"Oh, ayo ...!" Ayusti yang dipanggil Bu Yus segera menggelandang Ami menuju kamar tidur.
Segera dikuncilah kamar tidur itu. Setelah napas Ami tertata, dengan sabar Ayusti memberinya minum terlebih dahulu. Ami pun menceritakan segala sesuatu yang didengar secara tidak sengaja di rumah kecil sang majikan. Ami menceritakan detail, tetapi tidak hafal suara siapa saja yang telah didengar.Â
Hanya suara besar, suara lantang, dan suara cempreng yang didengar dan tak dikenali suara sesiapa. Dia mendengar kata Ganyong, Genthong ... secara sayup saja dan tidak tahu-menahu siapa yang dimaksudkan.
"Hmmm ..., ternyata mereka memang sudah merencanakan hendak membuat keluarga kita cures! Mereka ingin membabat habis keturunan Darman!Â
Padahal, masih berkerabat dekat! Semoga Allah membantu kita menyelamatkan diri, menolong, dan menyelamatkan kita sekeluarga. Kalau demikian, mau tidak mau kita harus segera berbenah meninggalkan rumah ini. Tidak  bisa tidak! Kita harus mendahului mereka!" suara Nugroho bergetar.
"Mas, jadi ... apa yang harus kita lakukan?"
"Ya, kita harus bersiap-siap. Masukkan segala sesuatu yang penting ke dalam koper. Punyaku, punyamu, punya anak-anak. Paling tidak masing-masing satu koper. Aku akan berkoordinasi dengan sopir dulu!"
"Ami. Kalau kamu mau ikut kami, silakan segera kemasi barang-barangmu tanpa suara. Subuh ini kita akan berangkat. Yang penting nyawa kita selamat, Ami! Kita berdoa semoga Tuhan Allah berpihak kepada kita. Kamu semobil dengan anak-anak. Nanti kita pikirkan langkah selanjutnya!"
Ami mengangguk masih gemetaran, "Ss-sa-saya siap, Tuan. Ami ikut ke mana pun Tuan pergi!"
"Ya, Ami. Ke tanganmulah kami titipkan kedua putra putri kami! Bersediakah kamu?"
"Sendiko dhawuh!" jawab abdi setia itu menyanggupi dengan embun di ujung mata.
"Aku harus membela yang benar!" begitu pikirnya.
***