Kalau tidak melakukan secara mandiri, biasanya saya ikut tantangan menulis selama sebulan. Setelah naskah jadi, dikumpulkan jadi satu, barulah tambahkan Kata Pengantar, Daftar Isi, Blurb, dan Bionarasi.
Dalam hal ini, saya menarget diri sendiri, kapan naskah harus jadi. Biasanya dalam seminggu sudah harus jadi! Itu jika tidak ada kesibukan penyuntingan.
Begitulah cara saya membuat buku solo. Sedikit demi sedikit, akhirnya dalam waktu 4 tahun (sejak Oktober 2020) kini saya memiliki 27 buku solo ber- ISBN dan 165 antologi nubar (nulis bareng) berbagai genre dari beberapa penerbit.Â
Mohon maaf, ini sekadar share pengalaman saja. Bukan untuk pamer, melainkan ingin memotivasi sekaligus mengajak khususnya khususnya para guru yang masih aktif untuk bisa memiliki buku solo. Hal ini karena berdasarkan pengalaman dari golongan IV/a ke jenjang berikutnya lumayan sulit. Sementara kepemilikan karya tulis sangat minim. Padahal, karya tulis merupakan sarana pemerolehan dan penambah kredit point dalam rangka kenaikan pangkat. Selain itu, untuk bisa mengikuti aktivitas guru atau kepala berprestasi pun, dipersyaratkan memiliki karya tulis, misalnya karya inovasi dalam pembuatan alat peraga pembelajaran. Termasuk di dalamnya kliping karya tulis yang pernah dibuatnya. Di sinilah guru dituntut bisa menghasilkan karya tulis.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H