Mengundang Kenangan tentang Kakek
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Masih kuingat jelas. Postur tubuhnya tinggi semampai kisaran 180 cm. Wajahnya tirus dengan hidung mancung khas ras Eropa. Kegemarannya mengenakan udheng atau ikat kepala handuk hingga mirip tampilan Pangeran Diponegoro. Beliau ini terkenal sangat tampan pada masanya sehingga tidak heran kalau banyak wanita tergila-gila.
Bagaimana tidak? Wajah kebule-bulean begitu sangat langka, bahkan hingga masa sekarang bukan? Yang kuingat setidaknya ada lima saudara beliau yang sempat kukenal. Ya, kakekku sulung dari lima bersaudara. Wajah bulenya itu konon warisan dari kakeknya yang memang seorang opsir Belanda. Jadi, darah blasteran itulah yang membuat wajah kakek dan keturunannya rata-rata sangat rupawan. Hehehe ... jujurly, tidak terkecuali aku, loh!
Kakekku bernama Tjipto Darsono, ya tentu saja dengan ejaan Van Ophuijsen begitu, karena beliau lahir tahun 1903. Adik lelakinya bernama Tjipto Widjojo saat aku kecil, beliau ini stay di Pringsurat, Secang, Magelang. Tampilannya mirip banget. Hanya, karena kesehariannya petani jadi kurang terurus. Tidak senecis tampilan kakekku itu. Lalu adik ketiga, keempat, dan kelima adalah perempuan. Aku tak tahu nama panjang beliau dan hanya memanggil biasa Lik Tun, Lik Kat, dan Lik Yem.
Putri ketiga merupakan putri paling cantik. Wajahnya mirip banget dengan kedua kakaknya. Bule, kebelanda-belandaan sehingga dijuluki Londo. Wajah Lik Kat masih ada sedikit bule, tetapi juga campuran Jawa. Fifty fifty. Sementara, si adik bungsu, Lik Yem, seratus persen wajah khas Jawa. Sangat jauh berbeda dengan kakak pertama hingga ketiga.
***
Sejak kecil aku tinggal bersama kakek nenekku tersebut. Kakek dari pihak ibu, tentunya. Sementara, nenekku adalah nenek sambung. Ya, kakek memiliki tiga istri, katanya yang tercatat sih, selain selir-selirnya.
Ahahaha ... rupanya karena wajah tampan bule itu cukup membuat klepek-klepek lawan jenis. Istri pertama memiliki seorang putri berwajah cantik masih membawa wajah khas kakek: bule. Istri kedua memiliki lima putri yang juga cantik-cantik tentunya. Sayang, nenek ini wafat tatkala melahirkan putri bungsunya. Nah, ibuku adalah putri sulung dari istri kedua kakekku ini.
Karena istri kedua wafat, kakek pun menikah lagi dengan nenek sambung, seorang janda kaya raya. Suami pertama nenek sambungku ini berdarah Tionghoa dengan kekayaan lumayan banyak, berupa tanah bekas pabrik krupuk dan mi di zaman Belanda. Konon mantan suami nenek sambung yang peranakan Tionghoa ini diculik oleh tentara Gurkha pada perang kemerdekaan dan hilang, entah dimakam di mana tak terdeteksi.
Seingatku, jika naik kereta api Malang Surabaya dan melewati stasiun Lawang, nenek sambungku pasti akan menangis dan berdoa dengan caranya sendiri. Nenekku ini memang lumayan taat beribadah sesuai keyakinannya. Sementara, kakekku menganut ilmu kejawen.
Nah, aku masuk dalam kehidupan kakek bersama nenek sambung ini dan dianggap sebagai anak ragil. Sementara, adik kelima dari ibu kandungku tidak diasuh oleh nenek sambung, tetapi oleh keluarga dari pihak nenek yang istri kedua kakek. Ya, bibiku, tepatnya adik bungsu ibuku itu hanya kadangkala datang ke rumah kami. Jadi, gegara nenek istri kedua kakekku wafat, ibuku dan adik-adiknya yang lain semburat, ikut saudara-saudara yang lain.
Inilah background kakek nenekku yang masih kucatat dan kuingat di memori otakku.
***
Aku suka sekali tidur sekamar dengan kakek, terutama jika nenek sedang bepergian. Ya, nenek sambungku hobi banget bepergian karena beliau memang aslinya pedagang. Jika beliau pergi ke Makassar, ke rumah keponakannya, tentulah dengan membawa tiga empat kodi batik tulis sebagai barang dagangan. Nanti pulang dari Makassar beliau membawa ikan kering yang sangat besar dan akan dipotong-potong untuk dijual kembali. Pelanggan nenek banyak sekali karena ikan itu memang sangat enak.
Selain ke Makassar, nenek juga sering pergi ke Bali dengan membawa dagangan, khususnya bra. Saat aku masih kecil, wanita di Bali biasa tanpa bra. Dengan berdagang bra model kuno, nenekku akan memperoleh keuntungan lumayan besar. Bra tersebut dibuat secara manual home made oleh penjahit langganan di Desa Ketanon, sekitar sepuluh kilometer dari rumah.
Pulang dari Bali, nenek membawa dagangan juga, misalnya sarung atau tenun khas Bali. Demikianlah mata pencaharian nenekku. Sementara kakek adalah pensiunan kepala sekolah. Beliau pensiun tepat ketika aku masuk usia sekolah.
Sebelum pensiun, kakek selalu mengendarai sepeda kayuh menuju tempat tugasnya yang berada di lereng Gunung Wilis. Berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul lima pagi. Jarak sepanjang 17 kilometer tersebut ditempuh dalam waktu sekitar lebih kurang satu jam. Kalau berangkat, berarti jalanan menanjak naik tentu saja lebih lambat dibanding saat pulang, turun gunung. Melewati Waduk Wonorejo dan Ranu Gumbolo hutan yang lumayan lebat.
Sebagai kepala Sekolah Rakyat (SR) sebelum berubah menjadi SD, kakek termasuk sosok yang disegani masyarakat. Oleh karena itu, ada beberapa putra daerah yang Kakek sekolahkan di SMP swasta dekat rumah. Setidaknya yang kuingat empat atau lima orang. Dengan demikian banyak anak muda yang berada di rumah. Selain murid dan beberapa guru yang memang indekos juga beberapa anak yang ndherek, nyantrik, alias ngenger. Setamat sekolah anak-anak tersebut akan disalurkan ke saudara-saudara yang sudah 'jadi orang' dan memiliki usaha. Dengan demikian ke depannya akan menjadi tenaga kerja yang bisa diandalkan. Paling tidak lebih baik daripada kalau tetap stay di kampung halaman.
Ketika usia prasekolah, zaman itu belum ada Taman Kanak-kanak, aku selalu diajak Kakek yang kupanggil 'bapak' dengan mengendarai sepeda onthel-nya. Aku duduk di kursi mungil yang khusus dibuat untukku. Terbuat dari rotan dan dikaitkan dengan setang. Jadi, aku berada di setang dengan santai. Selama dalam perjalanan, aku sering menanyakan ini itu yang konon membuat perjalanan tak terasa. Hanya kalau berangkat dan jalanan menanjak, sering kakek harus menuntun sepedanya.
Sesampai di sekolah, aku menjadi murid pupuk bawang, penumpang gelap alias illegal. Namun, aku sama sekali tidak pernah mengganggu jalannya pelajaran. Aku justru banyak belajar, terutama membaca dan menulis. Bahkan, tatkala di rumah pun aku menjadi objek bagi para guru dan siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan KPG (Kursus Pendidikan Guru) yang indekos di rumah untuk menjadi murid model. Jadi, sebelum sungguh-sungguh bersekolah aku sudah pandai calistung, baca tulis berhitung.
Jika malam tiba, aku selalu tidur bersama kakek, terutama kalau nenek sedang tidak berada di rumah. Kakek sering mendongeng dan menasihati hal-hal penting buatku. Salah satu dongeng favoritku adalah Damarwulan Ngarit. Kakek menceritakannya secara bersambung. Bahkan dengan intonasi sebagaimana seorang dalang. Layaknya mendengarkan sandiwara radio Tutur Tinular yang pernah berjaya di era tahun 80-an.
Yang kupetik dari dongeng itu adalah untuk menjadi sukses, seseorang harus mengalami tempaan hidup secara luar biasa. Makin keras tempaan yang diterima, akan makin melambung dan melenting lebih tinggi. Dari ngenger ikut nebeng hidup dan hanya diberi tugas ngarit alias merumput buat makanan kuda sang juragan, Damar Wulan memperoleh kesempatan menumpas penjahat negara. Namun, fitnah keji karena iri hati pihak lawan pun harus dijalaninya.
Kekerasan, kehinaan, dan berbagai kesulitan hidup harus diterima seolah kawah candra dimuka untuk menempa mental spiritualnya. Akhirnya, masa berjaya itu pun tibalah. Damar Wulan dinobatkan menjadi pejabat negara.
Nilai didaktis yang kuperoleh dari dongeng kakek ini antara lain adalah keberanian, ketulusan, tanggung jawab, dan kerja keras untuk mencapai cita-cita. Kisah itulah yang kupegang hingga aku pun tidak goyah manakala mendapatkan bom hatag (hambatan, tantangan, gangguan, dan ancaman) dalam meraih cita-cita. Sama seperti Damar Wulan, aku pun merasakan pedih dan sedihnya dihina dan ditimpa berbagai kesulitan.
Cerita kakek sangat menguatkan hati, iman, dan mentalku dalam meraih mimpi dan menggapai cita-cita. Itulah kenang-kenangan yang tak terlupakan dari sosok kakek. Bahkan, kegemaran beliau bercocok tanam pohon keras berupa pohon buah-buahan langka pun menular dan menurun padaku.
Masih kuingat saat kakek menjolok jeruk bali di depan rumah. Pohon sarat buah itu pernah menjadi sumber petaka karena kepala kakek kejatuhan buah jeruk bali besar hingga pingsan. Untuk mengenang kakek, aku pun menanam pohon yang sama. Bukan pohon jeruk bali, melainkan jeruk pamelo bonsai sehingga tidak menjulang tinggi. Bahkan, ada juga kutanam durian, duku, langsat, rambutan, sirsak, mangga, alpukat, klengkeng, dan amazon. Walaupun tinggal di kota, aku tetap mempertahankan nuansa desa sehingga banyak orang kagum juga.
"Nuansa desa di tengah kota!" tutur beberapa teman yang bertandang ke rumah.
Jika buah amazone sedang masak, warna jingga dan rasa manisnya mengundang kawanan kutilang dan trocokan liar datang bertandang. Demikian juga tekukur dan perkutut liar yang selalu kusiapi taburan nasi kemarin di halaman. Sungguh, seolah masih terdengar sayup siul Kakek memanggil dan menanggapi kicau burung liar kesukaan kakek itu. Perkutut terutama. Nah, kalau terdengar suaranya di atap rumah, pastilah aku merinding dibuatnya. Seolah perkutut klangenan kakeklah yang sedang manggung kung alias berkicau dengan suara empuk di sekitaran rumahku.
Ya, aku menghidupkan nostalgia masa lalu dengan menghadirkan apa yang digemari kakek.
Kata nenek sebelum berpulang, "Siapkan apa yang disukai bapakmu, pasti beliau berkenan mengunjungimu!"
Aku sih enggak seratus persen percaya dengan hal klenik, tetapi mengundang kenangan seperti itu cukup membahagiakan.
Sekadar mengobati rasa rindu akan rumah di desa, khususnya almarhum kakek di masa lalu. Ya, menghidupkan kenangan dengan caraku: menuliskan kenangan itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H