Ternyata, nasi goreng menjadi menu andalan sehingga tak heran kalau banyak pemesan di gerbong tersebut. Rupanya promosi dari mulut ke mulut atau dengan melihat langsung penumpang yang sedang menikmati tidak di gerbong restorasi menjadi ajang promosi tersendiri. Luar biasa, bukan? Maka, para pramugara pramugari pun wira-wiri di lorong dengan mengantar pesanan pelanggan.Â
Kesibukan mereka menjadi pemandangan tersendiri, terutama bagi para jomlowan dan jomlowati ... he he he.
Dengan agak kikuk, Mas Aru menghampiriku setelah kereta api sampai di stasiun Malang Kota Baru. Stasiun bertaraf internasional ini setara dengan apron bandara internasional saja. Luas, bersih, dan memesona! Aku pun tak kalah kikuk. Baru kali ini kami bertemu setelah perpisahan dua tahun silam. Kini Mas Aru tampak lebih kurus dan penampilannya sangat rapi. Berbeda dengan saat itu sehingga aku agak pangling tadinya. Jika bukan dia yang menghampiriku, pasti aku tidak mengenalnya.
"Dik Nin? Apa kabar?" sapanya ramah.
Gemetar rasanya mendengar suara lembut itu. Ya, suara bariton itu masih kukenali.
Kuulurkan tanganku tanpa kata sebab rasanya tercekat di tenggorokan saja suaraku. Disambutnya dengan hangat dan diguncangnya lembut. Terasa hangat wajahku. Mungkin bagai lobster rebus.
Dalam pikiranku ada ketakutan ... mengapa aku berani datang sendiri menemuinya, coba? Bukankah aku ini hanya cari masalah? Berputar-putar di kepala ini aneka pertanyaan di dalam dadaku.
Namun, sudah terlanjur. Aku harus mempertanggungjawabkannya. Kalau aku berani mendatanginya, berarti aku pun harus menjaga diri, menjaga jarak sedemikian rupa. Bagaimana pun Mas Aru sudah berkeluarga dan aku pun segera menyusul hendak berumah tangga.
"Hati-hati Nin, jangan macam-macam kamu!" kalimat yang selalu menggelitik di dalam hati dan pikiranku.
"Yuk, Dik ... kita cari makanan favorit sebagaimana dua tahun lalu," ajaknya santun.
Aku hanya mengangguk perlahan.
"Adik masih suka pangsit mi Gajahmada dan jus tomat, 'kan?" tanyanya.
Sekali lagi aku hanya menggangguk.
"Duh, tak tahukah kamu Mas, kalau aku ini kebingungan? Aku sudah terlanjur berani bertemu denganmu, sementara aku katakutan mengganggu privasimu! Aku ingat akan statusmu sebagai suami orang!" keluhku dalam hati.
"Atau ... kita mau mengenang berjalan-jalan di sepanjang jalan Kayutangan atau Jalan Ijen?" tanya Mas Aru lagi dengan agak berbisik.