Persiapan itu Perlu
Hari ini kudapatkan petuah bagus sebagai berikut:
Warisan terbaik yang diberikan oleh orang tua bukanlah harta yang melimpah, melainkan karakter dan juga nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan di dalam diri anak-anaknya. Jika kamu terlahir sebagai  orang kaya, bukan berarti kamu adalah orang sukses. Begitu pula sebaliknya, ketika kamu terlahir tidak punya apa-apa, bukan berarti kamu adalah orang gagal.
Masa depanmu ditentukan oleh diri kamu sendiri. Apa yang kamu mau dalam hidup? Banyak orang bilang masa muda adalah masa pencarian jati diri. Mencari yang sesuai dengan passion, mencari pengalaman, mencari jawaban. Mencari, mencari, dan terus mencari.
Tahukah kamu bahwa jati diri itu tidak untuk dicari, tetapi untuk dibentuk? Boleh-boleh saja untuk mencoba banyak hal, tetapi kamu harus setia pada prosesnya.
***Â
Setelah mendengarnya, aku teringat kembali akan pengalaman hidup beberapa saudara jauhku. Yang pertama melintas adalah kisah Mas Dito dan Mas Dion. Selanjutnya kisah Kang Gantol sepupu jauhku, Mas Damar, dan Mas Dandi. Kedua yang terakhir ini putra  lelaki dari dua sahabat dekatku. Sengaja kupilih lima remaja lelaki karena kelak mereka adalah calon imam dan kepala keluarga. Mereka berlima ini anak-anak orang kaya dan berpendidikan tinggi sebenarnya. Namun, dalam perjalanan hidup mereka ada yang tidak berjalan mulus.
Mas Dito dan Mas Dion adalah dua kakak beradik. Jika Mas Dito lahir sekitar 1953, Mas Dion dua tahun setelahnya. Akan tetapi, dua kakak beradik ini sangat jauh berbeda baik dari segi fisik, maupun psikis, khususnya segi karakter. Jika Mas Dito gemar bersepeda motor dan kebut-kebutan ketika remaja, tidak demikian dengan Mas Dion. Mereka bagaikan langit dan bumi saja.
Sebenarnya keluarga mereka orang terpandang dengan tujuh putra-putri. Namun, putri terkecil dipanggil Tuhan sejak masih bayi sehingga tinggal berenam. Tiga lelaki, dan tiga perempuan. Si sulung, Mas Dirta saat itu sudah kuliah, demikian juga Mbak Dina putri kedua. Sulung dan adiknya ini berkuliah di Universitas Hasanudin dan masih tinggal di Sulawesi ketika sebagian keluarga sudah boyongan ke Jawa.
Selanjutnya Mas Dito dan Mas Dion yang masih bersekolah di SMA dan SMP tingkat akhir. Adik-adiknya beruntun Dik Dinta dan Dik Dinda masih bersekolah di SD. Â Sementara, pada saat itu aku lebih muda setahun daripada Mas Dion, tetapi lebih tua sekitar satu tahun lebih sedikit daripada Dik Dinta. Â
Ayah mereka ini seorang perwira angkatan bersenjata yang bertugas di Makasar. Aku biasa memanggilnya Pakde Bara. Sang ibu, yang kupanggil  dengan sapaan Bude Parti, merupakan ibu rumah tangga biasa. Pakde dan Bude ini benar-benar orang tua yang sabar, ramah, low profil, care, dan humble. Karena anggota ABRI, tentu saja kadang ada disiplin dan tegasnya. Misalnya, saat anak-anak harus menyelesaikan tugas sehari-hari. Â