Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengundang Kenangan tentang Kakek

22 Juni 2024   19:37 Diperbarui: 22 Juni 2024   20:25 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah background kakek nenekku yang masih kucatat dan kuingat di memori otakku.


***  

Aku suka sekali tidur sekamar dengan kakek, terutama jika nenek sedang bepergian. Ya, nenek sambungku hobi banget bepergian karena beliau memang aslinya pedagang. Jika beliau pergi ke Makassar, ke rumah keponakannya, tentulah dengan membawa tiga empat kodi batik tulis sebagai barang dagangan. Nanti pulang dari Makassar beliau membawa ikan kering yang sangat besar dan akan dipotong-potong untuk dijual kembali. Pelanggan nenek banyak sekali karena ikan itu memang sangat enak.

Selain ke Makassar, nenek juga sering pergi ke Bali dengan membawa dagangan, khususnya bra. Saat aku masih kecil, wanita di Bali biasa tanpa bra. Dengan berdagang bra model kuno, nenekku akan memperoleh keuntungan lumayan besar. Bra tersebut dibuat secara manual home made oleh penjahit langganan di Desa Ketanon, sekitar sepuluh kilometer dari rumah.

Pulang dari Bali, nenek membawa dagangan juga, misalnya sarung atau tenun khas Bali. Demikianlah mata pencaharian nenekku. Sementara kakek adalah pensiunan kepala sekolah. Beliau pensiun tepat ketika aku masuk usia sekolah.

Sebelum pensiun, kakek selalu mengendarai sepeda kayuh menuju tempat tugasnya yang berada di lereng Gunung Wilis. Berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul lima pagi. Jarak sepanjang 17 kilometer tersebut ditempuh dalam waktu sekitar lebih kurang satu jam. Kalau berangkat, berarti jalanan menanjak naik tentu saja lebih lambat dibanding saat pulang, turun gunung. Melewati Waduk Wonorejo dan Ranu Gumbolo hutan yang lumayan lebat.

Sebagai kepala Sekolah  Rakyat (SR) sebelum berubah menjadi SD, kakek termasuk sosok yang disegani masyarakat. Oleh karena itu, ada beberapa putra daerah yang Kakek sekolahkan di SMP swasta dekat rumah. Setidaknya yang kuingat empat atau lima orang. Dengan demikian banyak anak muda yang berada di rumah. Selain murid dan beberapa guru yang memang indekos juga beberapa anak yang ndherek, nyantrik, alias ngenger. Setamat sekolah anak-anak tersebut akan disalurkan ke saudara-saudara yang sudah 'jadi orang' dan memiliki usaha. Dengan demikian ke depannya akan menjadi tenaga kerja yang bisa diandalkan. Paling tidak lebih baik daripada kalau tetap stay di kampung halaman.

Ketika usia prasekolah, zaman itu belum ada Taman Kanak-kanak, aku selalu diajak Kakek yang kupanggil 'bapak' dengan mengendarai sepeda onthel-nya. Aku duduk di kursi mungil yang khusus dibuat untukku. Terbuat dari rotan dan dikaitkan dengan setang. Jadi, aku berada di setang dengan santai. Selama dalam perjalanan, aku sering menanyakan ini itu yang konon membuat perjalanan tak terasa. Hanya kalau berangkat dan jalanan menanjak, sering kakek harus menuntun sepedanya.

Sesampai di sekolah, aku menjadi murid pupuk bawang, penumpang gelap alias illegal. Namun, aku sama sekali tidak pernah mengganggu jalannya pelajaran. Aku justru banyak belajar, terutama membaca dan menulis. Bahkan, tatkala di rumah pun aku menjadi objek bagi para guru dan siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan KPG (Kursus Pendidikan Guru) yang indekos di rumah untuk menjadi murid model. Jadi, sebelum sungguh-sungguh bersekolah aku sudah pandai calistung, baca tulis berhitung.

Jika malam tiba, aku selalu tidur bersama kakek, terutama kalau nenek sedang tidak berada di rumah. Kakek sering mendongeng dan menasihati hal-hal penting buatku. Salah satu dongeng favoritku adalah Damarwulan Ngarit. Kakek menceritakannya secara bersambung. Bahkan dengan intonasi sebagaimana seorang dalang. Layaknya mendengarkan sandiwara radio Tutur Tinular yang pernah berjaya di era tahun 80-an.

Yang kupetik dari dongeng itu adalah untuk menjadi sukses, seseorang harus mengalami tempaan hidup secara luar biasa. Makin keras tempaan yang diterima, akan makin melambung dan melenting lebih tinggi. Dari ngenger ikut nebeng hidup dan hanya diberi tugas ngarit alias merumput buat makanan kuda sang juragan, Damar Wulan memperoleh kesempatan menumpas penjahat negara. Namun, fitnah keji karena iri hati pihak lawan pun harus dijalaninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun