Siang itu di tempat asing itu ... kukenyangkan perutku dengan ubi jalar bakar. Hmmm, ... lumayan!
Kulihat berkeliling ke ruang itu. Ada kalender usang dengan kertas buram kekuningan terkait di dinding gedek itu. Tahun 1967 ... Ohhh ... Â usiaku sepuluh tahun. Untung aku bisa membuat api.
Tiba-tiba aku yang masih melihat-lihat suasana ruang terbatuk karena asap api. Ahh, ... aku yang ceroboh tidak berpikir kalau api semakin membesar. Karena rumah terbuat dari anyaman bambu, tentu saja mudah terbakar. Ditambah banyak kayu. Ruang rumah yang hanya sebilik itu cepat sekali membara. Asap pun kian membubung tinggi, api tak dapat kukendalikan.
Aku berteriak, "Kebakaran ... kebakaran ...!"
 Api yang kian membesar mengelilingi tubuhku. Aku  pun tak sadarkan diri. Ketika siuman, kakek menunggui aku di tanah lapang. Aku dibaringkan di suatu tempat beralas rumput kering.
Kakek bilang, "Rumah sudah terbakar, so ... Â tidak punya rumah lagi .... "
"Oh, maafkan aku, Kek .... "
Akan tetapi, tiba-tiba .... angin berembus sangat kencang. Secepat kilat, kakekku menghilang dari pandangan.
Ternyata aku dirindukan kakek makanya diajak ke rumah masa lalunya ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H