Mematahkan Belenggu Cinta
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Bunga ...!" teriaknya sambil mengejar mobil Bunga yang baru saja meninggalkan ruang parkir.
Akan tetapi, Bunga tidak menghentikan kendaraannya. Mobil putih itu melaju cukup kencang sehingga Fritz tidak dapat mengejarnya.
Bunga, gadis manis itu baru saja menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswi fakultas kedokteran. Sebentar lagi akan mengikuti wisuda untuk gelar S.Ked-nya, tetapi tentu saja ia masih harus menambah sekitar dua tahun lagi untuk menyelesaikan coas.
Sejak dua semester belakangan, antara Bunga dan Fritz terdapat ikatan khusus sehingga hari-hari mereka dihiasi senyum dan tawa ceria. Namun, ada kendala yang membuat mereka harus berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius. Oleh karenanya, Bunga tidak bersedia bertemu lagi setelah dua hari lalu kekasihnya mengatakan bahwa orang tuanya kurang  merestui hubungan mereka. Ada pendar kecewa terlintas dalam bola netra Bunga sesaat dilihatnya Fritz beberapa puluh meter di depannya. Bunga pun segera menghindar dengan sengaja menuju kendaraan dan memacu secepatnya.
Bunga Auristela, seorang gadis cerdas, salah satu putri pengusaha dan pemilik perkebunan kelapa sawit terkenal itu diizinkan berkuliah di Pulau Jawa hingga sang Mama rela ikut menemaninya. Sementara Bintang Perdana Putra, kakak sulung Bunga sedang berkuliah di ibu kota. Sang Papa membelikan masing-masing sebuah rumah kepada kedua putra putri kesayangan tersebut di dekat kampus agar memudahkan mereka melaksanakan perkuliahan.
Karena prestasi akademik Bintang dan Bunga sangat cemerlang, keduanya masuk fakultas kedokteran pada universitas negeri terbaik di negeri ini. Hanya saja tempat dan universitasnya berbeda. Jika Bintang sudah menyelesaikan tugas coas-nya, Bunga bulan depan akan memulainya. Â Kedua mereka sangat rukun, ramah, dan santun sehingga banyak orang tua merasa iri kepada Papa Mamanya.Â
Harta berlimpah, anak-anak rupawan, pintar, santun, dan sangat membanggakan. Tidak mengherankan jika keluarga ini menjadi anutan keluarga lain karena di antara mereka saling menyayangi satu sama lain.
Paling tidak sebulan sekali mereka menjadwalkan pertemuan anggota keluarga lengkap. Kadang pertemuan dilakukan di kota tempat Papa bertugas, kadang di Jawa Timur tempat Bunga berkuliah, dan tidak jarang di Jawa Barat tempat Bintang berkuliah. Adapun Mama bergilir berada di rumah Papa di luar Jawa dan di tempat Bunga sedang berkuliah. Papa pun berputar di tiga rumah agar putra putrinya merasakan kasih sayang orang tua.
Sebenarnya, Fritz sangat menyayangi Bunga. Namun, orang tua Fritz menginginkan agar anak semata wayangnya itu melanjutkan kuliah di luar negeri. Padahal, Fritz ingin segera mempersunting pujaan hatinya itu. Kalaupun harus berkuliah di luar negeri, Fritz ingin sudah mengakhiri masa lajangnya dengan kekasihnya itu.
Pemuda blasteran itu sudah mengemukakan keinginan orang tuanya kepada Bunga sehingga membuatnya menangis. Bunga tidak bisa menghalangi rencana orang tua Fritz untuk menahan anaknya itu tetap tinggal di Indonesia. Itulah mengapa hatinya sangat sedih dan galau. Ketika diketahui gelagat orang tua yang seolah menghalangi percintaan mereka, Bunga pun limbung.
Bunga menghentikan kendaraannya di tempat parkir sebuah caf. Dipilihnya tempat strategis, tempat mereka berdua terbiasa duduk menghabiskan akhir pekan. Bunga menyeka tirta netra yang mengalir tak terbendung dengan tissue yang diambil dari dalam hand bag-nya. Â Dipesannya secangkir kopi latte capucino dan kudapan ringan sesuai yang tertera pada daftar menu.
Arloji di pergelangan tangannya menunjukkan pukul dua siang. Â Tetiba notifikasi gagetnya berbunyi. Dibukanya aplikasi hijau. Ternyata Bintang mengirimkan pesan bahwa ia dan dua temannya barusan mendarat di bandar udara. Mereka hendak tinggal berakhir pekan dan bermaksud mengunjungi tempat wisata. Padahal, Mama kemarin ke rumah Papa di luar Jawa.
"Ah, Kakak nih ya ... nggak memberiku kesempatan beristirahat, ya!" gumam Bunga kesal. Bunga ingin beristirahat. Dia sungguh merasa lelah. Hubungan dengan kekasih sedang tidak baik-baik saja pula.
Beberapa saat kemudian, telepon pun berdering.
"Hi, Dik ... kamu di mana?"
"Sedang di caf, Kak ... Kakak langsung ke sini saja bagaimana?"
"Ok ... Â share lok ya ... agar Grabcar-nya mudah menemukan lokasi!"
Sekitar satu jam kemudian, Bintang tiba disertai dua orang teman. Mereka bertiga tampak gagah, ganteng, cerdas, dan berwibawa. Aura dokter sangat tampak pada penampilan mereka. Perfect!
"Nih, kenalkan ... adikku ...," Bintang memperkenalkan adiknya kepada kedua sahabat baiknya itu.
"Waw ... luar biasa ...," puji Rindang, "kalian berdua nih bagai pinang dibelah dua saja ...!" lanjutnya.
Dengan tersenyum Bunga menjabat tangan kedua sahabat kakaknya. Setelah memperkenalkan diri, mereka berempat segera memesan makanan mengingat kakak dan dua temannya baru datang dari perjalanan jauh. Ketika perut sudah kenyang, Bunga pun segera mengajak mereka pulang. Arlojinya menunjuk pukul lima sore.
Bunga segera menyetir kendaraannya mengangkut ketiga penumpang tersebut menuju rumah mungilnya agak di luar kota. Daerah tersebut merupakan pengembangan wilayah sehingga masih lumayan sepi. Sementara jalan mulus dipersiapkan sebagai jalan alternatif menuju arah daerah wisata. Jika week end  tiba, kendaraan yang berlalu lalang lumayan ramai.
Ketika Bunga hampir sampai di perumahan tempat tinggalnya, kedua sahabat Bintang berdecak kagum dan menggeleng-gelengkan kepala. Keduanya kagum akan pemandangan yang disuguhkan di daerah menuju perumahan tempat Bunga tinggal. Sementara di ujung barat daya, tampak aura swastamita yang menyiratkan jingga pada langit senja.
"Wah ... rumah yang cukup indah. View-nya sungguh luar biasa memesona," puji Made Artana salah seorang sahabat Bintang yang asli putra Bali. "Aku sangat suka ...," lanjutnya berdecak kagum.
"Ya, Bli. Arsiteknya memang orang Bali sehingga interior eksteriornya kental dengan budaya Bali ... Nama kompleks pun Graha Dewata, kan?" jelas Bunga detail.
Di sepanjang jalan menuju rumah, pohon tabebuya mirip sakura itu sedang memamerkan kuntum warna-warninya. Ada yang kuning, putih, dan pink. Ada juga beberapa pohon bungur ungu dan putih yang sedang memamerkan mahkota bunga. Bungur ini hampir mirip dengan tabebuya sehingga praktis tepi jalan tersebut tampak sangat asri. Aroma wangi pun merambah menjelajah radius beberapa meter sehingga berjalan melalui jalanan itu seakan sedang mengikuti aroma terapi yang menentramkan jiwa.
"Di sini Bunga ... di sana bunga ... di mana-mana ada bunga ...," senandung Bunga yang merdu membuat lelah kedua sahabat kakaknya sirna.
"Ya, apalagi ada tempat ibadah lengkap yang mencerminkan ke-Bhineka Tunggal Ika-an. Di lereng pegunungan dengan suasana asri dan adem, sungguh idaman saya sejak lama," imbuhnya sambil menikmati senja sebelum malam yang mulai turun.
Terdengar suara katak di kolam yang lumayan besar. Di tengah kolam tersebut dihiasi patung anak kecil sedang kencing dikelilingi beberapa helai daun teratai raksasa. Beberapa patung katak tersebar di sana sini di sela-sela lampu kolam berpendar berkelap kelip. Ada pula jembatan kecil yang melengkung meninggi menghubungkan tengah kolam berbentuk angka delapan itu.
"Ck ... ck ... ck, selera artistik sang insinyur sungguh patut diacungi jempol!" teriaknya ketika melihat suguhan kolam di depan gapura  masuk kompleks perumahan elite itu.
Tepat pukul 18.05 mereka sampai di rumah Bunga. Beruntung Bunga mempersiapkan berbagai makanan lewat grabfood sehingga setelah tamunya mandi dan beristirahat di teras rumah, mereka bisa menikmati makanan yang tersedia.
"Kapan Mama datang, Dik?" tanya Bintang, "Kok tiba-tiba saja nengok Papa," lanjutnya.
"Paling lusa ke rumah ini. Kan Kakak di sini sekarang. Memang rencananya Kakak pulang ke sini berapa hari, nih?"
"Lusa kami ingin ke Bali," jawabnya.
"Wah ... kalau saja aku diizinkan ikut ...!" sahut Bunga.
"Bagaimana, bolehkah adikku ikut?" tanya Bintang kepada dua sahabatnya itu. Mereka hanya berpandangan sambil tertawa.
"Wah, gagal dong rencana kita!" sambut Rindang.
"Rencana apaan sih?" selidik Bunga.
"Rencana para lelaki tampan ... ha ...ha ... ha!" sambung Bintang. Mereka pun tertawa mendengarnya. Bunga manyun mendengar seloroh ketiga dokter muda tersebut.
Diam-diam Bunga bersyukur. Dengan kehadiran kakak dan teman-temannya rasa galau akan hubungannya dengan Fritz sedikit terhibur. Ketiga pemuda tampan tersebut seakan mengetahui hati Bunga sedang menjerit sehingga candaan hangat itu menjadi pelipur lara yang istimewa.
"Satu di antara kami akan melanjutkan mengambil spesialis di sini, siapa ya ... kira-kira yang diterima? Kalau di antara kalian berdua ada yang diterima di kota ini, tuh aku titip adikku ya ...!" ujar Bintang kepada kedua sahabatnya.
"Titip bagaimana nih, maksudnya?" tanya Made.
"Coba tanya sendiri tuh ... kayaknya adikku masih menjomlo, deh!" sambil mengedipkan pelupuk netra Bintang memberi kode kepada sahabatnya.
Pangkal lengan Bintang pun menjadi sasaran empuk terkena pukulan lembut adiknya yang menawarkan dirinya kepada sahabatnya.
"Nah, ini buatmu, Kak!" cubit mesra si adik di perut dan pinggang sang kakak membuat sang kakak berteriak kesakitan dan kegelian.
"Ini memang seminggu perjalanan sebelum jadwal padat kami turun. Kalau jadwal penugasan atau kuliah lanjutan kami turun, so pasti acara seperti ini tidak bisa kita peroleh, kan?" ulas Bintang jelas.
"Iya, sih ... makanya kalau saja diizinkan aku ikut he he he ...," urai Bunga agak merajuk. "Kan jadwal coas-ku juga belum turun, Kak?" lanjutnya.
"Nah, bagaimana ya ... ?" Bintang tidak bisa memutuskan apakah mereka bertiga mengizinkan. Sebab, sejujurnya Bintang juga ingin mendekatkan salah seorang di antara sahabat baiknya tersebut untuk menjadi iparnya.
"Memang perjalanan dalam rangka apa, sih ... Kak?" kejar Bunga.
"Perjalanan mencari ... cinta? Benar demikian, 'kan Kawan?" sahut Bintang meledek kedua sahabatnya.
"Ha ha ha ... betul betul betul ...," tawa Rindang sambil menirukan gaya Ipin Upin dengan lucu.
"Perjalanan yang masih sampai halte, nih ... belum sampai ke terminal cinta terakhir!" sergah Made ikutan tertawa.
Akhirnya, karena Mama tidak ada di rumah, dan chatting  Bunga pun belum dijawab, Bunga rela belum memperoleh izin untuk mengikuti kakak beserta dua temannya ke pulau dewata. Sebenarnya Bunga sudah pernah ke Bali beberapa tahun silam, tetapi kalau kali ini ingin ikut kakaknya salah satu penyebabnya adalah ingin membuang galau hatinya. Mama sudah diberitahu oleh Bunga perihal Fritz yang seolah dijauhkan dengan upaya orang tua hendak memintanya kuliah di luar negeri. Mama hanya meminta Bunga untuk berdoa, biarlah Tuhan yang memilihkan jodoh terbaik untuknya. Hal itu karena kelahiran, jodoh, dan kematian merupakan otoritas Tuhan semata.
Bunga tahu, hatinya tidak mudah berpindah sejak berkenalan dan dekat dengan Fritz. Pemuda jangkung itu memenuhi ruang hati dan otaknya sehingga tidak mudah baginya untuk melupakan sosok pemuda itu apalagi membuangnya jauh-jauh. Sungguh perjuangan yang sangat sulit tentunya.
Karena itu, Bunga berinisiatif untuk melupakan kekasihnya itu dengan cara menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian. Genap seminggu berita tentang kondisi kekasihnya yang tidak dapat melawan kehendak orang tuanya itu sungguh membuat hati Bunga kacau balau. Mereka berdua memang belum resmi berpisah, tetapi Bunga tahu bahwa dia harus mundur kalau tidak mau semakin hancur!
Tetiba didengarnya sayup-sayup Tantri Kotak menyenandungkan lagu hitsnya ...
Pelan-pelan saja ... tentu saja dengan lirik yang sangat relevan dengan kondisi galau hatinya.Â
Kutahu kamu pasti rasa, apa yang kurasa
Kutahu cepat atau lambat, kamu kan mengerti
Hati bila dipaksakan pasti takkan baik
Pantasnya kamu mencintai yang juga cintai dirimu
Cinta kamu
Lepaskanlah ikatanmu dengan aku biar kamu senang
Bila berat melupakan aku, pelan-pelan saja
Tak ada niat menyakiti inilah hatiku
Pantasnya kamu mencintai yang juga cintai dirimu
Cinta kamu
Lepaskanlah ikatanmu dengan aku biar kamu senang
Bila berat melupakan aku, pelan-pelan saja
pelan-pelan saja
Â
Secara spontan, tanpa dikomando, tirta netra pun mengucur deras. Disadari bahwa perjalanan cintanya memang tidak dapat diprediksi seperti apa akhirnya. Namun, setidaknya dipahami bahwa cinta saja tidak cukup untuk membangun mahligai rumah tangga. Adalah restu orang tua yang harus diperjuangkannya.
Kini Bunga harus lebih fokus pada tugas akhirnya menjelang sebagai coas. Dia berharap memperoleh kemudahan dan kelancaran di tempat yang entah belum diketahuinya. Bahkan, sempat tebersit untuk melanjutkan kuliah setelah coas selesai agar pikiran dan hatinya tidak terbelenggu oleh rantai cinta tak direstui tersebut.
Saat malam makin larut, Bunga sengaja mematikan gagetnya dengan harapan tidak lagi berhubungan dengan Fritz seperti yang biasa dilakukannya sebelum masalah muncul. Bunga hendak melepaskan ikatan itu walau hanya pelan-pelan saja. Biarlah Tuhan yang akan menentukan dan memilihkan seseorang yang tepat mendampingi hidupnya hingga maut memisahkan keduanya.
Dibuangnya pikiran galau dan negatif dengan menyibukkan diri. Ada saja yang dilakukannya termasuk menuliskan kisah cintanya ke dalam sebuah cerita. Hanya satu tujuannya. Bisa melupakan masa lalu dan menatap masa depan dengan lebih ceria.
Mungkin Bintang sudah mengetahui petaka yang menimpa si adik jelita. Bintang tahu Bunga harus memiliki sesuatu khususnya renjana sekaligus derana sehingga tetap tabah dan kuat dalam menghadapi problema. Maka, dia bertekad hendak mengizinkan sang adik untuk mengikuti perjalanannya ke pulau dewata agar sedikit menghibur galau yang dirasa. Bintang pun meminta izin sang Mama agar adiknya boleh ikut bersamanya. Namun, belum ada jawaban juga.
Â
***Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H