Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Diary

Persiapan itu Perlu

13 Juli 2024   09:53 Diperbarui: 13 Juli 2024   17:35 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persiapan itu Perlu

Hari ini kudapatkan petuah bagus sebagai berikut:

Warisan terbaik yang diberikan oleh orang tua bukanlah harta yang melimpah, melainkan karakter dan juga nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan di dalam diri anak-anaknya. Jika kamu terlahir sebagai  orang kaya, bukan berarti kamu adalah orang sukses. Begitu pula sebaliknya, ketika kamu terlahir tidak punya apa-apa, bukan berarti kamu adalah orang gagal.

Masa depanmu ditentukan oleh diri kamu sendiri. Apa yang kamu mau dalam hidup? Banyak orang bilang masa muda adalah masa pencarian jati diri. Mencari yang sesuai dengan passion, mencari pengalaman, mencari jawaban. Mencari, mencari, dan terus mencari.

Tahukah kamu bahwa jati diri itu tidak untuk dicari, tetapi untuk dibentuk? Boleh-boleh saja untuk mencoba banyak hal, tetapi kamu harus setia pada prosesnya.

*** 


Setelah mendengarnya, aku teringat kembali akan pengalaman hidup beberapa saudara jauhku. Yang pertama melintas adalah kisah Mas Dito dan Mas Dion. Selanjutnya kisah Kang Gantol sepupu jauhku, Mas Damar, dan Mas Dandi. Kedua yang terakhir ini putra  lelaki dari dua sahabat dekatku. Sengaja kupilih lima remaja lelaki karena kelak mereka adalah calon imam dan kepala keluarga. Mereka berlima ini anak-anak orang kaya dan berpendidikan tinggi sebenarnya. Namun, dalam perjalanan hidup mereka ada yang tidak berjalan mulus.

Mas Dito dan Mas Dion adalah dua kakak beradik. Jika Mas Dito lahir sekitar 1953, Mas Dion dua tahun setelahnya. Akan tetapi, dua kakak beradik ini sangat jauh berbeda baik dari segi fisik, maupun psikis, khususnya segi karakter. Jika Mas Dito gemar bersepeda motor dan kebut-kebutan ketika remaja, tidak demikian dengan Mas Dion. Mereka bagaikan langit dan bumi saja.

Sebenarnya keluarga mereka orang terpandang dengan tujuh putra-putri. Namun, putri terkecil dipanggil Tuhan sejak masih bayi sehingga tinggal berenam. Tiga lelaki, dan tiga perempuan. Si sulung, Mas Dirta saat itu sudah kuliah, demikian juga Mbak Dina putri kedua. Sulung dan adiknya ini berkuliah di Universitas Hasanudin dan masih tinggal di Sulawesi ketika sebagian keluarga sudah boyongan ke Jawa.

Selanjutnya Mas Dito dan Mas Dion yang masih bersekolah di SMA dan SMP tingkat akhir. Adik-adiknya beruntun Dik Dinta dan Dik Dinda masih bersekolah di SD.  Sementara, pada saat itu aku lebih muda setahun daripada Mas Dion, tetapi lebih tua sekitar satu tahun lebih sedikit daripada Dik Dinta.  

Ayah mereka ini seorang perwira angkatan bersenjata yang bertugas di Makasar. Aku biasa memanggilnya Pakde Bara. Sang ibu, yang kupanggil  dengan sapaan Bude Parti, merupakan ibu rumah tangga biasa. Pakde dan Bude ini benar-benar orang tua yang sabar, ramah, low profil, care, dan humble. Karena anggota ABRI, tentu saja kadang ada disiplin dan tegasnya. Misalnya, saat anak-anak harus menyelesaikan tugas sehari-hari.  

Kondisi  perekonomian keluarga tersebut cukup berada karena memiliki kebun cengkih dan durian di desa asal sang ayah. Pada saat itu, cengkih merupakan primadona yang sangat bisa diandalkan sehingga benar-benar potret keluarga yang sangat beruntung dan berbahagia.

Menjelang purnatugas, keluarga tersebut sudah bersiap-siap pindah ke Jawa, tepatnya di Surabaya, dengan membangun sebuah rumah cukup mewah. Rumah tersebut berlantai tiga, dengan delapan kamar tidur. Jumlah yang sangat sangat memadai untuk masing-masing putra-putri dan sebuah kamar tamu. Benar-benar merupakan rumah idaman di masa kecilku.

Mas Dito yang gemar sekali kebut-kebutan dan balapan seringkali cedera. Jika cedera, dia sering tetirah di desa, tepatnya di rumah kakek nenek tempatku diasuh dan dibesarkan. Kadang sebulan, kadang lebih, sampai lukanya benar-benar sembuh. Karena hobi liarnya tersebut, memang beberapa kali dia harus mengalami operasi pemasangan pen di kaki. Katanya gegara kecelakaan saat balapan. Oleh karena itu, darisegi pendidikan, Mas Dito tidak bisa memenuhi harapan orang tua dengan menorehkan prestasi membanggakan. Karena itu, dia tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal, secara ekonomi kedua orang tua cukup mampu untuk membiayainya.

Mas Dion yang berperangai lebih lembut, malah gemar sekali memasak dan membuat kue. Dengan sangat rajin, dialah yang membantu sang ibu untuk menyelesaikan tugas kerumahtanggaan. Mengepel, membantu memasak, dan membuat kue dilakukannya tanpa mengeluh. Salah seorang putra cekatan yang luar biasa. Mrantasi kata orang Jawa.  Meskipun tanpa pembantu rumah tangga, segala sesuatu teratasi oleh peran Mas Dion ini.

Ketika lulus SMA, Mas Dion melanjutkan pendidikan ke IKIP Malang, mengambil jurusan Departemen Civics Hukum. Pada tahun 1980-an berubah menjadi Departemen Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara. Jurusan tersebut mempersiapkan mahasiswanya menjadi guru PPKn. Setahun setelahnya, aku mengikuti jejak Mas Dion  untuk menimba ilmu di perguruan tinggi yang sama.

Beberapa tahun tidak mengikuti kabar mereka, akhirnya kuketahui bahwa Mas Dion menjadi salah seorang guru di kotaku. Sementara itu, Dik Dinta yang sempat mengenyam perguruan tinggi negeri  lain menikah dengan sahabat karib Mas Dion yang juga berprofesi sebagai guru . Sayang, Dik Dinta tidak memanfaatkan keahliannya sebagai wanita karier. Dia memantapkan diri sebagai ibu rumah tangga biasa.

Mas Dito kudengar telah menikah dengan salah seorang kerabat dan memiliki tiga putra-putri. Namun, karena tidak memiliki keahlian, keterampilan, dan pekerjaan tetap, kabarnya dia mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan, berita terakhir yang kudengar dia telah berpulang dalam kondisi sangat memprihatinkan.

Dalam hal ini, aku bukan bermaksud menghina, bukan. Akan tetapi, yang kutekankan jika seseorang memanfaatkan masa muda dengan baik, akan bisa digunakan sebagai pegangan di masa depan. Bukan hanya pengalaman Mas Dito yang menyia-nyiakan masa muda, melainkan masih ada beberapa saudara dan putra teman yang bernasib sama. Jika putra lelaki tidak dipersiapkan dengan baik pada saat masih usia sekolah dan kuliah, ternyata mengalami hal sama.  

Ada juga Kang Gantol, nama panggilan, saudara sepupuku ini memiliki orang tua kaya juga. Kakek nenek dan ayahnya meninggalkan harta warisan berhektar-hektar sawah, ladang, dan ternak. Mereka petani sukses di kala itu. Namun, karena sepupuku ini tidak melanjutkan sekolah setamat tingkat SMP, dia tidak mempunyai keahlian dan keterampilan apa pun. Harta melimpah yang menjadi warisan tersebut beberapa tahun kemudian pada akhirnya ludes, habis terjual tak bersisa. Bagaimana tidak? Pengeluaran setiap hari tetap berlangsung, sementara tidak ada pemasukan sama sekali. Bukankah setinggi gunung pun akan habis juga jika setiap hari digali?

Masih ada lagi putra salah seorang teman yang lain. Teman baikku ini berprofesi sebagai dokter terpandang kala itu. Sayang, putra lelaki satu-satunya dengan empat saudara wanita lain ini, sebut saja Damar, kurang disiplin dan lenjeh (dalam artian kurang tekun dan berganti-ganti).  Dia tidak konsisten dalam memilih jurusan kala kuliah di perguruan tinggi. Masuk jurusan ekonomi, setahun merasa tidak tahan. Tahun berikutnya masuk jurusan ilmu hukum. Belum sampai kenaikan tingkat sudah tidak tahan dan akhirnya tidak melanjutkan perkuliahan. Pada saat orang tua dipanggil Tuhan, Mas Damar ini tidak memperoleh sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk meneruskan hidup dan kehidupan.

Awalnya sesuai bakat terpendam yang dimiliki, dia menekuni dunia fashion, make up artis, dan desainer busana. Mulanya, proyek yang dilakukan bersama sang istri berjalan lancar. Namun, karena kurang tekun, kurang rajin, dan kurang memiliki daya juang juga, para pelanggan pun meninggalkannya. Sayang sekali. Pekerjaan yang telah dirintisnya dengan cukup baik, kandas begitu saja. Selanjutnya, karena kondisi ekonomi yang tidak stabil, rumah tangganya pun dilanda badai besar. Apa yang rapuh dari dalam tersebut kian ambruk secara frontal.

Selanjutnya, ada Mas Dandi. Kedua orang tua Dandi berprofesi sebagai dosen, bahkan sang ayah pernah menjabat sebagai dekan suatu perguruan tinggi ternama. Namun, putra sulung yang sejak kecil bermasalah dengan kesehatan ini, nasibnya kurang  beruntung. Masa kecilnya harus mengalami operasi berkali-kali, sementara pendidikan yang diterima juga kurang maksimal. Sempat melanjutkan ke perguruan tinggi swasta, tetapi rupanya juga tidak bisa menyelesaikan dengan baik sehingga tidak berlanjut.   

Secara karakter, kuakui  Mas Dandi ini luar biasa. Aku acungi jempol. Dia berhasil menyelamatkan salah seorang teman wanita yang hendak diperjualbelikan oleh suatu geng dan mengambilnya sebagai seorang istri. Awal menikah, dia memperoleh fasilitas pekerjaan dari teman baik sehingga bisa mengatasi ekonomi keluarga. Namun, sayang karena suatu hal prinsip ketika tiga putra-putrinya beranjak remaja, rumah tangga mereka kandas. Mereka harus berpisah. Konon karena urusan perekonomian yang menjadi kendala.


Dari pengalaman saudara dan teman-teman ini, aku ambil hikmah penting. Memang, kala usia  di bawah 22 tahun, apalagi senyampang masih ada orang tua, kita harus benar-benar memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu dan pengalaman. Berdasarkan perolehan tersebut, pada kisaran usia 23 tahun, kita bisa memanfaatkan dan menerapkan ilmu yang telah kita peroleh dengan susah payah tersebut sebagai acuan masa depan. Orang Jawa bilang, wes wancine cekel gawe. Artinya, usia 22 itu sudah saatnya seseorang memiliki pekerjaan dan penghasilan.

Tuhan menitipkan masa kanak, remaja, dan menjelang dewasa di tangan pengasuhan orang tua atau wali kita itu guna mempersiapkan masa depan kita sendiri. Jika lengah, kurang waspada, atau menggunakannya dengan tidak tepat, kita akan memetik buah masam. Sebaliknya, jika menggunakannya dengan tekun, telaten, sabar, disiplin, dan konsisten buah manislah yang kita terima.

Sebenarnya, bukan masalah gelar, ijazah, atau pendidikan tinggi yang harus dimiliki, tetapi suatu keterampilan yang bisa menghasilkan pendapatan dengan dibarengi kemauan, kegigihan, keuletan, dan tanggung jawab. Tidak harus memiliki gelar sarjana untuk bisa menghasilkan pendapatan layak. Yang penting justru semangat juang dan kemauan keras untuk melakukan apa saja yang penting halal. Bahkan, meskipun dianggap remeh dengan berjualan pisang goreng ibaratnya, jika ditekuni dengan gigih pasti akan memperoleh pemasukan. 

Bukankah kata orang asal mau mengais-ngais, tidak kalah dengan ayam, kita bisa mencari makan. Asal ada kemauan pasti ada jalan, bukan? Bermodal peluit saja, bisa menjadi tukang parkir yang bisa menghasilkan uang. Menjadi tukang pijat dengan sedikit ilmu saja, konon seorang tetanggaku bisa membeli beras.  Ya, kasarnya saja begitu. Tidak perlu malu atau gengsi dan pilih-pilih yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.

Semoga kisah di atas bisa menjadi cermin dan suri teladan bagi kita, baik sebagai generasi muda maupun orang tua untuk mempersiapkan masa depan putra-putri kesayangan dengan sebaik-baiknya.

Berharap hal ini bisa menjadi bahan perenungan bagi kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun