"Oke. Segera cari kendaraan sewa buat eksekusi! Sekarang, bubar! Lusa koordinasi lagi. Paham?"
"Jadi, siapa yang melakukan? Ganyong? Genthong? Atau siapa?" suara cempreng terdengar lantang juga.
"Nanti kukomando. Jangan banyak cingcong!" suara serak-serak basah terdengar marah. Â
Selanjutnya suara langkah kaki menjauh dan lengang. Tidak  terdengar pembicaraan lagi. Ami membeku di pojok kamar mandi. Sangat beruntung, kawanan penjahat itu tidak ada yang masuk ke toilet. Mungkin, seandainya ada yang masuk, Ami akan dibantai sebab telah menjadi saksi pembahasan mereka. Tubuh Ami masih menggigil ketakutan, bibirnya membiru bergemetaran.
Sekitar satu jam sejak peristiwa menggetarkan itu, perlahan-lahan Ami keluar dari rumah yang membuatnya hampir mati lemas tersebut. Dia  mengendap-endap sebab situasi memang sangat lengang. Sebenarnya, tadi Ami berangkat sebelum magrib. Dia  ke warung seberang untuk membeli obat sakit kepala dan obat sakit perut karena di kotak P3K tidak ditemukannya lagi. Sayang, dia harus mengalami peristiwa mendebarkan.
Sesampai di rumah juragan muda sekitar empat ratusan meter dari rumah yang disinggahinya tadi, dengan tergopoh-gopoh dia mencari juragan perempuan.
"Bu Yus ... Bu Yus!" seru Ami mencari-cari istri juragan mudanya.
Di dapur, di ruang tamu, tidak ditemukannya. Ami beralih ke teras belakang, melihat kedua juragannya sedang duduk-duduk di sana segera ia mendekati.
"A-aa-anu ... ss-sa-saya mohon ... Ba-bapak, Ibu ba-bawa saya ke kamar A-anda se-sekarang juga!" pintanya gemetaran.
"Kamu kenapa, Ami? Ada apa?" selidik Nu sang juragan muda itu terheran-heran.
"Pe-penting! Se-sekarang!" tuturnya terbata-bata masih bergemetaran.