"Ya, aku setuju."
"Kau jangan memulai memanas-manasi aku, dong!" rajuk Anye manja. "Kau kan tahu kalau aku juga ikut mudah terpancing! Makanya aku menghindari punya pacar dan berpacaran! Tetapi ...."
"Hehehe ... tetapi akhirnya kamu merasakan juga enaknya berpacaran 'kan? Sempat kangen dan memimpikan aku, nggak? Jujur!" Jalu mengangkat dagu Anye dan menatap manik netranya dalam-dalam.
"Menurutku ... mengalir sajalah! Tak apa. Kita sudah cukup dewasa. Kita juga punya kebutuhan khusus akan hal itu. Nggak ada yang menyalahkan! Kalau misalnya terjadi, ya terjadi sajalah apa yang akan terjadi!" sambut Jalu berdiplomasi.
"Kamunya sih enak, lelaki! Lah, kalau aku? Tubuhku ini pasti bisa berubah total, lalu segala sesuatunya pasti akan berubah dan berpengaruh bagi banyak hal!"
"Ya, enggaklah. Bukan hanya aku! Pastinya kita harus sama-sama enak. Lagian jika diberi kesempatan berbadan dua itu anugerah yang tidak diberikan bagi setiap wanita, loh! Kalau kamu berhasil, berarti kamu wanita terpilih!"
"Ya, iya, sih ... tapi, ya jangan sekarang-sekarang dulu! Harus diprogram juga, 'kan?"
"Kenapa takut, sih? Aku pasti akan bertanggung jawab, kok!"
"Bukan masalah tanggung jawab. Yang terutama itu kesiapan mental! Kalau belum bekerja kita nikah, kasihan orang tua kita dong! Saat ini dunia lagi terserang krismon seperti ini, kita harus benar-benar piawai mengatasinya, 'kan?"
"Hmm, iya benar! Pejabat yang di atas sana mah enak. Rakyat kecil menjerit, mereka enggak tahu!" ujar Jalu sebel.
"Nah, itu tahu! Maka, menurutku pacarannya dibatasi. Paling jauh, ya nggak jauh-jauh amat aja!"