Sepanjang Jalan Kenangan
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Pagi ini tensiku lumayan tinggi, 140. Mata pun terasa panas. Itu sebabnya segera kukirim berita buat bungsu yang masih stay di Fordword Texas untuk meminta kepastian resep. Biasalah, aku malas ke dokter karena bungsu pun dokter. Jadi, kalau ada sedikit masalah dengan kesehatan, aku cukup hanya menanyakan obat dna dosisnya.
Setelah makan pagi, segera kukonsumsi obat seperti yang direkomendasikan si bungsu. Kemudian, segera bergegas beristirahat dengan merebahkan diri saja agar pusing tidak terasa mengganggu.
Kuraih kaleng isi roti mari kesukaan yang melegenda untuk meredam agar perut tidak melilit dan lidah pun tidak pahit. Kalau orang Jawa sebagai gejah, penghilang rasa pahit karena minum jamu atau obat. Hehehe ... snack kesukaan keluarga sejak dahulu kala itu memang selalu tersedia di dekat meja kerjaku agar sewaktu-waktu bisa kuraih, kubuka penutupnya, lalu kunikmati sensasi rasa enaknya.
Dari ruang depan kudengar Mas Misua yang menggemari lagu kenangan sedang menyetel MP3 lagu masa lalu. Tetiba ingatanku pun melayang ke masa silam mendengar lagu yang disetel lumayan keras karena beliau sudah berkurang daya pendengarannya itu.
Sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan ...
Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra ...
Sekitar lima dasawarsa lalu, ketika aku masih remaja ....Â
Saat itu aku memiliki seorang kekasih. Raut mukanya menurutku sangat tampan. Hitam manis dengan rambut dan cambang tebal, membuatnya tampak berwibawa. Apalagi hidung mancung yang bertengger di atas kumis tebalnya. Memang, orang bilang seperti tampang penjahat, tetapi hatinya sangat lembut dan penampilannya sangat kalem. Tidak sesangar yang orang pikirkan.
Dia pun sangat sabar dan gaya bicaranya begitu santai dan klemak klemek alias klemar klemer Bahasa Jawa yang artinya serbapelan. Bisa juga diartikan kurang trengginas atau kurang cekatan. Selain slowly dalam segala hal, ia juga low profil banget. Tidak sesuai dengan tubuhnya yang menakutkan anak kecil. Bertentangan dengan kondisi fisiknya yang pantas menjadi preman pasar aha ha ha ... itulah benar kata orang, "Don't judge a book by its cover."
Namun, sayang. Percintaan kami harus terputus di tengah jalan. Karena sesuatu hal, Mas Gaharu Ariawan harus menikah dengan saudara jauhnya. Konon gegara masalah utang budi. Maka, aku pun harus merelakannya. Ya, sudahlah. Kupikir memang dia bukanlah jodohku. Mau tak mau aku harus merelakannya.
Pelan tetapi pasti, aku harus melupakannya. Beruntung juga karena aku mendapat panggilan kerja di luar Jawa sehingga dengan cepat aku bisa segera move on. Namun, sejak perpisahanku dengan Mas Aru itu, tidak mudah bagiku untuk menemukan tipe cowok seperti dia. Melupakan dan mengikhlaskan sih berhasil, tetapi mendapatkan pengganti, itu bukanlah hal mudah. Â