Nah, saat itulah dia yang masih lajang dan sudah cukup umur itu mendengar teriak lantangku bersayembara! Katanya, dia memang sempat naksir dan bahkan berdoa memintaku kepada Tuhan untuk menjadikan-Nya aku sebagai pasangan hidupnya.
Aku pun tidak mengenalnya dengan baik. Hanya saja teman-teman indekosku yang mengenalnya melihat gelagat bahwa dia menyukaiku lalu mendorong aku untuk mau menemaninya duduk. Selanjutnya memintaku agar mau dibonceng sepeda motor untuk membeli  nasi goreng. Ya, teman indekosku seolah memanfaatkanku untuk makanan enak ... tujuh bungkus nasi goreng masakan restoran Cina yang lumayan mahal dan sangat enak di lidah anak indekos.
Semester berikutnya, aku sudah resmi menyandang gelar nyonya di depan namaku. Otomatis hubunganku dengan Mas Yustinus  putus tanpa sepatah kata perpisahan.  Selanjutnya, karena mata kuliahku habis, aku tidak lagi  ke kampus. Bahkan, tepat di hari ulang tahun Mas Yustinus, kami melangsungkan pesta pernikahan yang digelar besar-besaran di desa. Pesta adat Jawa dengan hiburan wayang kulit sehari semalam suntuk karena harus diruwat mengingat kami sama-sama anak tunggal.
Apakah cerita selesai? Belum, Saudaraku! Aku harus menyelesaikan kuliah setelah satu tahun menganggur karena program baru dan peserta program lama pun harus mengikuti program baru. Aku sudah melahirkan putra pertama dan tatkala masuk kuliah kembali, Mas Yustinus  sudah berstatus sebagai dosenku. Aku melakukan tugasku biasa saja karena harus segera pulang untuk menyelesaikan tugas sebagai ibu muda. Bahkan, sulung satu tahun, aku pun hamil lagi anak kedua sebelum kuliah strata satuku usai.
Pada masa kuliah program baruku itu, Mas Yustinus  sering mendekat dan mengajakku ini itu, tetapi aku tahu diri. Aku tak pernah menanggapinya. Hingga suatu saat adikku seibu datang dari desa. Kebetulan adikku ini memperoleh kesempatan kuliah program jangka pendek sehingga berada di kotaku selama sekitar dua tahunan.
 Mas Yustinus  memanfaatkan adikku ini untuk mendekatiku dengan berbagai cara. Suatu saat pernah kedua anak balitaku dibawa adikku ke tempat indekos Mas Yustinus. Adikku bilang, dia masih sangat mencintaiku. Aha, hal yang sangat aneh untuk ditanggapi, bukan?
***
Lama kami tidak bertemu. Kudengar dia sudah menikah. Saat sakit dan aku harus opname di rumah sakit tujuh bulan lamanya, pernah terpikir olehku bagaimana seandainya aku dijenguk olehnya. Tiba-tiba kangen dan berhalusinasi tentangnya. Anehnya, hal itu benar-benar terjadi dua tiga tahun kemudian.
Sebagai pasien langganan untuk dua kali melahirkan dan satu kali opname cukup lama di Rumah Sakit Bersalin Mardi Waluyo, aku mengenal baik semua perawat yang ada. Saat itu aku persiapan melahirkan anak ketiga. Tiba-tiba kulihat buku daftar pasien, dan aku lihat nama Mas Yustinus  di sana. Deg! Ternyata, istrinya pun melahirkan sehari sebelumnya di tempat yang sama ini.
Di kamar bersalin, aku menangis sejadi-jadinya kepada Tuhan, "Ya, Allah ...  kok aku dipertemukan  di sini seperti yang pernah kubayangkan dua tahun sebelumnya. Padahal, jujur, aku yang pernah mencintainya ini setengah mati berjuang dan berusaha melupakannya!" Â
Aku menangis bukan karena kesakitan hendak melahirkan, melainkan karena sedih mengapa Tuhan justru mewujudnyatakan ketakutanku seandainya bertemu dengannya! Aku takut tidak dapat menahan rasa!