Kondisi  perekonomian keluarga tersebut cukup berada karena memiliki kebun cengkih dan durian di desa asal sang ayah. Pada saat itu, cengkih merupakan primadona yang sangat bisa diandalkan sehingga benar-benar potret keluarga yang sangat beruntung dan berbahagia.
Menjelang purnatugas, keluarga tersebut sudah bersiap-siap pindah ke Jawa, tepatnya di Surabaya, dengan membangun sebuah rumah cukup mewah. Rumah tersebut berlantai tiga, dengan delapan kamar tidur. Jumlah yang sangat sangat memadai untuk masing-masing putra-putri dan sebuah kamar tamu. Benar-benar merupakan rumah idaman di masa kecilku.
Mas Dito yang gemar sekali kebut-kebutan dan balapan seringkali cedera. Jika cedera, dia sering tetirah di desa, tepatnya di rumah kakek nenek tempatku diasuh dan dibesarkan. Kadang sebulan, kadang lebih, sampai lukanya benar-benar sembuh. Karena hobi liarnya tersebut, memang beberapa kali dia harus mengalami operasi pemasangan pen di kaki. Katanya gegara kecelakaan saat balapan. Oleh karena itu, darisegi pendidikan, Mas Dito tidak bisa memenuhi harapan orang tua dengan menorehkan prestasi membanggakan. Karena itu, dia tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal, secara ekonomi kedua orang tua cukup mampu untuk membiayainya.
Mas Dion yang berperangai lebih lembut, malah gemar sekali memasak dan membuat kue. Dengan sangat rajin, dialah yang membantu sang ibu untuk menyelesaikan tugas kerumahtanggaan. Mengepel, membantu memasak, dan membuat kue dilakukannya tanpa mengeluh. Salah seorang putra cekatan yang luar biasa. Mrantasi kata orang Jawa.  Meskipun tanpa pembantu rumah tangga, segala sesuatu teratasi oleh peran Mas Dion ini.
Ketika lulus SMA, Mas Dion melanjutkan pendidikan ke IKIP Malang, mengambil jurusan Departemen Civics Hukum. Pada tahun 1980-an berubah menjadi Departemen Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara. Jurusan tersebut mempersiapkan mahasiswanya menjadi guru PPKn. Setahun setelahnya, aku mengikuti jejak Mas Dion  untuk menimba ilmu di perguruan tinggi yang sama.
Beberapa tahun tidak mengikuti kabar mereka, akhirnya kuketahui bahwa Mas Dion menjadi salah seorang guru di kotaku. Sementara itu, Dik Dinta yang sempat mengenyam perguruan tinggi negeri  lain menikah dengan sahabat karib Mas Dion yang juga berprofesi sebagai guru . Sayang, Dik Dinta tidak memanfaatkan keahliannya sebagai wanita karier. Dia memantapkan diri sebagai ibu rumah tangga biasa.
Mas Dito kudengar telah menikah dengan salah seorang kerabat dan memiliki tiga putra-putri. Namun, karena tidak memiliki keahlian, keterampilan, dan pekerjaan tetap, kabarnya dia mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan, berita terakhir yang kudengar dia telah berpulang dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Dalam hal ini, aku bukan bermaksud menghina, bukan. Akan tetapi, yang kutekankan jika seseorang memanfaatkan masa muda dengan baik, akan bisa digunakan sebagai pegangan di masa depan. Bukan hanya pengalaman Mas Dito yang menyia-nyiakan masa muda, melainkan masih ada beberapa saudara dan putra teman yang bernasib sama. Jika putra lelaki tidak dipersiapkan dengan baik pada saat masih usia sekolah dan kuliah, ternyata mengalami hal sama. Â
Ada juga Kang Gantol, nama panggilan, saudara sepupuku ini memiliki orang tua kaya juga. Kakek nenek dan ayahnya meninggalkan harta warisan berhektar-hektar sawah, ladang, dan ternak. Mereka petani sukses di kala itu. Namun, karena sepupuku ini tidak melanjutkan sekolah setamat tingkat SMP, dia tidak mempunyai keahlian dan keterampilan apa pun. Harta melimpah yang menjadi warisan tersebut beberapa tahun kemudian pada akhirnya ludes, habis terjual tak bersisa. Bagaimana tidak? Pengeluaran setiap hari tetap berlangsung, sementara tidak ada pemasukan sama sekali. Bukankah setinggi gunung pun akan habis juga jika setiap hari digali?
Masih ada lagi putra salah seorang teman yang lain. Teman baikku ini berprofesi sebagai dokter terpandang kala itu. Sayang, putra lelaki satu-satunya dengan empat saudara wanita lain ini, sebut saja Damar, kurang disiplin dan lenjeh (dalam artian kurang tekun dan berganti-ganti).  Dia tidak konsisten dalam memilih jurusan kala kuliah di perguruan tinggi. Masuk jurusan ekonomi, setahun merasa tidak tahan. Tahun berikutnya masuk jurusan ilmu hukum. Belum sampai kenaikan tingkat sudah tidak tahan dan akhirnya tidak melanjutkan perkuliahan. Pada saat orang tua dipanggil Tuhan, Mas Damar ini tidak memperoleh sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk meneruskan hidup dan kehidupan.
Awalnya sesuai bakat terpendam yang dimiliki, dia menekuni dunia fashion, make up artis, dan desainer busana. Mulanya, proyek yang dilakukan bersama sang istri berjalan lancar. Namun, karena kurang tekun, kurang rajin, dan kurang memiliki daya juang juga, para pelanggan pun meninggalkannya. Sayang sekali. Pekerjaan yang telah dirintisnya dengan cukup baik, kandas begitu saja. Selanjutnya, karena kondisi ekonomi yang tidak stabil, rumah tangganya pun dilanda badai besar. Apa yang rapuh dari dalam tersebut kian ambruk secara frontal.