Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cicak dan Gagak

25 Agustus 2024   09:34 Diperbarui: 25 Agustus 2024   09:47 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cicak dan Gagak
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Di sebuah pohon lumayan besar yang tumbuh di dekat sungai, tinggallah seekor cicak jantan. Pohon di hutan itu berdaun paling rimbun sehingga menjadi tempat paling nyaman. Si cicak  bernama Cico. Ia masih kecil sehingga badannya tentu saja lumayan kecil.

Selain hewan itu, ada juga seekor burung gagak yang sering bertengger di pohon yang sama. Gagak ini bernama Gugi.
Kedua hewan itu tinggal di pohon yang sama, tetapi burung gagak selalu berisik dan berulah sehingga mengganggu kenyamanan istirahat si cicak. Apalagi, ulah si Gugi selalu melecehkan kondisi cicak. Karena itu, Cico sering merasa bersedih gegara ulah Gugi.

Suatu hari, tetiba keduanya berpapasan di persimpangan sebuah dahan. Tentu saja, Gugi tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

"Hai, Cico! Kamu itu begitu kecil dan tidak berarti. Aku bisa terbang bebas ke mana saja, sementara kamu hanya dapat merayap saja!" ejek Gugi.

"Ya, Gugi, kamu memang hebat karena bisa terbang. Namun, semua makhluk pasti punya kelebihan dan kekurangan. Kemampuan  itu tidak hanya diukur dari seberapa tinggi kita bisa terbang," jawab Cico tersenyum.

"Halaaahhh! Sok tahu banget, kamu! Apa yang kamu tahu tentang kemampuan makhluk hidup? Kamu hanyalah seorang cicak kecil," kata Gugi meremehkan sambil berkacak pinggang.

"Aku tahu bahwa kemampuan dan kelebihan makhluk hidup ada dalam sikap kita terhadap yang lain. Kita pun semua memiliki peranan yang sangat  penting dalam ekosistem ini," jawab Cico tetap tenang.

"Berlagak pintar saja, kamu! Aku tidak ambil pusing dengan pernyataanmu yang sok pintar itu! Hahaha ...!" ejeknya dengan suara lantang sambil berlalu.

Seminggu kemudian, musim penghujan tiba. Cuaca mulai mendung dan dingin. Bahkan, hujan deras turun tiada henti. Sungai di hutan tersebut mulai meluap. Banyak  hewan mencari tempat perlindungan. Ada yang yang naik di atas pohon yang tinggi dan ada pula yang berlari menuju rumah kosong tidak terlalu jauh dari sungai.

"Gugi, air sungai akan naik lebih tinggi. Ayo cari tempat aman bersama-sama!" ajak Cico sambil memberi info penting itu.

"Aku tak perlu tempat aman seperti itu. Aku bisa terbang menjauh dari sini," ujar Gugi dengan pongah.

Namun, saat Gugi mencoba terbang, angin kencang dan hujan lebat membuatnya kesulitan memulai terbang dengan baik. Ia hampir terjatuh ke dalam air.

"Cepat, Gugi, pegang tanganku! Aku akan membantumu!" Cico mengulurkan lengan hendak menolong.
Cico memiliki semacam lem yang sangat kuat di telapak kaki-kakinya. Karena itu, ia mampu bertahan di permukaan dahan. Ia tidak pernah takut jatuh karena Allah memberikan lem ampuh itu.

Gugi mengerti bahwa ia tidak bisa mengatasi hujan dan angin tersebut dengan mudah. Ia meraih tangan Cico yang diulurkan kepadanya. Cico pun menarik kuat-kuat sehingga si gagak selamat. Mereka berdua berlindung di bawah sebuah daun besar.

Setelah hujan mereda, Gugi merasa malu. Ia yang biasa berlaku sombong, ternyata tidak bisa mengatasi kesulitan saat angin kencang melanda. Mukanya  merasa seperti tertampar. Sekaligus, ia bersyukur saat itu berada di dekat Cico.

"Terima kasih, Cico. Kau sudah menyelamatkanku. Aku memang bisa terbang, tetapi tidak selalu bisa mengatasi segala hal. Ukuran dan kemampuan tidak selalu menentukan siapa yang lebih baik."

"Kita semua memiliki kelebihan masing-masing  dan peranan di dalam alam ini, Gugi. Sombong tidak akan membantu kita, tetapi sikap rendah hati dan jiwa gotong-royong akan membuat kita semua lebih kuat," balas Cico sambil tersenyum manis.

Gugi dan Cico akhirnya menjadi teman baik dan belajar untuk saling menghormati kelebihan masing-masing. Mereka menyadari bahwa kebaikan hati dan sikap rendah hati adalah sifat yang benar-benar berharga. Terutama pada saat menghadapi malapetaka. Ketenangan dan keikhlasan Cico menolong makhluk lain pantas dihargai dan diapresiasi. Bahkan, hal baik yang ditunjukkannya itu bisa diterapkan oleh siapa pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun