dekat .
Kondisi rumit tersebut menyebabkan semua personal sekolah  mengalami tekanan, baik dari pihak yayasan maupun  orang tua siswa. Situasi psikis  menjadi kurang kondusif.
Suatu hari, karena siswaku hanya seorang,  kuajak masuk  perpustakaan. Maksudnya agar lebih mudah mencarikan contoh-contoh bahan pustaka. Tetiba, Ibu Kepala Sekolah mendatangi kami berdua.
"Ini perpustakaan, bukan ruang belajar! Ayo! Silakan kembali ke kelas!" hardiknya melotot.
Aku  sangat malu dihardik begitu rupa di depan siswa. Kami berdua merasa dihalau secara semena-mena, kembali menuju  kelas sambil terisak. Kami tidak bisa melanjutkan pelajaran karena hati kami begitu terkoyak. Kami bagai burung kecil patah sayap!
"Bu, saya akan pindah! Jangan tahan saya, Bu! Apalagi rumah saya jauh dari sini!"
Aku  mengangguk, tanpa bisa berbicara apa pun. Dalam hati aku juga ingin segera pergi dari sekolah tersebut.
Ketika bel pergantian jam pelajaran, murid tersebut langsung pamit pulang  tanpa meminta izin pihak sekolah. Sejak saat itu tidak pernah datang kembali ke sekolah. Dengan demikian, kelas satu benar-benar kosong, tanpa siswa.
Pada saat itu, aku kosong kelas karena baru nanti menjelang jam terakhir mengajar di kelas tiga. Tetiba, Ibu Kepala Sekolah kembali memarahiku di depan dewan guru yang sedang berada di ruang guru.
"Apa Ibu tidak tahu bahwa perpustakaan itu bukan ruang belajar? Ke mana saja selama ini hingga sekian lama tidak paham beda antara ruang kelas dengan perpustakaan?" sembur beliau  lantang  berapi-api.
Para guru yang sedang berada di tempat itu satu demi satu meninggalkan ruangan hingga tersisa kami berdua. Aku dan si ibu kepala sekolah. Aku hanya diam.
Dalam hati aku hanya berdoa, "Tuhan, ajarkanlah agar aku lebih tenang dan sabar. Jangan jadikan aku sebagai bensin sehingga kemarahan beliau makin berkobar!"
Diam dan menunduk adalah senjataku  paling ampuh. Percuma juga kalau melawan, bukan? Padahal, menurutku, di mana pun kita bisa belajar asal kondusif. Sebagai bawahan dengan atasan kasar, tidak manusiawi, dan temperamental seperti itu, mengalah adalah hal yang lebih baik.
Sungguh, aku tidak mau mengingat-ingat lagi kosakata kasar yang beliau lontarkan. Biarlah kumaafkan saja. Kubuang jauh-jauh agar tidak mengotori otak, pikiran, dan perasaan. Kupikir, beliau  mengalami stres tingkat tinggi karena tidak memperoleh murid baru.
"Sing waras ngalah," bisik  teman guru senior.
Aku  mengangguk lemah tanpa menjawab. Wali kelas yang merasa dituduh dan difitnah karena lembaran ijazah anak buahnya terselip entah di mana, langsung angkat kaki meminta mutasi paksa lewat yayasan tanpa minta persetujuan kepala sekolah.Â
Sementara, kuingin menjadi wanita hebat. Salah satunya ikut perkuliahan pascasarjana. Bersyukur, aku diterima hingga bisa meninggalkan sekolah. Â
Wanita hebat bukan karena kecantikan, Â kekayaan, Â kepintaran, atau ada pria kaya di sampingnya. Namun, wanita hebat mampu terus berdiri menyelesaikan masalah, Â berdoa, dan percaya kepada Tuhan sebagai sumber kekuatan.Â
Wanita hebat melukis kekuatan melalui proses kehidupan, bersabar saat tertekan, berusaha tetap tersenyum saat menangis, dan memesona karena memaafkan.
Ya, poin terakhir adalah memaafkan. Sebab, jika  tidak memaafkan, Tuhan pun tidak akan mengampuni. Seperti penggal doa yang diajarkan Tuhan berikut, "Ampunilah kesalahan kami seperti kami telah mengampuni orang yang bersalah kepada kami." Jadi, aku memilih memaafkan dan melupakan karena seseorang yang menyakiti tersebut pasti tidak mengetahui atau tepatnya tidak menyadari apa yang sedang dan telah diperbuatnya.
Beberapa tahun berikutnya. Saat sedang berlangsung suatu acara yang melibatkan beberapa sekolah tingkat SMP di sekitar, serayon. Sebagai  tuan rumah, aku bertemu dengan teman-teman pengajar SMP swasta yang dulu pernah seyayasan dengan tempat kerja lamaku.
"Bu, penjenengan ora nyambangi Bu As?" Â tanya Bu Lastri.
Bu Lastri sebagai kepala sekolah dan pengajar SMP swasta seyayasan dengan ibu kepala sekolahku saat itu.
 "Parah, loh gerahe!" lanjut beliau mengabarkan bahwa penyakit mantan kepsekku sudah parah.
Aku sangat kaget. Tidak menyangka. Ternyata, sepeninggalku mengikuti perkuliahan pascasarjana, beliau menjalani mastektomi dan kemoterapi. Kini sedang dalam kondisi stadium akhir.
"Ya, Tuhan. Ternyata luka hatiku tidak separah luka beliau menjalani operasi pengangkatan kanker. Ampunilah segala dosa kesalahan beliau yang saat itu tidak menyadari telah menggores hati beberapa saudara hingga terluka secara psikis," doa tulus kupanjatkan saat berkesempatan membezuk.
Namun, Allah lebih menyayangi ibu pejabat terhormat tersebut. Beliau tidak sempat mengalami kehadiran kurikulum merdeka seperti sekarang. Kurikulum yang memerdekakan para guru dan siswa untuk menggali potensi dengan kebebasan belajar, tidak harus terkungkung di ruang belajar yang bernama 'kelas'!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H