Saat berada di kelas akhir SMP, aku mendapat julukan baru. Akan tetapi, bukan untuk olok-olok. Saat guru sejarah membahas tokoh bernama Sun Yat Sen, beliau menceritakan bahwa mantan Presiden Tiongkok ini luar biasa. Karena namaku kebetulan mengandung kata "Yat" Â dimintanya aku menjadi sosok seperti itu.
Entahlah apa beliau mengetahui kisah sedih masa laluku saat di SD, aku tidak tahu. Namun, dimintanya aku menjadi  Sun Yat Sen di kelas kami.  "Sun shine every day!" kata beliau sambil menatapku dari meja guru yang tinggi itu. Aku  sangat terharu.
***
Hari ini aku membongkar lemari untuk berkemas karena hendak indekos agar tidak terlalu lelah. Kutemukan seragam SD yang kusimpan, dan tiba-tiba kuingatlah peristiwa beberapa tahun lalu.
Saat itu hari masih pagi. Belum banyak siswa yang datang, kecuali petugas piket. Namun, tiga  teman lelaki menghadang langkahku menuju ruang kelas lima.
"Kamu sudah kerja PR belum? Pasti nggak bisa, 'kan?" Opix berkacak pinggang memandang sinis. Ia berusaha menutupi pintu kelas.
"Iya, kamu 'kan si Gembrot berotak udang!" imbuh Jalil tak kalah sengit.
Aku diam tak menjawab, tetapi mencari celah untuk masuk kelas. Hari ini aku kena jadwal piket membersihkan kelas sehingga harus segera melakukan tugas sebelum bel tanda masuk berbunyi. Namun, mereka menghadang jalanku. Aku tidak bisa masuk kelas untuk segera menyapu. Kucari  akal. Aku  berlari ke kelas lain dan meminjam sapu. Langsung kusapu teras karena dari tadi belum berhasil masuk kelas.
Belum selesai, Dafir menyebar serpihan kertas sehingga harus kusapu ulang. Hatiku cukup kesal, tetapi tak sanggup melawan. Tidak  kutanggapi ulah mereka. Mereka meledek dengan meleletkan lidah dan berkata kurang ajar. Syukurlah, saat Dafir menyebar serpihan kedua kali, Pak Burhan, kepala sekolah datang.
"Fiiirr ...!" teriak Pak Burhan lantang. "Segera sapu bersih kotoran yang kaubuat itu!"
Dafir pun mengambil sapu sambil melotot dan mengancam aku. Aku tetap diam.