Aku Mau Pakai BH, Ma!
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Oka kecil sudah punya adik. Ya, ia dengan adik keduanya hanya terpaut dua puluh bulan saja. Masih belum Jowo, kata orang-orang. Artinya, masih belum paham bagaimana harusnya menjadi seorang kakak. Bahkan, saat adiknya lahir dan menyusu mamanya, ia marah-marah dengan bilang kalau itu nenen punya dia. Lucunya lagi, ia bahkan meminta adiknya dikembalikan ke rumah sakit.
Lucu, pintar, dan menggemaskan. Itulah ciri masa kecilnya. Kalau ngganteng, jelas bawaan lahir. Pintar banget, itu juga ciri khasnya yang lain. Tandanya bagaimana? Â
Ya, sejak bisa berkata, "Apa?" semua ditanyakan sambil menunjuk sesuatu yang ditanyakannya itu. Misalnya, 'ebor' wadah anyaman bambu yang biasa digunakan nenek untuk meletakkan barang dagangan kemudian diangkat di atas kepalanya. Oka selalu menanyakan alat itu, "Apa?"
Beruntung semua orang dewasa di sekelilingnya menyadari kalau si kecil Oka adalah anak pintar sehingga tidak ada yang bosan menjawab semua pertanyaannya. Ada Mbah Buyut, Mbah Putri, Mbah, Kung dan Papa Mama yang selalu setia menjawab semua pertanyaannya. Â
Kata orang, gen intelektualitas itu diturunkan dari sang Mama. Memang, secara faktual mamanya itu sejak kecil terkenal sebagai bintang pelajar yang selalu menduduki peringkat pertama sebagai lulusan terbaik. Kemudian melanjutkan kuliah di strata satu pun memperoleh IPK 3, 33 dan meraih beasiswa selama tiga tahun. Ketika dilanjutkan ke strata dua bersamaan dengan si sulung Oka  yang menempuh S-1 pun si Emak masih bisa meraih IPK, 3,55 sementara si cerdas sulung memperoleh cum laude-nya.
Si sulung Oka memang sudah tampak cerdas sejak balita. Bahkan, sebelum teman-teman sebayanya bisa membaca, si sulung ini sudah piawai membaca, loh!
Ceritanya saat itu sulung mengalami cedera. Karena ditabrak teman, alisnya harus dijahit. Suster Kepala mengantarnya ke RKZ pada jam sekolah. Saat di ruang tunggu, karena sudah diajari sang Mama, Oka mengeja tulisan-tulisan besar yang terpampang di dinding rumah sakit. Misalnya, nama-nama dokter jaga.
Ketika ia sedang mengeja nama-nama itu, Suster Kepala memperhatikan mulutnya yang berkomat-kamit.
"Kamu bisa membaca?" tanya Suster.
"Bisa!" jawabnya lantang.
Disuruhnyalah ia membaca dan ternyata bisa. ketika Suster membeli koran pun, ia mampu membaca tulisan yang besar-besar. Itulah sebabnya, pada saat acara sekolah, ia diminta membaca bukan menghafal suatu teks yang ditulis besar-besar.
Bagaimana kisah ia bisa membaca?
Suatu hari, sebelum masuk TK nol kecil, sulung ini sakit panas. Karena itu, sang Mama izin untuk tidak mengajar.
Nah, ketika berada di rumah bersama itulah sang Mama mengajaknya bermain-main. Entah bagaimana awalnya, sang Mama mengajaknya belajar menulis dan membaca.
Semula mamanya menggunakan satu buku tulis yang digunakan untuk menggambar mata. Di  sebelah gambar itu diberinya tulisan ma-ta. Sang Mama masih berkutat pada suku kata Ma. Kemudian, si sulung yang sangat antusias mengatakan, "Lagi ... lagi!"
Mama melanjutkan dengan tulisan ma-ma ... demikian hingga dalam waktu sekitar tiga empat jam bisa menghabiskan selusin buku! Si sulung  bisa membaca dalam satu hari itu! luar biasa, bukan?
Siang ketika papanya pulang, beliau marah-marah. Alasannya anak sakit malah diajari macam-macam. Padahal, si sulunglah yang sedang mengalami masa keemasan belajar. Momen kebersamaan yang sangat pas karena senyampang izin mengajar ternyata si buah hati sedang berproses belajar. Pas banget!
Mamanya yang lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) ingat betul bagaimana guru psikologinya menjelaskan jika seorang anak berada dalam fase 'kematangan' memperoleh asupan kesempatan 'proses belajar' Â hasilnya akan meningkat luar biasa. Masih diingatnya titian keledai, "PB -- kemat -- PB -- kemat"Â demikian akan dicapai puncak kejayaan belajar dengan hasil maksimal.
Ternyata, apa yang diperoleh dari gurunya masa SPG itu secara tidak sadar dan tidak sengaja diterapkan kepada si sulung dan hasilnya luar biasa! Â Apalagi, ketika sang mama hamil si sulung sangat gemar bermain kartu. Sebenarnya, karena tidak memiliki teman di rumah, untuk mengalihkan perhatian saja sang Mama bermain kartu seorang diri. Jika si Papa datang, pastilah mereka berdua bermain kartu entah remi atau omben. Nah, tanpa disadari aktivitas menghitung dan berhitung itu membuat si janin pandai juga.
Ada peristiwa lucu yang dialaminya saat masih TK nol kecil. Tetiba saat pulang sekolah ia melapor kepada mamanya.
"Ma, aku besok pakai BH, ya!" usulnya.
Sang mama heran mengapa ia meminta menggunakan BH. Ditunjukkanlah oleh mamanya dengan bijak bahwa BH, alias bra, atau kutang itu dipakai oleh wanita untuk menutup payudara.
"Siapa yang memintamu memakai BH, Nak?" tanya bijak si mama.
"Teman-temanku pakai, Ma!"
"Kok kamu tahu?"
"Iya, saat pipis bareng di toilet!"
"Oh," barulah mamanya paham kalau yang dimaksud si sulung adalah swim pack alias celana dalam pria.
Memang untuk memudahkan saat buang air kecil, saat itu sang mama tidak memakaikan celana dalam. Namun, sejak sulung memintanya, kedua orang tua pun menanggapi serius dan memberikan kesempatan terbaik untuk si sulung.
***Â
Sejak duduk di bangku SD, sulung ini begitu piawai menyelesaikan soal-soal matematika. Nilai matematikanya selalu mencuat sehingga membanggakan. Sempat membanggakan sekolahnya karena perolehan nilai 10 sempurna. Menjadi  peserta ujian  nasional, peraih nilai tertinggi sempurna untuk jenjang SD. Pernah juga saat SMA memperoleh kesempatan ikut olimpiade matematika ke luar negeri.Â
Sayang, orang tua tidak memiliki biaya untuk perjalanannya sehingga dialihkan pada siswa dari keluarga berada.
"Tenang, Pa, Ma! Suatu saat aku pasti ke luar negeri!" itu tekadnya.
Apalagi sejak kecil ia gemar melahap Daily koran berbahasa Inggris, langganan Budenya yang guru Bahasa Inggris. Ternyata, sejak itulah niatnya ke luar negeri terpatri kuat.
Lulus SMA si sulung memperoleh kesempatan PMDK masuk jurusan Matematika, FMIPA Unibraw dengan beasiswa dan lulus termuda, tercepat, terbaik dengan IPK 3, 76 pada tahun 2001. Sempat menjadi dosen di salah sebuah perguruan swasta terbaik di Jawa Timur. Anehnya, bukan pada jurusan Matematika, melainkan pada jurusan Ekonomi. Ternyata, jalan Tuhanlah yang dijalaninya.
Tahun 2003 mendapat panggilan untuk berkarya di sebuah bank ternama di ibu kota. Berkesempatan melanjutkan pendidikan S-2 dan S-3 melalui beasiswa kantornya selama delapan setengah tahun di negeri Paman Sam hingga memperoleh Ph.D secara luar biasa. Â
"Ternyata, Tuhan memintaku menjadi dosen Ekonomi agar aku belajar bidang itu karena ketika S-2 hingga S-3 aku memang harus lintas jurusan. Sebagai karyawan bank secara otomatis aku harus belajar ekonomi, menjadi ekonom sekaligus bankir! Tuhan sudah mempersiapkannya sejak lama sebelum aku menyadarinya!" ceritanya kepada sang mama suatu saat.
Ia benar-benar menjadi sulung yang baik bagi dua adik yang semuanya cowok. Karena keteladanan dirinyalah kedua adik cowoknya pun berhasil mengikuti jejak si kakak sulung teladan ini. Belajar berbeasiswa ke luar negeri! Ya, si sulung Oka berkesempatan sembilan tahun belajar dan tinggal di mancanegara. Kini dirinya telah diberi kepercayaan sebagai orang kedua dii salah sebuah bank ternama dan dipromosikan di luar Pulau Jawa.Â
Adik keduanya pun, si Iko, mahir berbahasa Inggris dan sempat pula menjadi pucuk pimpinan cabang perusahaan yang diikutinya di negeri jiran. Namun, sejak pandemi telah kembali ke tanah air. Sementara itu, si adik bungsu, si Oki, masih stay di mancanegara karena penelitian disertasinya belum usai. Â Inilah hasil motivasi sang kakak sulung yang luar biasa hingga kedua adiknya pun menikmati kesuksesan meniti karier. Benar-benar sulung anutan, bukan?Â
Ya, ketiga jagoanku bernama panggilan lucu: Oka, Iko, dan Oki. Sering kali saat berkenalan dengan siswa baru mamanya selalu bilang, "Oka, Iko, Oki, dan aku ... semuanya oke!"Â
Tentu saja para pendengar senyum-senyum bahkan tertawa juga, loh!Â
Soli deo Gloria!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H