"Ya, Allah ... berarti berusia dua bulan?"
"Iya, berhasil 'kan?" Anye tampak sangat bahagia.
Jalu lumayan kaget dan cukup kebingungan. Bagaimana kalau ditanya statusnya? Padahal hubungan mereka belum sah, tetapi sudah seperti suami istri.
Namun, di depan Anye dia harus tegar. Berusaha sekuat tenaga jangan sampai raut berubah. Tidak boleh Anye sedih atau bingung sehingga tidak berpengaruh terhadap makhluk mungil yang sengaja sudah mereka undang untuk menghuni rahim. Darah daging buah cinta mereka! Aduhai .... Merinding seluruh bulu kuduknya. Sedahsyat itu karya Allah!
Jalu yang semula menggebu-gebu mengatakan bahwa siap memiliki buah hati, ternyata keder juga setelah hal itu benar-benar terjadi. Bagaimana dia harus berkabar kepada kedua orang tuanya, sementara sidang skripsi pun baru digelar bulan depan. Ah, ....
Ketika Anye tersenyum manis dengan bangga mengatakan bahwa dirinya berbadan dua, justru Jalu yang merasa kacau dan menjadi pusing kepala.
"Mas," panggil Anye yang lumayan mengagetkan.
Jalu tergagap, "Ya?"
"Aku ingin tinggal di sini. Kamu harus tahu perkembangannya!"
"Iya, iya!"
Mulut Jalu mengatakan iya, tetapi hati bagai dirobek-robek. Relasi Jalu dengan keluarga yang biasa akrab dan terbuka, untuk masalah yang satu ini masih belum memiliki akses lancar.  Dia  sangat bingung karena belum mengemukakan kepada kedua orang tua kalau sudah memiliki pacar dalam waktu sesingkat itu. Kemudian, mereka pun telah berseraga sehingga mengakibatkan Anye berbadan dua. Bagaimana dia akan mengabarkannya? Akankah keluarga bisa menerima kondisinya sebagai calon ayah? Ah, ....
Cepat atau lambat mereka memang harus melapor agar kedua orang tua tahu. Karena itu, Jalu bertekad harus segera ke dokter untuk memastikan kondisi Anye. Kemudian, berdasarkan keterangan dokter itulah mereka berdua sesegera mungkin akan melapor kepada orang tua dan meminta dinikahkan. Ya, sebelum tanda kehamilan Anye kian besar. Apa pun risikonya harus diterima, bukankah berani berbuat harus pula berani bertanggung jawab?