"Maafkan aku!" lirihnya dengan suara sendu.
Tatap netra begitu manis seolah kanak-kanak sedang merajuk mengharap air hidup pada sang bunda. Anye hanya mengangguk. Sibuk mengatur napas menurunkan suhu panas yang membara di dada dan kepala. Keduanya saling bertatap netra.
"Stop! Ja-jangan lanjut!" rajuk Anye tersengal menghentikan.
"Kita belum boleh melakukan. Kamu janji akan jaga kehormatanku sampai hari H tiba, kan?" lanjut Anye terbata-bata menata napas.
Jalu mengangguk paham sambil menyungging senyum sangat menawan.
"Terus terang, sejujurnya aku sudah tidak tahan. Aku mau kita menikah dulu, Anye! Aku takut tak kuat menahan diri bila berada di dekatmu!" ujarnya begitu tenang.
"Kita belum memiliki pekerjaan, Jalu. Kamu harus lulus dulu, lalu mencari pekerjaan sehingga ada pemasukan yang bisa kita andalkan. Aku juga begitu. Kalau saat ini aku belum berani mencari pekerjaan karena masih penelitian. Jika semester ini beres, semester depan selesai, aku siap mencari kerja dan sekaligus mendampingimu. Jadi, paling tidak masih ada satu semester yang harus kita hadapi untuk tidak melakukan hal ceroboh!" urai Anye.
"Kalau aku harus berbadan dua sebelum kamu memperoleh pekerjaan, dengan apa kita memberikan nutrisi terbaik buat buah hati?" lanjutnya.
Jalu mengangguk-angguk pasrah.
"Aku siap, Jalu! Tapi ada syarat yang harus kamu penuhi, yakni nafkah halal buatku. Bagaimana? Sanggup?" tantang Anye.
"Ya, aku sanggup!" tegas Jalu. "Setelah semester ini sidang, aku akan segera mencari pekerjaan dan selanjutnya ... kalau aku dapat pekerjaan, kita langsung menikah!"
"Baiklah. Kita saling mengingatkan agar tidak lepas kendali!"