Ubi Bakar Abu Bakar
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Hei ... namaku Abu Bakar ... aku sedang  berjalan kaki, tetapi sesuatu menabrakku dan membuatku terpental jatuh ke tanah asing ... Tiba-tiba aku pusing. Perutku yang kosong belum terisi sejak pagi terasa sangat melilit. Asam lambungku mungkin naik ... dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika siuman, aku telah berada di suatu tempat yang sangat aneh. Hanya ada sebuah amben, semacam ranjang dari bambu tanpa ada fasilitas lain. Rumah pun tidak layak disebut rumah. Berukuran kira-kira enam kali enam meter. Hanya satu ruang saja.
Dinding terbuat dari anyaman bambu juga. Tidak ada meja kursi. Yang ada hanya bonggol pohon yang digergaji dengan kasar begitu saja. Tergeletak begitu saja di sana. Di pojok tempat itu kayu-kayu bakar teronggok sedemikian rupa. Bahkan, ada kayu-kayu yang diberdirikan. Sungguh, sangat tidak estetis dipandang mata.
Penerangan? Tidak ada lampu. Yang ada hanya ublik. Ada dua buah ublik di dekat pintu. Satu-satunya pintu yang juga terbuat dari bambu, bukan dari kayu. Dua buah ublik itu terbuat dari botol gelas, rupanya bekas tempat tinta. Diberi minyak, tutupnya diberi sumbu dari perca kain kaos yang sudah sangat usang.
Untungnya hari menjelang siang ketika aku tiba di tempat itu. Coba malam, alamat makin kebingungan aku!
Tidak ada seorang pun yang bisa kutanyai aku di mana. Ketika berjalan memutari ruang rumah sepetak itu, tidak ada apa-apa sama sekali. Padahal, perutku sangat lapar. Ya, Allah ... hanya ada beberapa umbi ketela rambat, ubi, dan singkong berserakan. Lalu, ada daun kelapa kering yang disebut blarak juga teronggok di sana. Tidak ada tungku, tetapi ada batu bata ukuran besar.
Karena begitu laparnya, aku bikin tungku dari beberapa batu bata yang kususun. Panci? Tidak ada! Tak  ada alat masak apa pun di sana. Lalu, korek api untuk bikin api? Ohh, ... ada! Ada kulihat geretan tadi di pokok kayu ... syukurlah.
Aku ingat saat camping dulu, saat api unggun, teman-teman mengajak makan singkong bakar. Nah, aku ingat. Enak juga! Mungkin, ubi bakar juga seenak singkong bakar .... Anggap saja ubi cilembu panggang!
Nah, kususunlah daun kelapa kering. Minyak tanah, aku butuh minyak tanah ... kucari-cari, ternyata ada di dalam gelas ublik kecil. Masih ada sedikit minyak tanah di situ.
Segera kutuang sedikit minyak pada daun blarak, kuambil kayu kering di pojok ruang, kuambil geretan. Â Kubuat api. Setelah menyala ... kutunggu beberapa saat dan kumasukkan ubi jalar ke dalam api.
Setengah jam kemudian kulihat, nah ... ubi sudah masak.
Siang itu di tempat asing itu ... kukenyangkan perutku dengan ubi jalar bakar. Hmmm, ... lumayan!
Kulihat berkeliling ke ruang itu. Ada kalender usang dengan kertas buram kekuningan terkait di dinding gedek itu. Tahun 1967 ... Ohhh ... Â usiaku sepuluh tahun. Untung aku bisa membuat api.
Tiba-tiba aku yang masih melihat-lihat suasana ruang terbatuk karena asap api. Ahh, ... aku yang ceroboh tidak berpikir kalau api semakin membesar. Karena rumah terbuat dari anyaman bambu, tentu saja mudah terbakar. Ditambah banyak kayu. Ruang rumah yang hanya sebilik itu cepat sekali membara. Asap pun kian membubung tinggi, api tak dapat kukendalikan.
Aku berteriak, "Kebakaran ... kebakaran ...!"
 Api yang kian membesar mengelilingi tubuhku. Aku  pun tak sadarkan diri. Ketika siuman, kakek menunggui aku di tanah lapang. Aku dibaringkan di suatu tempat beralas rumput kering.
Kakek bilang, "Rumah sudah terbakar, so ... Â tidak punya rumah lagi .... "
"Oh, maafkan aku, Kek .... "
Akan tetapi, tiba-tiba .... angin berembus sangat kencang. Secepat kilat, kakekku menghilang dari pandangan.
Ternyata aku dirindukan kakek makanya diajak ke rumah masa lalunya ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H