Selanjutnya, ada Mas Dandi. Kedua orang tua Dandi berprofesi sebagai dosen, bahkan sang ayah pernah menjabat sebagai dekan suatu perguruan tinggi ternama. Namun, putra sulung yang sejak kecil bermasalah dengan kesehatan ini, nasibnya kurang  beruntung. Masa kecilnya harus mengalami operasi berkali-kali, sementara pendidikan yang diterima juga kurang maksimal. Sempat melanjutkan ke perguruan tinggi swasta, tetapi rupanya juga tidak bisa menyelesaikan dengan baik sehingga tidak berlanjut.  Â
Secara karakter, kuakui  Mas Dandi ini luar biasa. Aku acungi jempol. Dia berhasil menyelamatkan salah seorang teman wanita yang hendak diperjualbelikan oleh suatu geng dan mengambilnya sebagai seorang istri. Awal menikah, dia memperoleh fasilitas pekerjaan dari teman baik sehingga bisa mengatasi ekonomi keluarga. Namun, sayang karena suatu hal prinsip ketika tiga putra-putrinya beranjak remaja, rumah tangga mereka kandas. Mereka harus berpisah. Konon karena urusan perekonomian yang menjadi kendala.
Dari pengalaman saudara dan teman-teman ini, aku ambil hikmah penting. Memang, kala usia  di bawah 22 tahun, apalagi senyampang masih ada orang tua, kita harus benar-benar memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu dan pengalaman. Berdasarkan perolehan tersebut, pada kisaran usia 23 tahun, kita bisa memanfaatkan dan menerapkan ilmu yang telah kita peroleh dengan susah payah tersebut sebagai acuan masa depan. Orang Jawa bilang, wes wancine cekel gawe. Artinya, usia 22 itu sudah saatnya seseorang memiliki pekerjaan dan penghasilan.
Tuhan menitipkan masa kanak, remaja, dan menjelang dewasa di tangan pengasuhan orang tua atau wali kita itu guna mempersiapkan masa depan kita sendiri. Jika lengah, kurang waspada, atau menggunakannya dengan tidak tepat, kita akan memetik buah masam. Sebaliknya, jika menggunakannya dengan tekun, telaten, sabar, disiplin, dan konsisten buah manislah yang kita terima.
Sebenarnya, bukan masalah gelar, ijazah, atau pendidikan tinggi yang harus dimiliki, tetapi suatu keterampilan yang bisa menghasilkan pendapatan dengan dibarengi kemauan, kegigihan, keuletan, dan tanggung jawab. Tidak harus memiliki gelar sarjana untuk bisa menghasilkan pendapatan layak. Yang penting justru semangat juang dan kemauan keras untuk melakukan apa saja yang penting halal. Bahkan, meskipun dianggap remeh dengan berjualan pisang goreng ibaratnya, jika ditekuni dengan gigih pasti akan memperoleh pemasukan.Â
Bukankah kata orang asal mau mengais-ngais, tidak kalah dengan ayam, kita bisa mencari makan. Asal ada kemauan pasti ada jalan, bukan? Bermodal peluit saja, bisa menjadi tukang parkir yang bisa menghasilkan uang. Menjadi tukang pijat dengan sedikit ilmu saja, konon seorang tetanggaku bisa membeli beras. Â Ya, kasarnya saja begitu. Tidak perlu malu atau gengsi dan pilih-pilih yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.
Semoga kisah di atas bisa menjadi cermin dan suri teladan bagi kita, baik sebagai generasi muda maupun orang tua untuk mempersiapkan masa depan putra-putri kesayangan dengan sebaik-baiknya.
Berharap hal ini bisa menjadi bahan perenungan bagi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H