Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Retak Tak Terpaut

9 September 2024   09:38 Diperbarui: 9 September 2024   10:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siswa dengan prestasi bagus itu tiba-tiba berperilaku tidak seperti biasa. Wajah cerianya lenyap, senyumnya musnah, sinar netranya kosong. Duduk diam-diam dalam waktu lama sepulang sekolah ketika semua teman sudah meninggalkan gedung sekolah.
Sejak mendengar pertengkaran demi pertengkaran hingga berakhir perceraian kedua orang tuanya hanya dalam waktu beberapa bulan terakhir membuat prestasi Tia anjlok drastis. Sejak ibu melarikan diri dan kemudian terdengar selentingan berita bahwa si ibu hendak menikah lagi, Tia harus menghadapi sifat dan sikap ayah yang keras kepala, temperamental, malas, dan egois tanpa memikirkan dirinya.

"Layak ibu tidak tahan menghadapinya," pikirnya.

Tia tak lagi mampu menangis, tidak mampu berkata-kata. Air mata dan sedu sedan yang  mewakili sejuta rasa di dada itu lenyap. Kini hobi barunya diam dan diam tak bergeming. Itu yang sering dilakukannya. Bibi dan paman maklum. Maka dimintanya Tia bersabar.
Karena tidak tega melihat penderitaan lahir batin Tia akibat  kondisi orang tua ini, bibi dan paman mengunjungi ayahnya. Mereka merasa hubungan suami istri itu sudah tidak bisa dipulihkan, sebagai kakak kandung, bibi meminta ayah Tia untuk segera mencari pekerjaan sebagai pertanggungjawaban atas hidupnya juga kelanjutan pendidikan Tia.

Tia terselamatkan oleh keluarga bibi dan paman karena kebetulan ekonomi mereka tergolong cukup berada. Karena terdesak, akhirnya ayah Tia memperoleh pekerjaan di luar Jawa. Bahtera mereka bukan hanya retak, melainkan karam tenggelam ke dalam dasar samudra. Hancur berkeping-keping.

Belum  lulus dari SMA, Tia mendengar kabar bahwa ibunya menikah siri dengan seseorang karena telah berbadan dua. Makin sedih hati Tia. Bagaimana bisa ibunya berlaku seperti itu. Bukankah  seharusnya memberi contoh kepada anak gadisnya untuk tetap setia sebagaimana ikrar pernikahan mereka?

Tia tumbuh di dalam kondisi prihatin. Tubuh kurusnya tak kuat menahan beban sendirian. Asam lambung dan maag menjadi langganan yang selalu mengganggunya. Padahal, ujian sudah mengintai di depan pintu.

Tia ingin menunjukkan bahwa Tuhan selalu mengabulkan doanya. Ingin sekali Tia memperoleh kesempatan berkuliah berbeasiswa agar bisa mengabdikan diri sebagai guru matematika. Ini karena saat masih kecil, tepatnya ketika duduk di kelas awal SD, dia pernah tidak naik kelas gegara tidak menguasai hitung-hitungan.

Setelah diikutkan les, Tia mampu mengejar kekurangannya, bahkan saat SMP melejit lulus dengan peringkat tinggi. Maka, ia ingin agar pengalaman pahit itu tidak dialami oleh anak-anak usia sekolah lainnya.

Suatu hari Minggu, rasa kangen ibu tak dapat Tia bendung. Dia berpamit untuk mengunjungi ibu kepada bibi dan paman. Walaupun diizinkan, sampai di tengah jalan pikiran Tia berubah. Tidak, dia tidak mau melihat perut ibu yang mungkin sudah tampak membuncit. Tiba-tiba saja Tia merasa jengah sehingga dihentikanlah angkutan umum yang membawa ke tujuan itu saat berada di seberang museum legenda di kotanya. Tepat  di depan gedung perpustakaan umum.

Tanpa sadar dilangkahkanlah kakinya menuju tempat lengang itu: 'Perpustakaan Umum'. Untunglah, hari Minggu pun tempat itu terbuka untuk umum. Maka, diayunkan langkah menuju loket petugas yang sedang mendata para pengunjung.
Lengang? Oh, ternyata tidak! Di  dalam banyak juga pengunjung, tetapi tidak ada suara pembicaraan satu dengan yang lain. Suasana yang sangat kondusif untuk membaca! Hanya alunan musik instrumentalia lembut dengan volume lirih yang menandakan adanya aktivitas di ruang ber-AC itu.  

Deretan buku terpajang menyapa netranya seolah menyampaikan salam manis sehingga Tia  mampu tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun