Jawaban yang mirip juga disampaikan Suyud sehingga mereka bertiga tersenyum bersama.
Menu yang ditawarkan untuk makan pagi agak siang tersebut sangat istimewa. Semua  merupakan makanan favorit sehingga ketiganya sempat bingung menentukannya.
"Aku ayam panggang, tumis kangkung, es mutiara sajalah, Mas!" pinta Ayusti mantap.
"Saya boleh pesan urap-urap dan ikan nila goreng saja, Ito," ujar Suyud.
"Ito?" alis Ayusti mengernyit memandangnya.
"Oh, hahaha ... iya. Kami setuju agar Mas Suyud memanggil saya Ito, dan menyapamu Eda! Maaf, ini hasil pembicaraan kami saat dirimu tertidur, Dik!"
"Oh, baguslah. Mengingatkan kita saat di kebun sawit hehe," ujar Ayusti, "Iya, aku setuju!"
"Iya, tetapi nanti saat kita memperkenalkan diri di tempat baru, baiknya kita katakan bahwa kita ini pasangan Pak Nu dan Bu Yus saja. Bagaimana?"
"Baiklah, oke sepakat," sambut Ayusti.
"Baik, Ito, Eda!" tutur Suyud tersenyum.
Ketika  pesanan masing-masing sampai di meja, mereka bertiga menyantap dengan sangat lahap. Maklum perjalanan menguras air mata dan kini kedua pasangan tersebut berniat mengakhiri tangis. Mereka hendak membuka lembaran hidup baru di tempat baru dengan tekad setangguh baja.
Mereka duduk semeja. Tidak dibedakan lagi antara sopir dan majikan. Bahkan, Nu mengangkat Suyud sebagai partner, bahkan sedulur sinorowedi, kerabat yang menyelamatkan hidupnya di dalam pelarian. Suyud pun bertekad untuk membersamai majikannya tersebut hingga keluarga mereka utuh kembali. Ia ingin menjadi saksi hidup di dalam sejarah keluarga besar juragan sepuh yang telah menganggap dan mengangkatnya dari jurang kemiskinan.