Tentu saja aku pun merasa sangat lega ikut dipulangkan walau tidak memiliki tugas apa pun karena sama sekali tidak terlibat dalam ketiga hal urgen di atas.
Alasan berikutnya adalah persiapan boyongan karena minggu depan sekolah pindah ke gedung baru, jauh dari tempat tersebut. Oleh karena itulah, pihak sekolah mengalami kendala dalam rangka menjaring murid baru. Sementara, murid kelas dua dan tiga pun beberapa mengundurkan diri untuk pindah ke sekolah  lebih dekat .
Kondisi rumit tersebut menyebabkan semua personal sekolah  mengalami tekanan, baik dari pihak yayasan maupun  orang tua siswa. Situasi psikis  menjadi kurang kondusif.
Suatu hari, karena siswaku hanya seorang,  kuajak masuk  perpustakaan. Maksudnya agar lebih mudah mencarikan contoh-contoh bahan pustaka. Tetiba, Ibu Kepala Sekolah mendatangi kami berdua.
"Ini perpustakaan, bukan ruang belajar! Ayo! Silakan kembali ke kelas!" hardiknya melotot.
Aku  sangat malu dihardik begitu rupa di depan siswa. Kami berdua merasa dihalau secara semena-mena, kembali menuju  kelas sambil terisak. Kami tidak bisa melanjutkan pelajaran karena hati kami begitu terkoyak. Kami bagai burung kecil patah sayap!
"Bu, saya akan pindah! Jangan tahan saya, Bu! Apalagi rumah saya jauh dari sini!"
Aku  mengangguk, tanpa bisa berbicara apa pun. Dalam hati aku juga ingin segera pergi dari sekolah tersebut.
Ketika bel pergantian jam pelajaran, murid tersebut langsung pamit pulang  tanpa meminta izin pihak sekolah. Sejak saat itu tidak pernah datang kembali ke sekolah. Dengan demikian, kelas satu benar-benar kosong, tanpa siswa.
Pada saat itu, aku kosong kelas karena baru nanti menjelang jam terakhir mengajar di kelas tiga. Tetiba, Ibu Kepala Sekolah kembali memarahiku di depan dewan guru yang sedang berada di ruang guru.
"Apa Ibu tidak tahu bahwa perpustakaan itu bukan ruang belajar? Ke mana saja selama ini hingga sekian lama tidak paham beda antara ruang kelas dengan perpustakaan?" sembur beliau  lantang  berapi-api.