Untukmu, tetaplah semangat!
Meskipun dunia tak berpihak kepadamu saat ini, bersabarlah.
Lelah, memang. Namun, kita mesti harus menjalani peran ini dengan sebaik mungkin, sampai tuntas waktunya tiba.
Ingatlah, bahwa bunga mekar itu bukan untuk layu dan rontok, tetapi untuk menghasilkan buah. Berbuah juga bukan untuk mengakhiri, melainkan untuk pembaruan.
Oh, iya ... aku pernah diberi tahu oleh bosku tentang kata bijak ini. Memang sih berbahasa Inggris, tetapi tak apalah sedikit-sedikit aku bisa kok terjemahannya hehehe ... suamimu ini jelek-jelek insinyur pertanian, 'kan?" gurau Nu agar si istri sedikit melupakan kesedihannya.
"Hmm ...," kesahnya lirih.
"Begini nih, coba dengar baik-baik. 'Be patient, good things take time.'  Kata mutiara yang tidak diketahui penciptanya ini berarti:  Bersabarlah karena hal-hal baik memerlukan waktu. Selain itu ada lagi, 'Patience is the companion of wisdom.' Artinya kesabaran adalah pendamping kebijaksanaan.  Ada  juga 'Patience is the art of hoping.'  -- Luc de Clapiers. Yang terakhir ini berarti bahwa sabar itu adalah seni berharap," ucap Nu sambil membuka tabletnya.
Beruntung sekali Nu menyimpan kata-kata bijak tersebut sehingga pada saat yang tepat bisa menyemangati dirinya sendiri dan orang lain, dalam hal ini istrinya sendiri. Suyud sang sopir pun tersenyum mendengarnya.
"Betul sekali, Tuan. Layaknya anak sekolahan, kita pun diuji dengan berbagai keadaan yang tujuannya tak lain dan tak bukan adalah agar hidup kita makin baik, perangai kita makin patut, dan sikap hati kita kepada-Nya juga makin berkualitas," sambil sesekali menoleh kepada juragan mudanya.
"Mas. Saya usul. Jangan panggil saya dan istri saya Tuan dan Nyonya. Kesannya seperti pada zaman penjajahan saja. Feodal banget! Bagaimana kalau Mas memanggil kami dengan sapaan 'Bapak' dan 'Ibu' saja? Kan terkesan lebih akrab. Derajat kita ini di hadapan Tuhan sama, bahkan bisa jadi iman Njenengan lebih unggul daripada saya dan istri. Monggo, mulai sekarang biasakan memanggil Bapak dan Ibu saja, nggih! Jujur, telinga saya terasa nyeri mendengar panggilan proletar seperti sebelumnya!"
"Oh, inggih. Matur nuwun. Saya coba membiasakan diri. Soalnya juragan sepuh dulu disapa begitu. Entah siapa yang mengawalinya dan tidak ada respons apa-apa. Beliau tidak pernah berkomentar," dalih Suyud sambil mengangguk.
"Iya, Ayah itu masa bodoh kalau soal-soal yang dianggapnya sepele seperti itu, tetapi saya yang kurang nyaman."
"Ngomong-omong, bagaimana kabar juragan sepuh, ya?"
"Entahlah, Mas. Semuanya masil abu-abu. Semoga seiring berjalannya waktu segala sesuatunya makin jelas. Apalagi kita juga tidak boleh sembarangan memprediksi. Sementara, hati saya yakin, kedua orang tua saya itu masih sugeng, sehat dan masih eksis. Hanya, memang untuk sementara waktu beliau tidak mau ...,"