Hari berlari dengan cepat. Tia lulus SMA, bahkan sesuai doanya, diterima sebagai mahasiswa berbeasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di ibu kota. Diterima sebagai mahasiswa pendidikan matematika seperti yang dicita-citakannya. Masa kuliah pun dijalaninya dengan keyakinan kokoh. Sekalipun harus menjalani kisah broken home, Tuhan selalu melindungi dan memberkatinya. Kini Tia telah lulus, berhasil menjadi seorang sarjana pendidikan, dan mulai membaktikan diri sebagai seorang guru di provinsi ujung timur Indonesia.
Tidak banyak yang Tia minta kepada Tuhan karena ia tahu, yakin, dan percaya bahwa rencangan-Nya indah semata. Beberapa saat lalu, ayahnya yang menduda telah dipanggil pulang ke surga setelah mengidap gagal ginjal. Tia bersyukur sang ayah telah sembuh total, tidak merasakan penderitaan dunia lagi. Karena itu tangis dan air mata tak tampak lagi menghiasi wajah karena ia tahu kematian itu justru menyelamatkan ayah dari penderitaan. Ia tahu Tuhannya berkehendak baik. Semua baik adanya.
Sang ibu yang meninggalkan dan telah menikah dengan orang lain pun, tampaknya kembali menjanda. Entah apa yang terjadi, Tia tidak ambil pusing. Ibu dan adik tirinya hidup mandiri tanpa memikirkan dirinya. Lalu, mengapa ia harus terbebani dengan pikiran yang tidak penting?
Begitu pikirnya. Oleh karena itu, ia hanya berfokus pada pekerjaan. Bahkan, jika tugasnya mengembalikan ikatan dinas telah usai, ia justru berkeinginan untuk ikut salah seorang kerabat ayah yang tinggal di negara lain. Tia ingin meninggalkan tanah air dengan segala kenangannya, tentang ayah, tentang ibu, dan keluarga kecilnya. Demikianlah, kalau sekali retak, susah dipertautkan kembali, bukan?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H