Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anai-anai dan Belalang Sembah

27 Agustus 2024   07:10 Diperbarui: 27 Agustus 2024   09:11 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anai-anai dan Belalang Sembah

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Pada suatu pagi  sejuk, seekor Belalang Sembah sedang bertengger di atas dahan pohon amazon rendah. Ia sedang menikmati sinar matahari yang masuk lewat celah-celah daun. Angin bertiup sepoi-sepoi basa menambah indah panorama pagi. Matanya yang amat besar diarahkan ke segala penjuru. Bukan untuk melihat mangsa, melainkan hendak melihat sesiapa yang sudah bangun. Ia ingin memamerkan kepiawaiannya menari.

Ya, di kebun itu terdapat berbagai tanaman, baik rendah maupun tinggi. Oleh karena itu, tentu saja banyak hewan yang betah tinggal di sana. Ada kawanan burung kutilang yang setia bertandang, jika pohon amazon sedang berbuah masak. Ada ruak-ruak dari rumpun bambu sebelah, tepatnya di tepian sungai, yang sering melihat-lihat suasana kebun saat sedang sepi.

Bahkan ada pula nyambik yang tetiba berjalan-jalan saja di atas pagar tembok. Entah dari mana dan menuju ke mana, Belalang Sembah tak pernah peduli. Yang ia sukai adalah bertengger di tempat hangat sambil memamerkan liuk indah gerakan tubuh yang memesona.

Tiba-tiba ... si Belalang Sembah melihat alur memanjang dari arah tanah menuju ke atas di batang pohon mangga. Karena heran dan ingin tahu, Belalang Sembah pun mendekatinya.

Gemuruh suara di dalam terowongan yang sengaja dibangun oleh hewan-hewan kecil itu. Rasa penasaran si belalang makin menjadi-jadi. Lalu, ia menyentuh ujung terowongan yang masih lembek.

"Haiii ... kenapa kau rusak bangunan kami?" teriak beberapa hewan kecil dari bilik dinding terowongan.

"Oh, buat apa kalian bikin bangunan ini?" tanya Belalang Sembah dengan mata melotot. Heran bercampur bingung.

"Ya, kami hendak mencari dan menyimpan makanan. Terowongan ini sebagai jalur transportasi dari sumber asal makanan ke gudang bawah tanah!" jawab salah seekor dari ratusan anai-anai itu sambil menyembulkan diri dari terowongan yang mereka buat.

"Ha? Buat apa?" heran si belalang.

"Ya, Kawan. Anggota kawanan kami banyak sekali. Kami bangsa rayap tidak boleh bertopang dagu. Masing-masing memiliki tugas dan kewajiban yang harus ditunaikan!" jawab seekor anai-anai lain.

"Ohh ... siapa yang menyuruh kalian? Mengapa harus menyimpan makanan segala?" selidik belalang.

"Ya, meskipun tanpa pemimpin, kami tahu diri. Sementara itu, kami punya Ratu yang harus kami layani. Makanan harus kami cari dan simpan sebaik-baiknya agar di musim hujan dan musin dingin, kami tidak kelaparan!"

"Halaahh ... musim hujan dan musim dingin? Masih lama, itu, Kawan!" ujar belalang meremehkan pernyataan lawan bicara.

"Justru itulah kami harus mempersiapkan jauh-jauh hari. Nanti kalau musim itu tiba, kami tinggal bersantai di dalam sarang dan tidak kelaparan!"

"Hmmm ... mending bersantai saja sekarang. Urusan nanti, ya nanti saja! Begitu saja kok repot" serunya sambil menggeliat.

"Oke, masing-masing punya pendapat dan pemikiran. Kata peribahasa kepala sama berbulu, pendapat berlain-lain. Silakan, Kawan. Kami akan lanjut bekerja!"

"Hei, lihat nih!" ujar Belalang Sembah sambil memamerkan gerakan gemulainya.

"Bagaimana? Indah bukan?" lanjut si Belalang Sembah.

Namun, hewan kecil yang disebut anai-anai itu telah bergabung dengan pasukannya. Diabaikanlah gerakan belalang yang sedang berputar-putar dan menari-nari di dekat mereka.

"Dasar binatang gila! Kurang kerjaan!" gerutu kawanan anai-anai yang sedang giat bekerja tanpa kenal lelah.

***

Sekitar satu bulan lamanya, anai-anai sudah menemukan dan menyimpan banyak makanan yang diperkirakan cukup membuat rakyat tidak kelaparan. Musim hujan pun tiba. Kawanan tersebut sudah siap dengan musim penghujan. Bahkan, pasukan laron yang harus berinvasi, harus keluar dari sarang membentuk keluarga baru dan koloni sendiri pun, siap-siap berangkat.

Belalang Sembah yang tidak pernah memikirkan tabungan makanan pun kebingungan. Hendak keluar dari sarang, hujan begitu lebat. Angin pun sangat kencang. Tidak mungkin ia selamat kalau menerjang hujan dan angin.

Ia menggigil di sarang kecilnya. Dingin sangat menyiksa.

"Huuu ... huuu ...," tangisnya mengiba.

Saat itu kebetulan seekor anai-anai melintas dengan kesulitan. Melihat Belalang Sembah, ia mencoba singgah di sarangnya.

"Kamu kenapa?" tanya si anai-anai.

"Betul katamu! Aku tidak punya persiapan makanan karena tidak pernah menabung sebelumnya!"

"Oh, jadikan saja pengalaman. Ke depan, siapkanlah segala sesuatunya. Kalau kamu mau ke sarang kami, ada banyak makanan. Akan tetapi pasti tidak sesuai dengan seleramu!"

"Iya, Kawan. Aku berjanji akan meniru apa yang baik darimu!"

"Baiklah, aku akan melanjutkan perjalanan!"

"Silakan, Kawan. Maaf, aku tidak bisa menjamumu!"

"Tak apa, lagi pula aku sudah ditunggu pasukanku! Sampai jumpa, Kawan!"

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun