Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tak Semudah Mengatakan Cinta

12 September 2024   01:37 Diperbarui: 12 September 2024   01:47 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Salah satu contoh faktor internal yang cukup berpengaruh dan dapat memicu terjadinya problem pembelajaran adalah latar belakang pendidikan guru yang bersangkutan. Apabila guru yang bersangkutan berasal dari LPTK yang sesuai misalnya IKIP, PGSLP/PGSLA, atau FKIP dengan jurusan program studi yang sama, faktor pendukung menjadi dominan. Sebaliknya, bila guru tersebut tidak berasal dari program studi atau jurusan bahasa Indonesia dari LPTK yang berwenang, sementara di sekolah harus mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia, problem pun muncul tanpa diundang.

Sebagai contoh sederhana, bagaimana guru mampu menyajikan materi 'puisi' di kelas bila guru tersebut tidak mampu membuat atau menulis puisi secara mandiri? Demikian halnya dengan masalah bakat dan minat. Bakat dan minat guru bahasa Indonesia terhadap permasalahan bahasa dan sastra Indonesia juga sangat memengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Berapa banyak guru bahasa Indonesia yang sudah menghasilkan karya sastra? Jangankan menulis kreatif karya sastra, membaca novel terkenal seperti Laskar Pelangi, Burung-burung Manyar, Saman, atau bahkan Harry Potter yang disukai dan sudah dibaca para siswa pun tidak sempat dilakukan oleh guru (baca: guru bahasa Indonesia).

Adapun faktor eksternal dapat dipaparkan sebagai berikut. Di sekolah, bahasa Indonesia memiliki fungsi ganda yakni sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar. Dalam hal ini tugas guru bahasa Indonesia tidaklah ringan. Situasi kebahasaan di sekolah dengan mayoritas personalia berbahasa ibu bahasa daerah, bukanlah hal mudah untuk mengatasinya.

Situasi diglosik ini tidak mendukung pembelajaran bahasa Indonesia. Betapa  banyak siswa yang mengemukakan, "Bu, anak-anak sudah pada ngumpul", "Maaf Bu, bukunya Ibu belum dikembalikan sama kelompok saya," dan sebagainya. Betapa banyak terjadi interferensi bahasa ibu ke dalam penggunaan bahasa Indonesia baik di kelas maupun di luar kelas.

Problem berikutnya adalah perbandingan jumlah antara guru bahasa Indonesia dan non bahasa Indonesia. Jumlah guru bahasa Indonesia maksimal di sekolah empat orang, sementara 90% yang lain beraneka latar belakang. Hal ini juga sangat berpengaruh.

Sebagai contoh konkret, ketika di kelas kepada siswa disajikan kata-kata baku seperti menaati, menyukseskan, mengubah, memedulikan, dan sebagainya; di luar kelas, dalam situasi pembicaraan, siswa membaca atau mendengar guru bidang studi lain menuliskan di papan tulis atau mengatakan secara lisan mentaati, mensukseskan, merubah, mempedulikan. Hal-hal semacam ini akan sangat membingungkan siswa. Sementara, karena sesuatu hal guru bahasa Indonesia (segan atau enggan) tidak dapat memberitahukan kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh guru mata pelajaran lain maupun staf administratif yang sudah terlanjur dibaca ataupun didengar siswa. Apalagi, tentu saja guru bahasa Indonesia sendiri tidak dapat begitu saja meralat penggunaan bahasa yang salah tersebut.

Jika dianalisis secara teliti, kesalahan berbahasa yang sering terjadi meliputi kesalahan dalam bidang fonologis, morfologis, dan sintaksis. Secara fonologis, pelafalan kata 'ide', 'puskesmas', 'novel' sangat membingungkan siswa. Secara morfologis beberapa kesalahan afiksasi seperti 'menaati', 'menerjemahkan', 'memedulikan' sangat mengganggu. Belum lagi pemakaian dan penulisan kalimat yang tidak efektif. Sebagai contoh, kalimat "Para siswa-siswa kelas tujuh diminta segera berkumpul di lapangan basket" dan "Banyak hal-hal yang dapat dikemukakan" yang diungkapkan oleh salah seorang personalia di sekolah sangat berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa Indonesia.

Penulisan pengumuman yang berbunyi, "Bagi para siswa yang belum mengumpulkan photo diharap segera mengumpulkannya", "Kepada siswa yang mengikuti ekstra tari nanti sore harap kumpul" juga bukan merupakan bahasa baku. Kedua contoh kalimat di atas diperbaiki menjadi "Siswa diharap segera mengumpulkan foto...", "Siswa peserta ekstrakurikuler menari nanti sore diharap berkumpul. Namun, di sisi lain guru bahasa Indonesia yang peduli sekalipun tidak mudah memberitahukan hal-hal salah tersebut. Situasi dilematis ini terus berlanjut sehingga hasil pembelajaran siswa tidak maksimal. Guru dan staf TU seharusnya menjadi contoh konkret pajanan yang dapat diteladani dalam berbahasa Indonesia.

Sebagai solusi cerdas menanggapi hal tersebut sebenarnya cukup mudah. Yang pertama, setiap personalia warga sekolah harus menyadari fungsi, kedudukan, dan peran bahasa Indonesia. Dengan kesadaran tersebut seharusnya setiap personalia bersedia mengubah sikap mental berbahasa Indonesia, bersedia menerima kritik konstruktif, dan berkenan maju selangkah untuk menerapkan EYD baik dalam berbahasa lisan maupun dalam berbahasa tulis.

Guru bahasa Indonesia dapat didayagunakan sebagai narasumber dan tenaga penyelia yang dapat membantu meminimalisasi kesalahan penulisan yang terdapat pada  surat-menyurat, pengumuman, atau apa pun yang dibuat oleh staf administratif. Selanjutnya, dalam rangka memperingati bulan bahasa, sekolah mendatangkan pakar bahasa Indonesia untuk memberikan penataran dan pengarahan, mengadakan lomba kebahasaan seperti berpidato, berceritera, berpuisi, dan sebagainya baik untuk guru maupun siswa.

Jika hal ini sudah berjalan dengan baik, sekolah bahkan dapat memberikan penataran dan pembinaan penulisan karya ilmiah baik untuk guru maupun untuk siswa. Untuk guru, sikap mental menulis yang mentradisi akan mengantarkan prestasi akademik dalam rangka berburu angka kredit dan menambah koleksi bahan portofolio sertifikasi. Sementara untuk siswa, akan mengantarkan mereka ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Bila hal di atas dilaksanakan pihak sekolah, guru bahasa Indonesia tidak akan segan memberikan koreksi terhadap pemakaian bahasa Indonesia baik secara tertulis maupun secara lisan. Di sisi lain pajanan bahasa Indonesia yang disajikan oleh setiap personalia warga sekolah dapat menjadi contoh konkret pemanfaatan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun