Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Deru Pesawat Udara

10 Juli 2024   17:05 Diperbarui: 10 Juli 2024   17:39 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Deru  Pesawat Udara

Aku hanyalah seorang anak desa yang bercita-cita hidup di kota besar karena di desa sangat sepi saat itu. Jika malam hari di musim kemarau, hiburan yang ada hanyalah nyanyian jangkrik tiada henti, sementara di musim penghujan senandung katak mewarnai siang dan malam. Tidak ada lampu warna-warni karena kala itu listrik belum masuk di desa. Itulah sebabnya, ketika berkesempatan berada sejenak di kota melihat lampu aneka warna dan kembang api bertebaran di angkasa, kukatakan bahwa kelak aku hendak hidup di kota. Ternyata, sepuluhan tahun berikutnya aku benar-benar hengkang dari desa pergi ke kota untuk menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri.

Sebenarnya, sekalipun dari segi daya intelegensi aku memenuhi syarat untuk mengikuti perkuliahan karena nilai akademiku selalu berada di peringkat pertama, secara dana sungguh sangat tidak layak. Aku kuliah dengan cara nebeng hidup pada keluarga ayah kandung yang kebetulan beralamat di dekat perguruan tinggi yang menerimaku sebagai salah seorang mahasiswi. Ya, hanya menyeberang jalan saja!

Jadilah aku ngenger. Tentu saja indekos gratis harus kubayar dengan tenaga. Aku menyumbangkan tenaga sebagai asisten pembantu rumah tangga yang kebetulan juga adik ayah kandungku yang ditampung keluarga. Keluarga tersebut suami istri perawat di salah sebuah rumah sakit besar di kota itu, pembantu rumah tangga yang dipekerjakan kakak dari keluarga tersebut. Jadi, tentulah aku membantu apa pun pekerjaan kerumahtanggaan. Mulai dari bebersih dan beberes rumah, menyapu, mengepel, rumah dan halaman hingga membantu memasak dan mencuci piring serta peralatan dapur lain. Aku tidur di kamar belakang, bukan rumah induk, tetapi seperti paviliun. Tepatnya, salah sebuah gudang dengan separuh berisi barang-barang entah apa aku tak paham.

Sebenarnya, kondisi untuk tinggal cukup nyaman. Namun, sayangnya keluarga itu menerima indekos seorang pasien kurang waras karena suami istri perawat di bagian kejiwaan. Pasien tersebut tinggal di kamar bersebelahan dengan gudang tempat istirahatku. Hampir setiap malam jika dia tidak bisa tidur, selalu saja menggedor-gedor pintu dan sangat berisik. Otomatis, istirahatku selalu tidak maksimal. Karena itu, ayah kandungku yang kebetulan juga tinggal di kota sama, memintaku tinggal bersama beliau.

Tinggal bersama ayah kandung dalam kondisi memprihatinkan, membuatku kurang nyaman. Ayah tinggal indekos pada sebuah rumah  yang dihuni beberapa keluarga. Hanya satu kamar besar dengan sebuah patung budha yang juga cukup besar. Ya, ayahku pemeluk agama Budha. Itulah sebabnya aroma yang tidak nyaman selalu kuhirup dan cukup membuatku pusing.

Di kamar sebelah ada keluarga Tante Latumena. Beliau mengambil dua kamar dengan keluarganya. Tante Latumena inilah yang sering mengajakku bercerita. Beliau selalu menasihati bahwa hidup itu tidak selalu berada di atas. Bila saat ini diizinkan di bawah, tentu kali lain diangkat-Nya ke tempat lebih nyaman. Mendengar cerita beliau, entah mengapa hatiku merasa damai dan bisa menerima keadaan serta kenyataan yang ada.

Ya, aku memang harus berjuang dan berjuang untuk meraih mimpi dan menggapai cita-cita. Karena jarak cukup jauh dari kampus dan aku sering memperoleh kuliah sore hari, ayah mengizinkanku untuk mencari tempat indekos mendekati kampus. Jadilah, hanya beberapa bulan saja aku ikut nebeng bersama ayah kandung. Bersama ayah, lumayan banyak kuperoleh cerita masa lalu yang menguatkan hatiku. Satu di antaranya adalah harus memperjuangkan keutuhan keluarga agar tidak berantakan baik dari segi ekonomi maupun dari segi lain-lain. Cukup ayah dan keluarga yang mengalami kegagalan, sementara akan kujadikan prinsip dalam hidup bahwa keutuhan rumah tangga merupakan prioritas utama tatkala kelak aku menjalaninya.

Oh, iya ... karena perolehan IPK semester pertamaku bagus, bisa mencapai 3, 61 aku langsung memperoleh Tunjangan Ikatan Dinas selama tiga tahun. Jadi, aku masuk Januari 1976, TID-ku keluar per April 1976. Dengan beasiswa inilah aku melaju menggapai cita-cita. 

***

Ketika hidup di desa, melihat dan mendengar deru pesawat udara melintas, entah mengapa kami anak-anak selalu meneriakkan, "Kapal .... minta duitnya!"
Geli rasanya bila mengingat hal itu. Padahal, tentu saja kapal udara yang tampak kecil itu tidak memiliki uang untuk diberikan kepada anak-anak desa macam kami. Entah, siapa pula yang mengajari kami berteriak semacam itu. Otomatis pula! Ahaha .... masa kecil yang begitu konyol, kan?

Ya, sudahlah. Sore ini sebenarnya aku sedang menjahit beberapa baju sobek. Biasa, baju lama yang tipis itu justru malah begitu nyaman dikenakan. Jadi, tetap saja meski tak layak pakai dikenakan juga. Alsan klasiknya: nyaman! Enggak gerah!

Nah, ketika sedang menjahit, tetiba kudengar deru pesawat terbang. Maklum, rumah kami dua puluh menit dari bandara sehingga cukup sering deru pesawat kami dengar. Maka, teringatlah akan masa kecil dan agar tidak lupa segera kutuliskan kenang-kenangan nostalgia tersebut.

***

Aku menikah ketika kuliah belum selesai. Ya, aku menikah mendadak bukan karena by accident! Melainkan karena ucapan mulutku sendiri. Hmm, entahlah beberapa kali keinginan dan ucapan mulutku ini diijabah oleh Allah! Luar biasa! Ya, aku menikah karena saat pacar melihatku dibonceng sepeda motor orang lain, ia mengatakan, "Dasar wanita bensin!"

Padahal, aku barusan pulang dari PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) dengan mengajar di SMPN Kepanjen. Harus naik bus dan bemo, padahal uangku tidak cukup karena pagi sebelumnya kubayarkan uang makan pacar tersebut di warung depan indekos. Maka, oleh guru pembimbing aku dititipkan kepada guru yang bersepeda motor agar bisa sampai indekos dengan selamat dan gratis.

Nah, baru turun dari sepeda motor disemprot begitu, emosiku memuncak. Spontan kukatakan begini, "Siapa pun yang melamarku dengan mas kawin sepeda motor enreyen akan kuterima sebagai suamiku!"

Tahu tidak? Di dalam rumah indekos, di ruang tamu, ada seseorang yang mendengar kata-kataku itu dan dua minggu kemudian langsung datang ke desa untuk melamarku! Dibawakanlah aku sebuah sepeda motor gres! Enreyen!

Jadilah, aku menikah dengan orang itu. Jodoh yang dikirim Tuhan secara mendadak dan setia menemaniku hingga saat ini. Kami sudah menikah 46 tahun dengan hadiah istimewa: tiga jagoan permata hati yang luar biasa! Sementara, sang mantan telah berpulang ke keabadian saat awal pandemi silam.

Aku yang asli anak desa dengan ambisi besar dan cita-cita tinggi ini selulus kuliah langsung bekerja dengan prinsip kerja, kerja, dan kerja. Aku dan suami yang sama-sama berprofesi sebagai guru. Kami tidak kenal lelah dan tidak peduli waktu. Kami berdua mengajar di beberapa tempat. Jika pagi di sekolah, sore hingga malam kami menjadi guru les. Selain ikut di yayasan bimbingan belajar, juga secara privat mendatangi siswa dari rumah ke rumah. Hal itu kami lakukan karena menyadari tiga jagoan kami memiliki kemampuan akademis luar biasa. Kami ingin memberikan fasilitas belajar bagi mereka agar meraih cita-cita setinggi mungkin.

Singkat kata, ketiga jagoan masing-masing kini telah mapan. Tuhan memberikan profesi luar biasa kepada mereka bertiga. Lulus strata satu dengan cum laude sehingga sulung dan bungsu berkesempatan belajar berbeasiswa hingga mancanegara. Bersyukur kepada Allah yang berbelas kasih sehingga menata ketiganya secara tiada terkira. Sungguh anugerah yang sangat membahagiakan dan membanggakan.

Seandainya sulung tidak membelikan tiket kepada kami berdua, tentulah kami tidak akan pernah merasakan nikmat mengendarai pesawat udara. Ketika boarding, kami berdua justru menangis terharu.  Syukur kepada Allah semata! Sulung pun memberikan kesempatan kepada kami untuk tinggal menginap semalam di hotel berbintang di ibu kota dengan fasilitas kantornya. Ini pun bukan kaleng-kaleng. Kami berdua bersujud syukur, tersungkur bertelut di hadapan Allah yang  bertahta di surga.

Putra kedua juga sangat care dan perhatian kepada kami kedua orang tuanya. Ia telah menduduki kursi lumayan tinggi sebagaimana kakak sulungnya. Demikian pula si bungsu yang masih belum pulang. Ia masih berkutat dengan penelitian untuk memperoleh gelar strata tiga berbeasiswa di mancanegara.

Pokoknya, kami benar-benar menikmati masa tua dengan penuh perhatian dari anak, menantu, dan cucu yang menyayangi kami. Prinsip yang kupegang dari almarhum ayah kandung tetap kugenggam erat: keutuhan keluarga adalah harta istimewa.

Terpujilah Allah kekal selama-lamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun