Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Retak Tak Terpaut

9 September 2024   09:38 Diperbarui: 9 September 2024   10:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Retak Tak Terpaut
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Wah, sebentar lagi aku akan menjadi siswa SMA," bisik gadis itu mematut diri di depan cermin dengan mengenakan kebaya hasil design sang ayah. Kebaya brukat merah darah itu sangat cocok dengan kulit putih mulusnya apalagi dipadu dengan kain panjang motif parang bernuansa merah juga.

Sulistyawati yang disapa Tia merasa sangat senang ketika namanya dipanggil sebagai juara kedua saat pengumuman kelulusan pada upacara hari itu. Dengan prestasi melejit itu, Tia yakin akan mampu menerobos sekolah favorit yang diidamkannya. Salah satu sekolah di kompleks SMA Tugu. Di sana terdapat tiga sekolah, dua di antaranya sekolah favorit yang diincar banyak siswa SMP dan para orang tua. Akan tetapi, Tia justru tidak memilih yang paling favorit di lingkungan tersebut. Cukup yang sedang-sedang saja.

Kehidupan keluarganya semula baik-baik saja. Ayah yang berprofesi sebagai penjahit dan designer berbakat dan belajar secara otodidak itu memiliki banyak pelanggan. Ibu yang membantu sebagai penjahit sekaligus perias bersinergi dengan ayah, hasilnya lumayan juga. Banyak acara pengantin yang meminta jasa keduanya. Namun, entah mengapa pelanggannya mretheli satu demi satu. Jika dahulu bank swasta terbesar pernah menjadi langganan seragam pegawai, kini tidak pernah lagi. Hari demi hari jahitan pun kian sepi.

Ayah yang temperamental dan kurang rajin bekerja menjadi makin malas. Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan, baik sebagai penjahit maupun perias, ibunya ikut pusing. Entah karena ayah tidak mampu menguasai diri atau bagaimana hingga ibu sering tidak berada di rumah. Saat  kelas satu SMA itu, Tia merasakan kehidupan keluarganya ada yang tidak beres. Mulai diterpa badai entah apa namanya.

Ibu semakin sering pulang ke rumah orang tuanya yang berjarak sekitar enam kilometer dari rumah. Ayah semakin sering uring-uringan. Tia pun merasa tidak nyaman di rumah. Namun, dia tidak bisa mengatasi keadaan karena antara ayah dan ibu rupanya sudah tidak ada kecocokan lagi.

Kondisi ekonomi keluarga pun berantakan. Sering tidak ada uang untuk membeli beras sehingga mau tidak mau kondisi fisik dan psikologis Tia terganggu. Ayah tidak mau bekerja. Ia hanya duduk termenung atau luntang-lantung entah ke mana, sementara ibu berada di tempat lain. Tidak ada makanan apa pun yang bisa Tia santap. Tidak ada uang sepeser pun yang Tia miliki. Ayah seolah lupa kalau masih ada Tia yang menjadi tanggung jawabnya. Tia yang harus dihidupi dengan cara bekerja keras. Tia bukan boneka yang dibiarkan tergeletak tanpa makan!

Satu-satunya jalan yang bisa Tia lakukan adalah pergi ke rumah bibi yang berjarak dua kilometer dari rumah. Tia yang terbiasa berjalan kaki itu mengarahkan kaki menuju rumah bibi. Di tempat nyaman itu, Tia bisa belajar dengan tenang. Makanan pun tersedia. Memang ia harus tahu diri dengan membantu beberapa pekerjaan ringan yang bisa dikerjakannya.

Siang itu Tia pulang ke rumah bibi. Bibi hanya memiliki seorang putra beberapa tahun di atas Tia. Tubuh Tia lunglai, kepala pusing, perut pun sakit luar biasa. Pulang dari sekolah Tia ambruk tepat di depan pntu gerbang. Tak sadarkan diri. Untunglah asisten rumah tangga bibi mengetahui sehingga segera tertolong. Oleh bibi, Tia dibawa ke rumah sakit. Diagnosis: maag akut dan asam lambung sangat tinggi. Atas biaya perawatan dari keluarga bibi, Tia harus menjalani opname beberapa hari hingga kesehatannya pulih kembali.
Bibi paham. Hal itu pasti akibat kondisi ekonomi orang tua ditambah faktor psikologis yang mendera. Untuk sementara, Tia diminta tinggal di rumah bibi dan tidak diizinkan memikirkan keadaan orang tua. Tia menurut apa kata bibi, tetapi untuk tidak memikirkan orang tua rasanya mustahil.

Dulu  Tia dibanggakan sebagai anak tunggal yang cantik, pintar, dan tidak manja. Kini ia  harus kehilangan kasih sayang kedua orang tua dalam waktu sangat singkat. Apalagi sedang tumbuh sebagai remaja yang masih duduk di SMA. Remaja yang masih sangat membutuhkan kehadiran, kasih sayang, perhatian, dan support orang tua.

Fisik Tia ambruk. Psikis pun boleh dikatakan mengalami depresi. Tia sering menyendiri dan melamun. Kadang duduk diam di bawah pohon beringin besar yang berada di halaman sekolah. Hal ini tak luput dari pengamatan guru BK dan  menimbulkan tanda tanya bagi kepala sekolah. Karena itu, kasus Tia pun ditangani oleh dua guru BK senior.

Siswa dengan prestasi bagus itu tiba-tiba berperilaku tidak seperti biasa. Wajah cerianya lenyap, senyumnya musnah, sinar netranya kosong. Duduk diam-diam dalam waktu lama sepulang sekolah ketika semua teman sudah meninggalkan gedung sekolah.
Sejak mendengar pertengkaran demi pertengkaran hingga berakhir perceraian kedua orang tuanya hanya dalam waktu beberapa bulan terakhir membuat prestasi Tia anjlok drastis. Sejak ibu melarikan diri dan kemudian terdengar selentingan berita bahwa si ibu hendak menikah lagi, Tia harus menghadapi sifat dan sikap ayah yang keras kepala, temperamental, malas, dan egois tanpa memikirkan dirinya.

"Layak ibu tidak tahan menghadapinya," pikirnya.

Tia tak lagi mampu menangis, tidak mampu berkata-kata. Air mata dan sedu sedan yang  mewakili sejuta rasa di dada itu lenyap. Kini hobi barunya diam dan diam tak bergeming. Itu yang sering dilakukannya. Bibi dan paman maklum. Maka dimintanya Tia bersabar.
Karena tidak tega melihat penderitaan lahir batin Tia akibat  kondisi orang tua ini, bibi dan paman mengunjungi ayahnya. Mereka merasa hubungan suami istri itu sudah tidak bisa dipulihkan, sebagai kakak kandung, bibi meminta ayah Tia untuk segera mencari pekerjaan sebagai pertanggungjawaban atas hidupnya juga kelanjutan pendidikan Tia.

Tia terselamatkan oleh keluarga bibi dan paman karena kebetulan ekonomi mereka tergolong cukup berada. Karena terdesak, akhirnya ayah Tia memperoleh pekerjaan di luar Jawa. Bahtera mereka bukan hanya retak, melainkan karam tenggelam ke dalam dasar samudra. Hancur berkeping-keping.

Belum  lulus dari SMA, Tia mendengar kabar bahwa ibunya menikah siri dengan seseorang karena telah berbadan dua. Makin sedih hati Tia. Bagaimana bisa ibunya berlaku seperti itu. Bukankah  seharusnya memberi contoh kepada anak gadisnya untuk tetap setia sebagaimana ikrar pernikahan mereka?

Tia tumbuh di dalam kondisi prihatin. Tubuh kurusnya tak kuat menahan beban sendirian. Asam lambung dan maag menjadi langganan yang selalu mengganggunya. Padahal, ujian sudah mengintai di depan pintu.

Tia ingin menunjukkan bahwa Tuhan selalu mengabulkan doanya. Ingin sekali Tia memperoleh kesempatan berkuliah berbeasiswa agar bisa mengabdikan diri sebagai guru matematika. Ini karena saat masih kecil, tepatnya ketika duduk di kelas awal SD, dia pernah tidak naik kelas gegara tidak menguasai hitung-hitungan.

Setelah diikutkan les, Tia mampu mengejar kekurangannya, bahkan saat SMP melejit lulus dengan peringkat tinggi. Maka, ia ingin agar pengalaman pahit itu tidak dialami oleh anak-anak usia sekolah lainnya.

Suatu hari Minggu, rasa kangen ibu tak dapat Tia bendung. Dia berpamit untuk mengunjungi ibu kepada bibi dan paman. Walaupun diizinkan, sampai di tengah jalan pikiran Tia berubah. Tidak, dia tidak mau melihat perut ibu yang mungkin sudah tampak membuncit. Tiba-tiba saja Tia merasa jengah sehingga dihentikanlah angkutan umum yang membawa ke tujuan itu saat berada di seberang museum legenda di kotanya. Tepat  di depan gedung perpustakaan umum.

Tanpa sadar dilangkahkanlah kakinya menuju tempat lengang itu: 'Perpustakaan Umum'. Untunglah, hari Minggu pun tempat itu terbuka untuk umum. Maka, diayunkan langkah menuju loket petugas yang sedang mendata para pengunjung.
Lengang? Oh, ternyata tidak! Di  dalam banyak juga pengunjung, tetapi tidak ada suara pembicaraan satu dengan yang lain. Suasana yang sangat kondusif untuk membaca! Hanya alunan musik instrumentalia lembut dengan volume lirih yang menandakan adanya aktivitas di ruang ber-AC itu.  

Deretan buku terpajang menyapa netranya seolah menyampaikan salam manis sehingga Tia  mampu tersenyum.

"Wah, kenapa tidak menyembunyikan diri di sini saja? Daripada hati bergolak melihat kedua orang tua yang sedang berseteru, berperang, bahkan saling memisahkan diri, harusnya dicari ketenangan di tempat nyaman yang menyediakan segudang pengetahuan ini," pikirnya. Apalagi pernah didengar nasihat Satpam sekolah, "Jangan duduk berlama-lama di bawah pohon beringin tua itu, Mbak. Bisa bahaya!" Tia sadar. Dia tidak boleh berperilaku seperti orang gila walaupun sedang stress!

Aktivitas baru yang menjanjikan kenyamanan dan ketenangan. Tia berkesempatan mengakses cerpen tentang broken home lewat sarana wifi gratis di tempat itu. Seolah membedah isi dada ketika didapatinya kalimat pembuka seperti ini.

"Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang nyaman, harmonis, dan juga mendapat kasih sayang dari orang tua. Namun, mengapa aku tidak pernah bisa memiliki kehidupan itu. Tak pantaskah aku mendapatkannya? Sesungguhnya, sebuah kasih sayang dari orang tua tak akan bisa tergantikan dengan apa pun. Aku yakin Allah merencanakan semua ini adalah yang terbaik buatku dan juga keluargaku. Semoga dengan aku menceritakan semuanya bisa membuat perasaan ini jauh lebih baik dan tak akan ada kesedihan lagi di hari-hari yang akan aku jalani. Perkenalkan namaku adalah Hanyfah. Aku akan menceritakan pengalamanku yang menyedihkan ini sama kalian semua semoga ini tidak akan pernah terjadi buat yang membacanya. Aminnn...." ("Broken Home" karya : Bekti Lestari)

Seolah tertampar sekaligus tertantang membaca prolog cerpen itu. Persis seperti apa yang dirasakannya!  

"Aku yakin Allah merencanakan semua ini adalah yang terbaik buatku dan juga keluargaku."
Kalimat yang dikemukakan sang penulis mampu membuat Tia terhenyak. Teringatlah Tia akan nats sabda Tuhan yang dibacanya semalam ketika dilakukan Saat Teduh:

"Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11)

 "Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?" (Roma 8:35)

"... terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (Yakobus 1:21b)

Dari ketiga ayat di atas, Tia mengambil kesimpulan bahwa semua yang terjadi di dalam hidupnya adalah rancangan Tuhan semata. Rancangan itu bermaksud baik, yakni untuk memberikan hari depan yang penuh harapan. Apa pun kondisi kita, Tuhan tetap mengasihi kita. Oleh karena itu, semua harus diterima dengan hati terbuka dan penuh ucapan syukur.

Hari ini jika Tuhan menuntun langkahnya menuju perpustakaan umum dan menemukan inspirasi, semua merupakan anugerah dan kebaikan hati-Nya belaka. Harus ditapakinya hari-hari dengan senyum riang karena yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah merancangkan yang buruk di dalam hidupnya. Tuhan yang diimaninya akan selalu membentengi, membersamai, bahkan memberkati hidupnya.

Perceraian orang tua bukanlah segalanya. Bukan hanya Tia yang mengalaminya. Banyak di luar sana yang bernasib sama. Maka, Tia ingin menunjukkan bahwa kondisi yang membuatnya terpuruk dan hancur itu akan mengubahkannya menjadi ciptaan baru. Bukankah kalau bejana rusak parah, sang kundi akan melumatkan sekalian dan membentuk menjadi ciptaan baru?

Hari berlari dengan cepat. Tia lulus SMA, bahkan sesuai doanya, diterima sebagai mahasiswa berbeasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di ibu kota. Diterima sebagai mahasiswa pendidikan matematika seperti yang dicita-citakannya. Masa kuliah pun dijalaninya dengan keyakinan kokoh. Sekalipun harus menjalani kisah broken home, Tuhan selalu melindungi dan memberkatinya. Kini Tia telah lulus, berhasil menjadi seorang sarjana pendidikan, dan mulai membaktikan diri sebagai seorang guru di provinsi ujung timur Indonesia.

Tidak banyak yang Tia minta kepada Tuhan karena ia tahu, yakin, dan percaya bahwa rencangan-Nya indah semata. Beberapa saat lalu, ayahnya yang menduda telah dipanggil pulang ke surga setelah mengidap gagal ginjal. Tia bersyukur sang ayah telah sembuh total, tidak merasakan penderitaan dunia lagi. Karena itu tangis dan air mata tak tampak lagi menghiasi wajah karena ia tahu kematian itu justru menyelamatkan ayah dari penderitaan. Ia tahu Tuhannya berkehendak baik. Semua baik adanya.

Sang ibu yang meninggalkan dan telah menikah dengan orang lain pun, tampaknya kembali menjanda. Entah apa yang terjadi, Tia tidak ambil pusing. Ibu dan adik tirinya hidup mandiri tanpa memikirkan dirinya. Lalu, mengapa ia harus terbebani dengan pikiran yang tidak penting?

Begitu pikirnya. Oleh karena itu, ia hanya berfokus pada pekerjaan. Bahkan, jika tugasnya mengembalikan ikatan dinas telah usai, ia justru berkeinginan untuk ikut salah seorang kerabat ayah yang tinggal di negara lain. Tia ingin meninggalkan tanah air dengan segala kenangannya, tentang ayah, tentang ibu, dan keluarga kecilnya. Demikianlah, kalau sekali retak, susah dipertautkan kembali, bukan?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun