FIRST LOVE NEVER DIES
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Dini hari dua puluh tujuh September 2020. Terbangun tengah malam tepat di hari ulang tahun pernikahanku. Tepat di tanggal kelahiran seseorang yang selanjutnya akan kusebut Mas Yustinus . Ya, flashback  dulu sejenak mumpung ingatan lagi beranjak ke sana.
Biasanya, setiap tahun aku mengingatnya dan beberapa tahun terakhir selalu kuucapkan selamat di WA-nya yang kumiliki meski setahun terakhir hanya dijawab dengan symbol like. Jempol saja! Tak apa. Setidaknya dia tahu aku masih mengingatnya. Tiba-tiba saja lima bulan lalu, tepatnya 13 April 2020, Â kudengar kabar bahwa dia telah berpulang ke haribaan Allah karena menderita diabetis mellitus lumayan lama. Â Tak urung, Â air mataku mengucur deras apalagi karena aku takdapat melayatnya. Awal-awal badai Covid-19 sedang melanda negara kita. Lama tak kudengar beritanya, tiba-tiba sudah tiada!
Adat Jawa jika memilih pasangan hidup selalu dikaitkan dengan bibit, bebet, bobot. Artinya, siapakah calon kita itu: dari keturunan yang bagaimana, latar belakang keluarganya bagaimana, karakter terutama berkaitan dengan gen-nya bagaimana. Harus benar-benar diperhatikan dan dipedulikan sebab akan menurun ke anak cucu kita, jika misalnya memiliki silsilah yang kurang bagus. Inilah yang membuat masa pacaranku dengannya diwarnai intrik yang memprihatinkan.
Aku, dengan latar belakang masa lalu kedua orang tuaku, sering menjadi bahan cibiran orang karena aku dilahirkan sebagai anak haram. Sekalipun itu bukan kemauanku, banyak orang, terutama calon mertuaku itu, memberikan cap buruk kepadaku. Karena itu, hubungan kami berdua tidak memperoleh restu dari kedua orang tua pacarku, Mas Yustinus. Dua tahun menjalin pacaran, Mas Yustinus  masih tampak tidak mantap karena ketiadaan restu orang tuanya. Aku tahu, aku sangat mencintainya, dan inilah yang kupikir digunakannya sebagai senjata untuk seolah mempermainkanku.
Mas Yustinus  anak kedua dari delapan bersaudara sehingga kiriman dana hidup bulanan sebgai anak kost selalu saja kurang. Bahkan, Mas Yustinus  sering mengirim uang untuk ibunya. Karena itu, dia kuliah sambil bekerja.
Aku  pun demikian. Kami berdua berkuliah sambil bekerja untuk mencukupi kebutuhan sebagai anak kost. Kami berdua memperoleh beasiswa meski dari sumber berbeda. Dan karena cintaku padanya, seringkali aku berbagi dengannya untuk biaya apa pun. Saat itu, beasiswaku keluar lebih dulu sehingga aku sempat membayarkan SPP untuknya. Bulanan pun sering aku membayar uang makan di warung langganan untuknya. Nah, di sinilah cerita itu bermula.
Suatu saat, aku harus melakukan perjalanan dengan naik bus untuk PPL (Pengalaman Praktik Lapangan) mengajar di salah satu sekolah negeri yang berada di luar kota. Tepatnya di kabupaten. Aku lupa kemarin uangku kupakai membayar utang warung, uang makan si dia, sehingga ongkos untuk bus pulang balik ke kota tidak ada lagi. Bingung, jelas. Karena itu aku memberanikan diri untuk melapor pembimbingku. Beliau memberikan solusi: aku harus nebeng salah seorang guru yang berasal dari kota dengan harus rela dibonceng naik sepeda motor. Cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan. Karena kondisi, akhirnya aku terpaksa mau dan menerima tawaran itu.
Tepat sampai di depan indekosku, yang tidak jauh dari tempat indekosnya, Mas Yustinus  ada di depan situ. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa aku dibonceng sepeda motor lelaki lain.
"Dasar wanita bensin!" semprotnya sambil memburatkan rona tidak suka. Netra dan rona raut mukanya tampak membara.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada guru penolongku, aku hampiri Mas Yustinus  dan otomatis meluncur dari mulutku kemarahan yang tak kalah seru.Â
Aku berteriak lantang, "Ok, Mas. Jika ada lelaki, yang membawakanku sepeda motor enreiyen, aku bersedia jadi isterinya, tak peduli itu siapa!"Â
Aku benar-benar naik pitam karena jelas aku tidak punya uang, dan uangku sudah kubayarkan di warung untuk membayar utang makan dia.
Marah sampai ubun-ubun rasanya! Yah, uangku habis gegara membayar SPP semester ganjil untuknya ditambah membayar utang warungnya. Mengapa dia tega menyebutku wanita bensin, coba?
Sejak saat itu hubungan kami renggang. Apalagi kulihat dan kuketahui kalau dia pun mulai bermain api dengan adik kelas dan mengatakan  aku ini bukan pacarnya, melainkan saudaranya. Sekalian mundur, pikirku. Daripada orang tua, khususnya ibunya, tidak menyetujui dan bersikap kurang baik padaku, mending aku mundur teratur. Meskipun mencintainya, jika ibunya tidak menyetujui hubungan kami, lebih baik menyudahinya! Demikian kata hatiku.
Sebulan kemudian. Karena liburan semester, aku pun pulang ke desa. Tiga hari di desa, tiba-tiba ada tamu yang membawakan sepeda motor baru untuk melamarku. Aku tidak mengenalnya dengan baik. Hanya saja, dia mendengar langsung teriak marahku beberapa saat lalu ketika Mas Yustinus  mengataiku wanita bensin. Makanya, dia membawakan sepeda motor gres untuk melamarku.
Aku kaget setengah mati, karena tidak pernah terpikir kalau ada orang yang mendengar, menanggapi, dan benar-benar melamarku dengan mas kawin seperti itu. Padahal, jujur, aku marah tak terkontrol saja!
Kakek nenek yang berlaku sebagai orang tuaku pun terheran-heran dengan kisahku.
"Salahmu sendiri. Mulutmu sudah mengucapkan, maka kamu harus menerima lamaran ini! Makanya, hati-hati dengan mulutmu!" kata mereka. "Ini sayembara buatanmu sendiri, kan? Jadi  kamu harus bertanggung jawab! Tinggalkan cinta monyetmu! Terima pinangan itu!"
Dan, ah ... ya benar! Apa pun yang pernah kuucapkan dari mulutku selalu kuperoleh seperti itu. Beberapa kali terjadi! Misalnya saja, saat kecil aku mengatakan jika besar ingin tinggal di kota ini. Aku pingin punya ini itu, begini begitu. Semua yang pernah kuutarakan itu dikabulkan-Nya! Termasuk jika aku menikah ingin dengan anak tunggal! Ya, terjadi seperti itu!
Orang yang membawakanku sepeda motor itu sering melihatku, tetapi tidak mengenalku langsung. Dia teman dari teman indekosku. Ke indekosku pun sebenarnya bertujuan untuk mencari temanku itu karena mesin ketik manual beliau dipinjam dan digadaikan temanku. Maklum, teman indekosku itu ambil satu kamar untuk pasutri, sudah berkeluarga, punya satu balita, bahkan istrinya sedang hamil anak kedua.
Nah, saat itulah dia yang masih lajang dan sudah cukup umur itu mendengar teriak lantangku bersayembara! Katanya, dia memang sempat naksir dan bahkan berdoa memintaku kepada Tuhan untuk menjadikan-Nya aku sebagai pasangan hidupnya.
Aku pun tidak mengenalnya dengan baik. Hanya saja teman-teman indekosku yang mengenalnya melihat gelagat bahwa dia menyukaiku lalu mendorong aku untuk mau menemaninya duduk. Selanjutnya memintaku agar mau dibonceng sepeda motor untuk membeli  nasi goreng. Ya, teman indekosku seolah memanfaatkanku untuk makanan enak ... tujuh bungkus nasi goreng masakan restoran Cina yang lumayan mahal dan sangat enak di lidah anak indekos.
Semester berikutnya, aku sudah resmi menyandang gelar nyonya di depan namaku. Otomatis hubunganku dengan Mas Yustinus  putus tanpa sepatah kata perpisahan.  Selanjutnya, karena mata kuliahku habis, aku tidak lagi  ke kampus. Bahkan, tepat di hari ulang tahun Mas Yustinus, kami melangsungkan pesta pernikahan yang digelar besar-besaran di desa. Pesta adat Jawa dengan hiburan wayang kulit sehari semalam suntuk karena harus diruwat mengingat kami sama-sama anak tunggal.
Apakah cerita selesai? Belum, Saudaraku! Aku harus menyelesaikan kuliah setelah satu tahun menganggur karena program baru dan peserta program lama pun harus mengikuti program baru. Aku sudah melahirkan putra pertama dan tatkala masuk kuliah kembali, Mas Yustinus  sudah berstatus sebagai dosenku. Aku melakukan tugasku biasa saja karena harus segera pulang untuk menyelesaikan tugas sebagai ibu muda. Bahkan, sulung satu tahun, aku pun hamil lagi anak kedua sebelum kuliah strata satuku usai.
Pada masa kuliah program baruku itu, Mas Yustinus  sering mendekat dan mengajakku ini itu, tetapi aku tahu diri. Aku tak pernah menanggapinya. Hingga suatu saat adikku seibu datang dari desa. Kebetulan adikku ini memperoleh kesempatan kuliah program jangka pendek sehingga berada di kotaku selama sekitar dua tahunan.
 Mas Yustinus  memanfaatkan adikku ini untuk mendekatiku dengan berbagai cara. Suatu saat pernah kedua anak balitaku dibawa adikku ke tempat indekos Mas Yustinus. Adikku bilang, dia masih sangat mencintaiku. Aha, hal yang sangat aneh untuk ditanggapi, bukan?
***
Lama kami tidak bertemu. Kudengar dia sudah menikah. Saat sakit dan aku harus opname di rumah sakit tujuh bulan lamanya, pernah terpikir olehku bagaimana seandainya aku dijenguk olehnya. Tiba-tiba kangen dan berhalusinasi tentangnya. Anehnya, hal itu benar-benar terjadi dua tiga tahun kemudian.
Sebagai pasien langganan untuk dua kali melahirkan dan satu kali opname cukup lama di Rumah Sakit Bersalin Mardi Waluyo, aku mengenal baik semua perawat yang ada. Saat itu aku persiapan melahirkan anak ketiga. Tiba-tiba kulihat buku daftar pasien, dan aku lihat nama Mas Yustinus  di sana. Deg! Ternyata, istrinya pun melahirkan sehari sebelumnya di tempat yang sama ini.
Di kamar bersalin, aku menangis sejadi-jadinya kepada Tuhan, "Ya, Allah ...  kok aku dipertemukan  di sini seperti yang pernah kubayangkan dua tahun sebelumnya. Padahal, jujur, aku yang pernah mencintainya ini setengah mati berjuang dan berusaha melupakannya!" Â
Aku menangis bukan karena kesakitan hendak melahirkan, melainkan karena sedih mengapa Tuhan justru mewujudnyatakan ketakutanku seandainya bertemu dengannya! Aku takut tidak dapat menahan rasa!
Aku meminta para suster untuk menempatkanku di ruang lain, di ruang belakang, di kelas empat meskipun tetap membayar di kelas dua seperti di ruang tersebut. Alasanku mencari tempat yang sepi saja. Padahal, maksudku agar  tidak bertemu dengannya. Ya, aku menghindari pertemuan dengannya. Akan tetapi, suster tidak mau tahu alasanku. Tetap saja aku diletakkan bed rest di satu ruangan yang sama dengan istrinya. Karenanya, setiap jam bezuk tiba, aku selalu tidak berada di tempat sama itu.
Aku berusaha berada di tempat rehat para suster supaya tidak bertemu dengan Mas Yustinus . Beruntung hanya dua hari saja di ruang rawat inap itu. Hanya sekali aku bertemu dari kejauhan. Mas Yustinus  sempat menjenguk sejenak hanya untuk mengucapkan selamat saja. Tentulah aku menyembunyikan perasaanku yang masih tersisa meski sudah sekitar delapan tahun kutinggalkan dia!
***
Beberapa tahun kemudian, ada acara di kampus. Kami memang mengambil jurusan yang sama,dan masih di kota yang sama sehingga kemungkinan dan peluang bertemu cukup besar. Ternyata, Mas Yustinus  mencari dan sengaja nimbrung di grupku. Ya, bertemu kembali setelah sudah sama-sama berkeluarga. Beruntung, aku tidak salah tingkah meskipun beberapa teman masih menggoda dan mencandai kami.
Waktu berjalan dengan cepat. Beberapa tahun kemudian kami bertemu kembali di acara berbeda. Aku sudah tidak memiliki beban perasaan tertentu kepadanya. Bahkan, dia sempat nebeng di kendaraanku untuk suatu acara. Ya, aku mendapat kesempatan memiliki dan bisa mengendarai mobil pribadi. Bersyukur aku sudah bisa melupakan dendamku kepada keluarga terutama ibunya. Perasaanku sudah netral. Dan ini sangat melegakanku.
Mas Yustinus  mengajakku makan siang di sebuah rumah makan dan di sana dia menceritakan kondisinya saat awal-awal saya meninggalkannya. Ternyata dia sempat stress dan tetap menyimpan cintanya. Aha ha ha.. dalam hati aku pun mengatakan perasaanku juga demikian, namun aku tak boleh mengatakannya. Biarlah kusimpan sendiri rasa itu sampai akhirnya Tuhan mengabulkan doaku, "Jika Tuhan memang tidak menjodohkanku dengannya, biarlah Tuhan yang menghapuskan rasa cintaku padanya!" Â
***
Hari ini manakala aku merayakan ulang tahun pernikahanku, aku taklagi mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Biarlah sejarah ini kupahat sendiri di hatiku yang paling dalam. Cinta itu tak harus berjodoh, dan jodoh itu tak harus berawal dari cinta. Bukankah pepatah Jawa pun mengatakan, witing tresna jalaran saka kulina. Â Artinya, permulaan cinta itu berawal dari kebiasaan. Cinta akan muncul saat kita terbiasa dengan pasangan meski semula tidak dicintai.
 Masih kuingat kata-katanya saat pertemuan terakhir, "Dik, first love never die! Kamu tahu itu, kan? Tolong izinkan aku untuk bisa melihatmu selalu tersenyum! Maafkan aku yang tidak bisa menjaga cinta kita!"
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk saat menyendokkan nasi terakhir untuknya. Â
Dia menolak halus, Â "Aku tidak bisa nasi lagi, bungkus saja buatmu. Makanlah di rumah nanti sambil mengingat dan memaafkanku!"
Saat itu dia mengendarai sepeda motor yang speedometer-nya dilepas karena katanya selalu dihitung istrinya yang lumayan protektif. Saat  itu pulalah terakhir kami bertemu. Sewindu yang lalu!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H